BANTAHAN SYUBHAT ALAWI AL-MALIKI dan ABDURRAHMAN bin SADI

Oleh: Mamduh Farhan al-Buhairi
Saat sampai kepadaku syubhat berupa kisah dialog antara as-Sayyid Alawi al-Maliki dan Syaikh ‘Abdurrahman bin Sa’di, mudah-mudahan Allah merahmati keduanya- saya tidak berminat menjawabnya pada waktu ini, mengingat kesibukanku dalam mendakwahi Nasrani dan Syi’ah. Di samping itu saya tidak ingin mengusik kedamaian antara kami dan saudara kami -meskipun kami berselisih dengan mereka, namun mereka akan tetap menjadi saudara kami, karena kami bersepakat dengan mereka dalam ushul (pokok) agama ini dan banyak sekali dalam furu’ (cabang)nya-. Akan tetapi saya terpaksa menjawab syubhat ini tanpa menundanya, karena melihat pentingannya, bahayanya, dan penyebarannya. Juga karena syubhat tersebut sampai kepada saya dari orang yang tidak mungkin saya menolak permintaannya, yaitu Akhi al-Ustadz Agus Hasan Bashori hafizhahullah. Berikut ini adalah teks dari syubhat tersebut:
Suatu ketika, as-Sayyid ‘Alwi bin Abbas sedang duduk di dalam halaqahnya di Masjidil Haram Makkah. Sementara di sisi lain bagian Masjidil Haram duduk pula as-Syaikh ‘Abdurrahman bin Sa’diy, penulis kitab Tafsir (Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan) sementara manusia sedang dalam shalat dan thawaf mereka. Kala itu, langit tengah membawa mendung, kemudian turunlah hujan, dan tertumpah dari talang Ka’bah. Maka orang-orang Hijaz, sebagaimana kebiasaan mereka, berhamburan menuju air yang tumpah dari talang Ka’bah untuk mengambil dan menunangkannya ke baju dan tubuh mereka guna bertabarruk dengannya.
Maka terkejutlah ahlul hasbah dari kalangan Badui dan menganggap bahwa manusia telah datang dengan kesyirikan dan menyembah selain Allah!!! Jadilah mereka kemudian berkata kepada ahlul Hijaz tersebut, ‘Wahai orang-orang musyrik, syirik… syirik….!’
Maka bubarlah orang-orang tersebut, kemudian berpaling menuju halaqah as-Sayyid ‘Alawiy, lalu mereka bertanya kepadanya (tentang hal itu). Lantas diapun membolehkan mereka untuk melakukan hal itu dan menganjurkannya. Maka untuk kedua kalinya, orang-orang itu berhamburan menuju talang Ka’bah untuk mengambil air tanpa menghiraukan ahlul hasbah yang badui tersebut. Kemudian orang-orang itu berkata kepada mereka, ‘Kami tidak akan mempedulikan kalian setelah as-Sayyid Alawiy bin ‘Abbas memberikan fatwa kepada kami…’
Maka orang-orang Badui itupun pergi ke halaqah as-Syaikh ‘Abdurrahman bin Sa’diy untuk mengadukan as-Sayyid ‘Alawiy kepadanya. Lantas Ibnu Sa’diy pun mengambil sorbannya lalu pergi dan duduk di sisi as-Sayyid dengan adab yang agung, sementara manusia berkumpul di sekitar keduanya. Kemudian Ibnu Sa;diy berkata kepada as-Sayyid, ‘Apakah benar wahai Sayyid, bahwa Anda telah berkata kepada manusia bahwa terdapat keberkahan pada air ini?!
Maka berkatalah as-Sayyid, ‘Bahkah saya katakan, terdapat dua keberkahan!! ’
Ibnu Sa’di berkata, ‘Bagaimanakah yang demikian itu?’
As-Sayyid menjawab, ‘Dikarenakan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا
“Dan Kami turunkan dari langit air yang diberkahi…” (QS. Qaaf: 9)
Dan Dia berfirman tentang Ka’bah:
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ (٩٦)
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS. Ali ‘Imran: 96)
Maka keduanya sekarang adalah dua keberkahan; satu keberkahan air langit, dan keberkahan Ka’bah ini.’
Maka takjublah as-Syaikh Ibnu Sa’di seraya berkata, ‘Subhanallah, bagaimana kita bisa lalai dari hal ini?’ lantas diapun berterima kasih kepada as-Sayyid dan meminta izin untuk pergi.
