SYUBHAT 6
Oleh: Mamduh Farhan al-Buhairi
Syubhat: Mengapa Anda sekalian berselisih pendapat
dalam tafsir al-Qur`an? Dan bersamaan dengan itu Anda mengklaim bahwa
Injil itu berselisih, bukankah ini adalah sebuah kontradiksi?
Sebagaimana bahwa orang yang meneliti Injil dengan ikhlas, dia tidak
akan mendapati perselisihan di dalamnya?
Jawab: Pertama, Anda harus mengetahui bahwa terdapat
perbedaan antara perselisihan dalam tafsir dengan perselisihan dalam
Kitab Suci al-Qur`an. Tidak pernah ditemukan perselisihan pada diri kaum
muslimin atas al-Qur`anul Karim. Al-Qur`an itu satu, tidak berselisih,
dan tidak akan berubah pada seluruh tempat di dunia ini sejak turunnya
1400 tahun yang lalu. Al-Qur`an terjaga dengan janji Allah:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (٩)
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. al-Hijr: 9)
Berbeda dengan Kitab “Suci” Injil yang kita temukan bahwa dia
berbeda-beda. Jadi tidak termasuk keadilan Anda membandingkan antara
perselisihan dalam tafsir al-Qur`an dengan perselisihan dalam Injil.
Bahkan yang wajib adalah Anda bandingkan antara kitab suci al-Qur`an
dengan kitab Injil. Akan tetapi karena Anda mengetahui bahwa Anda akan
masuk dalam peperangan yang merugikan, Anda mengambil cara tersebut
untuk melemparkan syubhat (keraguan) yang dengan karunia Allah hal itu
bukanlah perkara samar bagi kami.
Kemudian, Anda harus mengetahui bahwa tidak pernah terjadi
perselisihan antara para ulama dalam tafsir keseluruhan al-Qur`an. Akan
tetapi yang ada hanyalah bahwa mereka berselisih pendapat dalam tafsir
sebagian ayat dari al-Qur`an. Dan tidak diragukan lagi bahwa mayoritas
ayat, tidak pernah terjadi perselisihan dalam tafsirnya. Bahkan para
ahli tafsir yang salaf (klasik) maupun yang khalaf (kontemporer)
bersepakat dengan para ulama atas tafsirnya. Yang demikian itu adalah
satu perkara nyata bagi setiap orang yang membaca al-Qur`an, dan membaca
kitab-kitab tafsir. Tidak henti-hentinya kaum muslimin secara umum
membaca al-Qur`an, mendengar ayat-ayatnya, dan tidak merasa kesulitan
akan banyaknya ayat tersebut, bahkan mereka mengetahui maksudnya. Ini
sudah cukup dalam merealisasikan hidayah al-Qur`an.
Adapun ayat-ayat, yang jumlahnya sedikit, yang terdapat perselisihan
pendapat dalam tafsirnya, maka ayat-ayat tersebut terbagi menjadi
beberapa pembagian.
Pertama, khilaf (perselisihan) di dalamnya adalah khilaf tanawwu’ (perselisihan yang bersifat variatif), bukan khilaf tadhot (kontradiksi, berseberangan). Itu adalah khilaf lafzhi (redaksi) dan tidak berpengaruh pada esensi makna. Khilaf tanawwu’,
pada hakikatnya bukanlah sebuah perselisihan. Dimana di antara syarat
perselisihan adalah kontradiksinya dua ucapan. Ini tidak terjadi dalam
pembagian khilaf ini.
Contoh yang demikian adalah tafsir shiratul mustaqim (jalan yang lurus). Sebagian mereka mengatakan: “yaitu al-Qur`an, yakni mengikutinya.”
Sebagian lagi mengatakan, ‘Yaitu agama Islam.’
Maka kedua pendapat ini saling bersesuaian, karena agama Islam adalah
mengikuti al-Qur`an. Akan tetapi masing-masing dari keduanya,
memberikan perhatian atas satu sifat tidak pada sifat lain.
Sebagaimana bahwa lafazh shirat juga memberikan isyarat
kepada sifat yang ketiga. Demikian pula pendapat orang yang mengatakan
bahwa ia adalah, ‘as-Sunnah wal-Jama’ah’, dan pendapat yang mengatakan,
‘ia adalah jalan peribadatan kepada Allah.’ Juga ucapan orang yang
mengatakan, ‘Itu adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya’ Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Dan contoh-contoh yang lain. Maka mereka semua
memberikan isyarat kepada satu makna dari shirathal mustaqim, akan tetapi masing-masing memberikan sifat dari sifat-sifatnya.
