Nilai Kesederhanaan dalam Ibadah Haji




Ibadah haji merupakan perjalanan spiritual yang sarat hikmah. Rangkaian prosesi ibadah haji dari sejak niat memasukinya (ihram) hingga ibadah haji berakhir dengan thawaf wadak memberikan banyak pelajaran yang dapat kita petik. Diantaranya adalah soal kesederhanaan. Hal ini akan sangat dirasakan oleh orang yang berhaji.
Sederhana dalam arti meninggalkan kemewahan dan sikap berlebihan dalam kemubahan dunia adalah sikap terpuji. Baik dalam pakaian, makanan, minuman, kendaraan, tempat tinggal dan lain-lain. Allah berfirman (yang artinya), “Makan dan minumlah kalian dan jangan berlebih-lebihan, sesungguhnya Dia membenci orang-orang yang berlebih-lebihan” (QS Al-Araf [7]: 31)
Umar bin Khattab pernah berwasiat, “Jauhilah kemewahan dan berpenampilan orang asing, pakailah pakaian kaum muslimin dan sederhanalah…” (Hilyah Thalib Ilm, Syaikh Bakr Abu Zaid)
Sikap sederhana dan menjauhi kemewahan dunia lebih dekat kepada iman dan takwa. Sementara kemewahan kerap menjerumuskan seseorang kepada dosa dan kekufuran. Karenanya Allah mengabarkan orang-orang yang bermegah-megahanlah yang sering kali menjadi musuh para Rasul.
Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah kami utus pada sebuah negeri seorang pemberi peringatan, melainkan akan berkata orang-orang yang bermegah-megahan di negeri tersebut, “Sesungguhnya kami kufur terhadap ajaran yang kamu diutus dengannya.” (QS Saba [34]: 34)
Ibadah haji juga mendidik manusia untuk selalu memandang bahwa sesungguhnya kemulian tidak diukur oleh penampilan lahir. Pakaian ihram yang seragam bagi kaum laki-laki dengan rida` (kain ihram bagian atas) dan izar (kain ihram bagian bawah) sangat jelas menggambarkan bahwa manusia di sisi Allah tidak dinilai dari pakaian yang membalut jasadnya. Allah menyatakan pakaian yang paling baik bukanlah pakaian lahir, melainkan takwa.
“Wahai anak adam, telah kami turunkan kepada kalian pakaian yang menutup aurat kalian dan sebagai perhiasan, akan tetapi pakaian takwa adalah lebih baik…” (QS Al-Araf [7]: 26)
Kesederhanaan yang diajarkan dalam syariat haji juga mencakup kesederhanaan dalam perkataan dan perbuatan. Prilaku tidak melampaui batas dalam perkataan dan perbuatan hingga termasuk kategori sia-sia atau diharamkan Allah adalah tujuan dari sejumlah larangan-larangan ihram seperti berburu, mencabut tanaman, mengambil barang temuan dan lain-lain.
Allah juga berfirman (yang artinya), “Maka janganlah ada rafats (jima) dan fusuq (perbuatan dan perkataan buruk) dalam (ibadah) haji.” (QS Al-Baqarah [2]: 197)
Bahkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan pengampunan dosa dari ibadah haji hanya bagi orang yang meninggalkan rafats dan fusuq, “Barangsiapa berhaji dan tidak rafats serta fasik, ia akan kembali seperti kondisi ia dilahirkan ibunya.” (Muttafaq ‘Alaih)***Wallahu ‘alam bish-shawab

Penulis: Ustadz Abu Khalid Resa Gunarsa, Lc

0 komentar:

Copyright © 2012 BERSAMA MENAMBAH KEIMANAN.