Maka berkatalah as-Sayyid kepadanya, ‘Tenang wahai Syaikh, apakah Anda melihat orang-orang badui tersebut? Sesungguhnya mereka menyangka bahwa apa yang dilakukan oleh orang-orang itu adalah sebuah kesyirikan. Mereka tidak akan berhenti mengkafirkan manusia dan melemparkan tuduhan syirik kepada mereka dalam perkara ini hingga mereka melihat orang seperti Anda menahan mereka, maka bangkitlah menuju talang Ka’bah, lalu ambillah air darinya dihadapan mereka hingga mereka menahan diri dari manusia.’
Maka tidak ada apa pun dari Ibnu Sa’di melainkan dia bangkit dan pergi lalu membuka bajunya, mengambil air dan bertabarruk dengannya. Lalu pergilah orang-orang badui itu dari manusia.
As-Syaikh ‘Abdul Fattah Rawwah memberitakan kepadaku dengan kisah ini dalam Tsabatnya.

Jawab:
Saya memohon pertolongan kepada Allah, dan saya banyak bersyukur dan memuji Allah karena syubhat ini dimintakan jawabannya dari saya bukan dari ahli ilmu selain saya. Hal itu bukan karena ilmu saya yang sederhana ini, akan tetapi karena suatu perkara yang para pembaca akan mengetahuinya  dari sela-sela jawaban saya.
Sesungguhnya kisah buatan (atau fiktif) ini, saat memperhatikannya, menjadi jelas bahwa orang yang mengarangnya terjerumus pada banyak kesalahan fatal. Pengarang ini meninggalkan banyak jejak bagi kejahatannya, bukan hanya satu jejak.
Karena perhatian saya agar pembahasan ini menjadi pembahasan yang ilmiah lagi menyeluruh yang mencangkup segala sisinya, maka saya membagi pembahasan ini menjadi sepuluh bagian. Pertama, sanad riwayat kisah; kedua, matan (isi, kandungan) kisah; ketiga, rincian riwayat; keempat, perbandingan riwayat; kelima, pandangan sejarah; keenam, perselisihan redaksional; ketujuh, tujuan dari periwayatan kisah; kedelapan, diagnosa kejiwaan dan psikologi; kesembilan, perbandingan antara as-Syaikh bin Sa’diy dengan as-Sayyid ‘Alawiy Maliki; kesepuluh, Risalah untuk ummat.

Sanad Periwayatan:
Saat melihat kepada sanad periwayatan, kami mendapatinya dalam keadaan rapuh. Tidak ditemukan sanad shahih lagi terpercaya yang sambung sampai kepada as-Sayyid ‘Alawiy Maliki secara langsung. Sekalipuan ini sudah cukup menjadi dalil yang mu’tabar atas runtuhnya dan tertolaknya riwayat tersebut. Terutama bahwa penulis kisah fiktif itu adalah orang bayangan yang tidak dikenal jati dirinya. Dimana dia menaruh kisah ini di dunia maya yang kemudian dikutip oleh orang-orang tanpa ilmu, pemahman atau klarifikasi. Lalu mengklaim bahwa as-Syaikh Bayangan itu telah mendengar riwayat itu dari as-Sayikh ‘Abdul Fattah Rawwah. Di sinilah riwayat tersebut jatuh berantakan, dan terbuka kedustaannya sama sekali. Yang demikian itu karena as-Syaikh ‘Abdul Fattah Rawwah adalah tetangga dekat kami di Makkah, di distrik al-Hujun. Dimana tidak terpisah antara rumah kami dengan rumah Syaikh kecuali oleh satu rumah saja. Saya sendiri kenal dengan as-Syaikh Rahimahullah, dan sepanjang hidup saya, saya tidak pernah mendengar darinya, atau dari seorang pun dari penduduk distrik, atau dari murid-murid beliau yang telah menukil kisah ini dari beliau hingga beliau wafat Rahimahullah.