Kedua, masing-masing dari mereka menyebut dari nama
yang bersifat umum sebagian macamnya demi memberikan perumpamaan, dan
memberikan peringatan kepada yang mendengar atas satu macam makna. Bukan
untuk memberikan satu batasan yang sesuai dengan apa yang dibatasi
dalam keumuman dan kekhususannya.
Contoh yang demikian adalah apa yang disebutkan oleh Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawanya (13/232-238), tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ
الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ
وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ
“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami
pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang
menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan
dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan
dengan izin Allah.” (QS. Fathir: 32)
Maka telah diketahui bahwa azh-zhalim linafsihi (orang yang
menganiaya diri sendiri) mencakup orang yang menyia-nyiakan kewajiban,
dan meremehkan perkara-perkara yang diharamkan; dan al-muqtashid (yang pertengahan) mencakup pelaku kewajiban, dan orang yang meninggalkan yang diharamkan; serta as-sabiq
(yang terdepan dalam berbuat kebaikan) masuk di dalamnya orang yang
bersegera lebih dulu, maka dia mendekatkan diri kepada Allah dengan
segala kebaikan disertai dengan menjalankan segenap kewajiban.
Kemudian sesungguhnya masing-masing diantara mereka –yaitu dari
kalangan ahli tafsir- menyebutkan perkara ini dalam satu macam dari
berbagai macam ketaatan:
Seperti ucapan, ‘As-Sabiq, adalah orang yang shalat di awal waktunya,
al-muqtashid adalah orang yang shalat di tengah waktunya, dan zhalim linafsihi adalah yang mengakhirkan waktu ashar hingga matahari telah menguning.’
Yang lain berkata, ‘as-Sabiq, al-muqtashid, dan az-zhalim
telah disebutkan di akhir surat al-Baqarah, maka sesungguhnya
penyebutan itu adalah penyebutan orang yang berbuat baik dengan
shadaqah, penyebutan orang zhalim dengan memakan riba, dan penyebutan
orang ‘adil dengan jual beli.’
Maka tidak boleh menjadikan bagian kedua ini sebagai khilaf tadhot (perselisihan yang bersidat kontradiksi), pencelaan dan peragu-raguan terhadap al-Quran yang mulia, karena beberapa sebab:
1. Sesungguhnya perselisihan itu tidak pada ayat-ayat yang berkaitan
dengan i’tiqad (keyakinan) Islam, atau tujuan-tujuan syari’at. Akan
tetapi perselisihan itu terjadi pada ayat-ayat ahkam (hukum-hukum),
seperti perselisihan para ulama dalam tafsir firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’…” (QS. al-Baqarah: 228)
Apakah quru’ itu suci dari haidh ataukah haidh?
Atau juga perselisihan itu terjadi pada sebagian ayat al-Qur`an yang
berkaitan dengan kisah-kisah, atau nasihat dan semacamnya. Seperti
perselisihan mereka dalam tafsir firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا (٢٤)
“Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: “Janganlah kamu
bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di
bawahmu.” (QS. Maryam: 24)
Apakah yang menyeru itu Jibril ataukah Isa ‘Alaihi Sallam?
Perselisihan ini, sebagaimana Anda lihat, tidak berkaitan dengan
tulang punggung (penopang) aqidah dan syari’at. Akan tetapi perselisihan
itu ada pada perkara fiqih yang Allah menginginkan hal itu terjadi
sebagai bentuk rahmat terhadap umat ini, serta ujian juga. Atau
perselisihan itu terjadi pada perkara yang pemahaman ayat tersebut tidak
bergantung pada pengetahuan tentang maknanya.
2. Perselisihan ini -sekalipun sedikit- kebanyakan terjadi pada abad
terakhir. Dan seandainya kita kembali pada tafsir salaf dari para
sahabat dan tabi’in pastilah kita tidak akan mendapatinya. Mayoritas
perselisihan itu ada pada kitab-kitab tafsir kontemporer.
3. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki hikmat dalam
menyamarkan makna sebagian ayat-ayat, agar para mujtahid
bersungguh-sungguh, dan membahas ilmu tersebut dalam kitab-kitab dan
akal-akal mereka.