Agar saya tidak meninggalkan satu kesempatan bagi mereka yang menentang dengan meragukan ucapan saya, maka sesungguhnya saya telah menelephon putra beliau, yaitu Ibrahim pada hari Selasa yang bertepatan dengan 24 Rabiutstsaniy 1432 H (29 Maret 2011) pada jam 12 siang, dimana saya bertanya kepadanya jika dia pernah mendengar kisah ini suatu hari dari ayahandanya di dalam mejelis ilmuanya. Maka dia pun menafikannya dari ayahandanya sama sekali. Dan dia menyebut bahwa ayahandanya memiliki delapan belas kitab yang semuanya terdapat di Perpustakaan Masjidil Haram, dan tidak ada satu pun kitab-kitab itu yang berisi kisah ini. Dan yang mengagetkan, sesungguhnya saya bertanya kepadanya, jika ayahandanya berkeyakinan akan keberkahan air hujan yang turun dari talang Ka’bah, maka diapun menafikan keyakinan ini dari ayahandanya.
Sesungguhnya saya selalu siap kapan saja bagi siapa saja yang ingin bertemu dengan putra Syaikh, saya menjamin dan menjanjikan hal itu di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan Dia adalah sebaik-baik saksi.
Sebagaimana kami di majalah Qiblati akan menerbitkan –dengan izin Allah- VCD (video) untuk menguatkan persaksian Ibnu as-Syaikh ‘Abdul Fattah Rawwah dan saksi lainnya.
Saya kira dengan demikian, kita patut “bertakbir empat kali” atas jenazah sanad riwayat kisah tersebut setelah saya menghadirkan dalil qath’i yang membatalkannya.

Matan Riwayat:
Saat kita mengikuti isi dari kisah ini, maka kita mendapati bahwa kisah ini mengandung berbagai perselisihan syari’at yang jelas. Argumentasi yang mereka klaim bahwa as-Sayyid ‘Alawiy Maliki berdalil dengannya adalah argumentasi dengan Qiyas yang batil lagi tidak benar. Dimana beliau membuktikan keberkahan air hujan yang turun dari talang Ka’bah dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا
“Dan Kami turunkan dari langit air yang diberkahi…” (QS. Qaaf: 9)
Kemudian ia  menjadikannya bercampur dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ (٩٦)
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS. Ali ‘Imran: 96)
Agar para penuntut ilmu bisa memahami kesalahan argumentasi yang rancu ini, pertama-tama kita harus memberikan batasan pemahaman dan makna dari al-barakah (keberkahan) yang disebutkan dalam dua ayat tersebut.
Dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: [لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا] maksudnya adalah bahwa rumah ini (Ka’bah) diberkahi oleh Allah, akan tetapi bukanlah makna keberkahan dalam rumah ini dengan kita membuat segala yang kita kehendaki, lalu mengusap-usap tembok Masjidil Haram, atau lantainya, atau Maqam Ibrahim, atau dengan sebagian tempat dari Ka’bah yang tidak ada dalil pun yang menunjukkan perintah pengusapannya, atau dengan apa yang tumpah dari air hujan; bukan ini makna keberkahan tersebut.
Akan tetapi keberkahan yang dimaksud adalah bahwa keberkahan rumah tersebut ada pada kesinambungan kunjungan manusia kepadanya tanpa terputus; penunaian haji dan umrah; diraihnya pahala dengan tambahan pahala satu shalat hingga menjadi seratus ribu shalat; i’tikaf di masjidil Haram, dan membaca al-Qur`an padanya.
Inilah keberkahan Ka’bah yang hakiki, yang sungguh disayangkan tidak difahami oleh as-Sayyid ‘Alawiy Maliki sebagaimana yang diinginkan oleh sang pengarang kisah buatan ini. Dimana dia telah berbuat buruk kepada beliau dari sisi keinginan baiknya ini.
Adapun keberkahan yang dimaksud dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala: [وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا], maka demikian juga, telah hilang dari pikiran as-Sayyid ‘Alawiy Maliki sebagaimana yang dikehendaki oleh sang pengarang.