Adapun klaim tidak adanya perselisihan dalam Injil atau dalam tafsir Injil, maka ini adalah klaim aneh, yang seorang Nasrani
tidak mengklaimnya sendiri. Karena banyaknya kontradiksi di dalamnya.
Dimana naskah-naskah Injil, periwayatannya, penerjemahannya berbeda-beda
dengan perbedaan yang banyak dan kontradiksi. Sebagaimana banyak sekali
sekte-sekte Nasrani dan perselisihan agama mereka. Perselisihan mereka
dalam menafsirkan Injil terjadi pada tulang punggung aqidah (keyakinan)
mereka; dalam penafsiran trinitas, keEsaan, dan tiga oknum. Dimana itu
semua adalah perselisihan kontradiksi yang membuat terbentuknya banyak
sekte di tengah mereka yang mereka berselisih dalam pandangan agama dan
aqidah mereka.
Adapun Islam dan al-Qur`an, maka tidak ada perselisihan dalam rukum
agama dan hakikat yang terpenting di antara ulama Islam Ahlussunnah,
yang merupakan mayoritas umat ini dari kalangan para sahabat, dan
tabi’in hingga hari ini.*
Syubhat: saat kami membaca sejarah perjalanan Nabi
kalian, kami menemukan beberapa perkara aneh; diantaranya adalah
suratnya kepada Heraclius, Raja Romawi, dimana datang dalam surat itu
tulisan “Masuk Islamlah, kamu akan selamat”. Maka apakah kalimat ini
sudah cukup untuk menegakkan hujjah atas Heraclius? Itu adalah satu
ajakan yang terang-terangan untuk peperangan jika Heraclius dan kaumnya
tidak masuk Islam. Tidakkah Anda melihat bersama saya bahwa ini adalah
suatu perkara yang menakjubkan, yang bisa menjadikan Anda sekalian
menilik kembali pandangan terhadap agama Anda sekalian?
Jawab: Pertama, dalam surat tersebut tidak hanya
terdapat kalimat tersebut. Di dalam surat tersebut juga datang firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ
تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلا نَعْبُدَ
إِلا اللَّهَ وَلا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا
أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Katakanlah: “Hai ahli Kitab, marilah (berpegang)
kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami
dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita
persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita
menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah”. (QS. Ali Imran: 64
Maka tampak, bahwa Anda tidak meneliti sejarah dan kejadian pada masa
itu, dan Anda akan mengetahuinya di sela-sela jawaban saya apa yang
saya maksudkan dengannya.
Anda harus mengetahui bahwa kalimat “Aslim Taslam (Masuk
Islamlah, kamu akan selamat)” adalah cukup untuk menegakkan hujjah atas
Heraclius dengan dalil bahwa dia mempercayainya, dan mengetahui bahwa
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah Rasul, utusan Allah. Akan
tetapi dia tidak meninggalkan kerajaannya dan terhalang dari Islam. Saya
tambahkan juga, bahwa Heraclius mengetahui akan tempat datangnya Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan bahwa saat itu adalah waktu kemunculan
beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Telah disebutkan dalam shahih al-Bukhari:
فَأَذِنَ هِرَقْلُ لِعُظَمَاءِ
الرُّومِ فِى دَسْكَرَةٍ لَهُ بِحِمْصَ ثُمَّ أَمَرَ بِأَبْوَابِهَا
فَغُلِّقَتْ ، ثُمَّ اطَّلَعَ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ الرُّومِ ، هَلْ لَكُمْ
فِى الْفَلاَحِ وَالرُّشْدِ وَأَنْ يَثْبُتَ مُلْكُكُمْ فَتُبَايِعُوا
هَذَا النَّبِىَّ ، فَحَاصُوا حَيْصَةَ حُمُرِ الْوَحْشِ إِلَى الأَبْوَابِ
، فَوَجَدُوهَا قَدْ غُلِّقَتْ ، فَلَمَّا رَأَى هِرَقْلُ نَفْرَتَهُمْ ،
وَأَيِسَ مِنَ الإِيمَانِ قَالَ رُدُّوهُمْ عَلَىَّ .وَقَالَ إِنِّى قُلْتُ
مَقَالَتِى آنِفًا أَخْتَبِرُ بِهَا شِدَّتَكُمْ عَلَى دِينِكُمْ ، فَقَدْ
رَأَيْتُ . فَسَجَدُوا لَهُ وَرَضُوا عَنْهُ ، فَكَانَ ذَلِكَ آخِرَ
شَأْنِ هِرَقْلَ .
“Maka Heraclius mengizinkan para pembesar Romawi di dalam satu
istana di sekitar rumah miliknya di Himsh, kemudian dia memerintahkan
pintu-pintunya untuk ditutup. Kemudian dia muncul seraya berkata, ‘Wahai
sekalian orang-orang Romawi, apakah kalian mau mendapatkan
keberuntungan dan petunjuk, dan kerajaan kalian akan diteguhkan, maka
berbaiatlah kepada Nabi ini. Maka mereka pun berlarian seperti
keledai liar menuju pintu, dan mereka mendapati pintu itu telah
tertutup. Maka saat Heraclius melihat larinya mereka, dan dia putus asa
dari keimanan, dia berkata, ‘Kembalikanlah mereka kepadaku.’ Lalu dia
berkata, ‘Sesungguhnya perkataanku tadi, adalah aku ingin menguji
kekuatan kalian terhadap agama kalian, dan sungguh aku telah
melihatnya.’ Maka mereka pun sujud dan ridha kepadanya. Maka itulah akhir dari perkara Heraclius.”
Di dalam hadits itu juga disebutkan, bahwa Heraclius berkata:
فَلَوْ أَنِّى أَعْلَمُ أَنِّى أَخْلُصُ إِلَيْهِ لَتَجَشَّمْتُ لِقَاءَهُ ، وَلَوْ كُنْتُ عِنْدَهُ لَغَسَلْتُ عَنْ قَدَمِهِ
“Seandainya aku tahu bahwa aku bisa bebas kepadanya, pastilah aku
akan berupaya untuk menemuinya, dan seandainya aku di sisinya, pastilah
aku akan membasuh kakinya.”
Kemudian ketahuilah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah diberikan jawami’ul kalim
(kalimat ringkas yang memiliki makna dalam), dan tulisan tersebut,
dengan keringkasannya, adalah kalimat yang menyeluruh lagi memberikan
manfaat, lagi mengandung sastra tinggi bahasa Arab.
An-Nawawi Rahimahullah berkata dalam Syarah Muslim:
“Diantaranya, disunnahkannya bersastra, dan meringkas, serta memilih
lafal-lafal yang pendek dalam tulisan. Maka sesungguhnya sabda beliau
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, aslim taslam (masuk Islamlah,
kamu akan selamat) ada pada puncak peringkasan, dan puncak sastra, serta
mengumpulkan segala makna bersamaan dengan keindahannya, serta
kesempurnaannya demi keselamatan Heraclius dari kesengsaraan dunia
dengan peperangan, penawanan, pembunuhan, pengambilan rumah, harta dan
dari adzab akhirat.”
Kemudian, sesungguhnya orang yang memperhatikan dialog yang terjadi
antara Heraclius dan Abu Sufyan sebelum keIslamannya, maka dia akan
mengetahui bahwa Heraclius telah tahu bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam adalah benar-benar utusan Allah.
Barangkali Anda sekarang mengetahui bahwa dengan ucapan saya, bahwa
Anda tidak memperhatikan sejarah dan kejadian zaman itu. Sebagaimana
barangkali telah jelas bagi Anda akan sebab yang menjadikan kami tidak
menilik kembali pandangan kami terhadap agama kami dengan syubhat ini
dan syubhat yang lain.*
Syubhat: Apakah boleh Nabi kalian -Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam- menceraikan istrinya, Saudah, karena dia telah tua,
dan di saat wanita itu masih muda dia menikmati masa mudanya, dan saat
dia berusia tua, dia langsung menceraikannya?
Jawab: Sebagaimana biasa, Anda sekalian menyampaikan
syubhat, sementara Anda tidak mengetahui rincian dan faktanya. Ditambah
lagi kedustaan dan klaim tidak benar yang ada di dalamnya.
Pertama, tidak benar ucapan Anda bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam menikahi Saudah Radhiallahu ‘Anha saat dia masih muda. Seandainya
Anda mengetahui hakikatnya sekarang, Anda akan malu sendiri terhadap
diri Anda. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, saat menikahi Saudah, kala itu Saudah Radhiallahu ‘Anha telah berusia enam puluh enam tahun.
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menikahinya kecuali bahwa
dia, saat pergi ke Habasyah ia bersama suaminya, dan saat kembali dari
sana suaminya meninggal dunia. Karena keluarganya masih berada di atas
kesyirikan, maka nabi terdorong untuk menikahinya demi memberikan kasih
sayang kepadanya, berbuat baik dengan kondisinya, dan menghibur
kesendiriannya.
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah menceraikannya.
Akan tetapi yang terjadi adalah bahwa saat ummul mukminin Saudah
Radhiallahu ‘Anha telah berusia sangat tua, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam merasa kesulitan untuk merawatnya, terutama saat sudah banyak
dari keluarganya yang telah masuk Islam. Maka berkatalah Ummul Mukminin
Saudah Radhiallahu ‘Anha, ‘Sesungguhnya aku sudah tua, dan kaum
laki-laki pun tidak punya hajat dengan aku, akan tetapi aku ingin
dibangkitkan nanti di tengah-tengah istri Anda pada hari kiamat.’ Maka
turunlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ
بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ
يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الأنْفُسُ
الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرًا (١٢٨)
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau
sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih
baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan
jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu
(dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. an-Nisa`: 128)
Ayat ini mengajari kita bahwa jika seorang wanita mengkhawatirkan
larinya, atau berpalingnya suami darinya, maka dia boleh untuk
menggugurkan sebagian haknya untuk suaminya, apakah itu sebagian nafkah,
pakaian, atau jatah menginap. Dan boleh bagi suami untuk menerima hal
itu. Tidak ada masalah atas sang istri dalam pengorbanannya itu untuk
suami, dan tidak masalah atas suami dalam menerimanya. Maka Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kembali kepada Saudah dan memperlakukannya
dengan sebaik-baiknya.
Maka di manakah sekarang klaim bahwa beliau telah menceraikannya?! Di
manakah bukti bahwa beliau menikahi Saudah Radhiallahu ‘Anha pada saat
dia masih gadis?! Percayalah kepada saya, sesungguhnya kepayahan saya
dalam menjawab bukanlah dari Anda akan tetapi dari mereka yang telah
menanamkan syubhat ini di akal Anda, sementara saat kami mengajak mereka
untuk berdialog, kami tidak melihat seorang pun dari mereka.*
Syubhat: Sesungguhnya orang yang mengikuti sejarah
kaum muslimin, dia akan menemukan bahwa mereka tidak pernah memiliki
ilmu hadits. Ilmu hadits itu baru dibuat setelah dua ratus tahun.
Kemudian setelah masa yang panjang ini, orang-orang yang disebut
belakangan sebagai ahli hadits memutuskan untuk mengumpulkan hadits.
Kemudian jadilah mereka mengambil dari orang-orang yang pernah mendengar
hadits. Kemudian salah seorang dari mereka berkata, ‘Aku mendengar
Fulan berkata, ‘Aku mendengar Fulan dari Nabi kalian -Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam-, maka atas dasar inilah menjadi sulit menghukumi
hadits ini sebagai hadits shahih, atau hadits maudhu’. Maka tidak
mungkin ada sambungan bagi kalian sebagaimana sebelumnya, karena
panjangnya masa itu.
Jawab: Sebagaimana biasa, kami memulai dengan meluruskan kesalahan, dan pemahaman kemudian kami akan menjawab.
Ilmu hadits, tidaklah seperti yang Anda kira, yaitu bahwa ilmu ini
baru ada setelah dua ratus tahun. Akan tetapi ilmu itu sudah dimulai
sejak generasi pertama di zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan
telah mencakup satu bagian besar dari hadits. Apa yang ditemukan oleh
orang yang meneliti kitab-kitab yang disusun tentang para perawi hadits
dan teks-teks sejarah yang memberitakan biografi mereka, maka
kitab-kitab mereka itu akan menetapkan ilmu hadits itu dengan rupa yang
sangat luas. Dimana hal ini menunjukkan akan menyebarnya
pengkodifikasian hadits, dan banyaknya dalam masa itu.
Di saat kita meneliti secara ilmiah lagi benar, kita akan menemukan
bahwa permulaan penulisan hadits telah dilakukan di awal abad kedua,
yaitu antara tahun 120 – 130 H. dengan bukti nyata yang menjelaskan
kepada kita. Terdapat sejumlah kitab, yang penulisnya telah wafat di
tengah abad kedua. Seperti Jami’ Ma’mar bin Rasyid (W. 145 H), Jami’
Sufyan ats-Tsauri (W. 161 H), Hisyam bin Hisan (W. 148 H), Ibnu Juraij
(W. 150 H), dan banyak lagi selain mereka.
Kemudian, Anda harus mengetahui bahwa para ulama hadits, telah
meletakkan syarat-syarat demi menerima hadits, yang syarat itu mampu
menjamin penukilannya melalui berbagai generasi dengan amanah dan
kepastian. Hingga menjadikan hadits tersebut tersampaikan seperti halnya
didengar langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Terdapat syarat-syarat yang mereka tetapkan dalam perawi (orang yang
menyampaikan hadits) yang mencakup di dalamnya puncak kejujuran,
keadilan, dan amanah, disertai dengan penguasaan sempurna bagi perilaku,
dan pengembanan tanggung jawab.
Sebagaimana syarat itu mencakup kekuatan hafalan, mengikat dengan
dadanya (hafalan), atau dengan tulisannya, atau dengan keduanya secara
bersamaan. Yang memungkinkan baginya untuk menghadirkan hadits tersebut,
serta menunaikannya sebagaimana dia mendengarnya. Syarat-syarat yang
disyaratkan oleh ahli hadits untuk hadits yang shahih dan hasan itu pun
menjadi jelas. Yaitu syarat-syarat yang mencakup terpercayanya perawi
hadits, kemudian selamatnya penukilan hadits di antara matarantai sanad,
bersihnya hadits itu dari segala cacad yang tampak maupun yang
tersembunyi, serta ketelitian para ahli hadits dalam mempraktekkan
syarat-syarat tersebut serta kaidah dalam menghukumi hadits dengan
dhai’f hanya karena tidak ada bukti akan keshahihannya, tanpa harus
menunggu datangnya dalil yang berseberangan dengannya.
Para ulama ahli hadits tidak mencukupkan diri dengan ini, bahkan
mereka meletakkan syarat-syarat dalam periwayatan yang tertulis. Tampak
bahwa Anda tidak memperhatikannya. Para ulama ahli hadits telah
memberikan syarat periwayatan yang tertulis dengan syarat-syarat hadits
shahih. Oleh karena itulah kita menemukan di atas manuskrip hadits
rangkaian sanad (transmisi periwayatan) kitab dari satu perawi ke perawi
yang lain hingga sampai kepada penulisnya. Kemudian, di atasnya kita
menemukan penetapan pendengaran, serta tulisan penulis atau Syaikh yang
didengar yang meriwayatkan satu naskah dari naskah penulis atau dari
cabangnya. Maka jadilah metode para ahli hadits lebih kuat, lebih
hikmah, dan lebih agung dari segala metode dalam menilai periwayatan,
dan sanad yang tertulis.
Maka, janganlah Anda menyangka bahwa pembahasan sanad menunggu dua
ratus tahun sebagaimana ucapan Anda. Akan tetapi para sahabat Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah meneliti dan mencari-cari sanad
sejak zaman pertama saat terjadi fitnah pembunuhan terhadap Khalifah
ar-Rasyid Utsman Radhiallahu ‘Anhu tahun 35 H. yang kemudian kaum
muslimin membuat satu contoh istimewa di dunia tentang sanad. Dimana
mereka melakukan perjalanan ke berbagai negeri demi mencari hadits,
menguji para perawi hadits, hingga perjalanan mencari hadits menjadi
syarat pokok penentuan hadits.
Para ulama ahli hadits tidak lalai dari apa yang dibuat-buat oleh
para pemalsu hadits dari golongan ahlu bid’ah, dan mazdhab-mazdhab
politik. Bahkan mereka bersegera untuk memeranginya dengan mengikuti
sarana-sarana ilmiah demi membentengi sunnah. Maka mereka pun meletakkan
kaidah-kaidah, serta aturan-aturan bagi para perawi ahli bid’ah, serta
penjelasan sebab-sebab pemalsuan hadits dan tanda-tanda hadits-hadits
palsu.
Ilmu hadits, dengan berbagai syarat yang ada di dalamnya, tidak
pernah ditemukan pada umat mana pun selain umat Islam, satu-satunya umat
yang menjaga agamanya. Maka bandingkanlah cara penuh hikmah yang ada
pada kaum muslimin dengan kitab-kitab Nasrani yang merupakan
dongeng-dongeng yang para peneliti menemukan berbagai kesalahan,
kontradiksi dan berbagai perubahan.
Kemudian lihatlah kepada ilmu sanad pada kaum muslimin, yang
dengannya mereka menyendiri dari segenap umat manusia, karena mereka
telah menjamin keselamatan rangkaian periwayatan hadits hingga sampai
kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari segala cacad dengan ilmu
isnad yang tidak ada di umat mana pun. Ilmu ini tidak ada pada
orang-orang Nasrani. Maka tidak heran jika kita menemukan dalam
kitab-kitab mereka, ‘Yesus berkata’, ‘Paulus berkata’ tanpa ada sanad
(jalur periwayatannya), dan tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana
hal itu bisa sampai.*
Syubhat: Yang menguatkan kebatilan agama Islam
adalah bahwa tidak ada seorang Nabi pun yang pernah berhaji selain nabi
kalian, dan ini telah pasti dalam kitab-kitab kalian.
Jawab: Ini adalah sebuah ucapan yang tidak benar.
Cukuplah bantahan akan syubhat ini adalah hadits yang datang di dalam
shahih Muslim bab Iman no. 242:
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ
الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ دَاوُدَ
عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ سِرْنَا
مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ
مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فَمَرَرْنَا بِوَادٍ فَقَالَ أَيُّ وَادٍ
هَذَا فَقَالُوا وَادِي الْأَزْرَقِ فَقَالَ كَأَنِّي أَنْظُرُ
إِلَى مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ مِنْ
لَوْنِهِ وَشَعَرِهِ شَيْئًا لَمْ يَحْفَظْهُ دَاوُدُ وَاضِعًا
إِصْبَعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ لَهُ جُؤَارٌ إِلَى اللَّهِ
بِالتَّلْبِيَةِ مَارًّا بِهَذَا الْوَادِي قَالَ ثُمَّ سِرْنَا حَتَّى
أَتَيْنَا عَلَى ثَنِيَّةٍ فَقَالَ أَيُّ ثَنِيَّةٍ هَذِهِ قَالُوا
هَرْشَى أَوْ لِفْتٌ فَقَالَ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى يُونُسَ
عَلَى نَاقَةٍ حَمْرَاءَ عَلَيْهِ جُبَّةُ صُوفٍ خِطَامُ نَاقَتِهِ
لِيفٌ خُلْبَةٌ مَارًّا بِهَذَا الْوَادِي مُلَبِّيًا.
‘Muhammad bin al-Mutsanna menceritakan kepadaku, menceritakan kepada
kami Ibnu Abi ‘Adin dari Dawud dari Abul ‘Aliyah dari Ibnu ‘Abbas, dia
berkata, ‘Kami berjalan bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
antara Makkah dan Madinah. Maka kami pun melewati sebuah lembah, lalu
beliau bersabda, ‘Lembah apakah ini?’ Maka mereka menjawab, ‘Lembah
Azraq.’ Maka beliau bersabda, ‘Seakan-akan aku melihat Musa ‘Alaihi
Sallam.’ Lalu beliau menyebut warna kulitnya, rambutnya, sesuatu yang
tidak dihafal oleh Dawud, seraya meletakkan kedua jarinya di kedua
telinganya, mengeraskan suara seraya bertalbiyah (membaca
talbiyah), dengan melewati lembah ini.’ Dia berkata, ‘Kamipun berjalan
hingga kami mendatangi gunung kecil.’ Maka beliau bersabda, ‘Gunung
apakah ini?’ Mereka menjawab, ‘Harsya atau Lift.’ Maka beliau bersabda,
‘Seakan-akan aku melihat kepada Yunus, berada di atas seekor onta
mereka, memakai jubah dari wol, dan tali kekang ontanya adalah sabut
tengah melewati lembah ini seraya bertalbiyah.’
Oleh karena itulah, ini adalah satu dalil pasti, dari kitab-kitab
kami yang memberikan faidah bahwa para Nabi telah berhaji ke baitullah.
Dan sebagaimana Anda meminta kami yang demikian, maka sesungguhnya kami
meminta dari Anda satu dalil yang menunjukkan bahwa para Nabi tidak
berhaji ke baitullah dari kitab-kitab kalian. (AR)*
0 komentar:
Posting Komentar