Pemahaman yang benar bagi keberkahan tersebut telah jelas dalam ayat tersebut secara ekplisit, dimana ayat tersebut berbunyi:
وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا فَأَنْبَتْنَا بِهِ جَنَّاتٍ وَحَبَّ الْحَصِيدِ (٩)
“Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam…” (QS. Qaaf: 9)
Maksudnya adalah bahwa Dia menurunkan air yang bermanfaat dari langit, dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala menumbuhkan bumi, lalu tumbuhlah tanaman-tanaman. Dan diantara hasilnya adalah manusia mengambil manfaat dan memakannya. Maka hujan adalah satu nikmat dari sekian nikmat-nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengannyalah ada kehidupan manusia, hewan dan bumi. Dengan turunnya hujan, bumi menumbuhkan segala kebaikannya, meratanya keberkahan, dan banyaknya rizki. Akan tetapi keberkahan di sisi as-Sayyid ‘Alawiy Maliki –sebagaimana yang digambarkan oleh pengarang kisah- adalah sesuatu yang lain sebagaimana yang sudah kita baca dalam kisah fiktif di atas. Beliau mengqiyaskan air hujan yang diberkahi dengan turunnya di atas Ka’bah yang diberkahi, kemudian dengan demikian beliau menyimpulkan bahwa terdapat dua keberkahan yang saling bercampur (tumpang tindih). Ini adalah sebuah kesalahan besar yang telah mereka lakukan terhadap as-Sayyid ‘Alawiy. Dikarenakan air hujan itu tetap diberkahi sekalipun turun di negeri kafir dan tidak memiliki kekhususan saat turun di Masjidil Haram. Kami meminta mereka untuk menetapkan dalil bahwa air hujan memiliki kekhususan dengan turunnya di Baitul Haram jika mereka mampu. Maka atas dasar apa mereka menjadikan pengkhususan ini dari istinbath yang disebutkan dalam dua ayat tersebut? Dan kami telah menyebutkan serta menjelaskan maksud keberkahan pada keduanya.
Seandainya kami mengalah, bahwa air hujan yang turun dari talang Ka’bah membawa dua keberkahan yang berarti bahwa manusia akan mengambil manfaat besar dengannya, maka jika demikian, bagaimana hal itu bisa hilang dari pengetahuan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan tidak pernah memberikan wasiat kepada umatnya dengan kebaikan agung ini sementara as-Sayyid ‘Alawi Maliki mengetahuinya?
Bagaimana para sahabat, tabi’in dan para imam tidak mengetahui kebaikan agung ini dan as-Sayyid ‘Alawi Maliki mengetahuinya? Maka apakah masuk akal bahwa beliau mengetahui satu perkara yang tidak diketahui oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Dan juga para sahabat, tabi’in dan para imam belum pernah mengetahuinya? Yang juga tidak pernah ditemukan satu dalilpun bahwa mereka pernah mengatakan seperti perkataan as-Sayyid ‘Alawiy Maliki.
Pada hakikatnya, as-Sayyid ‘Alawiy Maliki dengan logika yang datang dalam kisah ini, beliau tidak hanya lebih ‘alim dari as-Sayikh ibn Sa’diy bahkan dia lebih ‘alim dari seluruh sahabat, tabi’in, dan para imam, termasuk di antara mereka adalah al-Imam as-Syafi’i Rahimahullah yang tidak pernah memberikan peringatan kepada umat terhadap permasalahan ini seperti apa yang dilakukan oleh as-Sayyid ‘Alawiy Malikiy. Jika al-Imam as-Syafi’i tertinggal dari masalah ini, maka bagaimana tidak tertinggal atas as-Sayikh Ibn Sa’di yang dia lebih kecil daripada al-Imam as-Syafi’i. Kemudian siapa as-Sayikh Ibn Sa’diy di hadapan para sahabat, tabi’in yang mereka tidak tahu masalah ini, dan as-Sayyid ‘Alawiy Maliki mengetahuinya?!
Termasuk yang penting kita fahami adalah bahwa hujan termasuk perkara yang turunnya terus berulan-ulang. Sekalipun demikian tidak pernah dinukil dengan satu sanad yang shahih bahwa ada salah seorang sahabat atau para imam yang melakukannya atau menganjurkannya. Bahkan dengan sedikit akal, kita akan bisa sampai bahwa seandainya ucapan as-Sayyid ‘Alawiy Maliki adalah benar, maka pastilah para sahabat dan kaum muslimin akan saling berdatangan dari setiap tempat untuk menuju Makkah pada musim hujan untuk mendapatkan dua keberkahan yang agung tersebut. Sekiranya ini tidak pernah terjadi, maka kita bisa mengetahui akan kebid’ahan tujuan periwayatan kisah tersebut dan kedustaan pengarangnya.

Rincian riwayat:
Anda telah mengikuti dalam kisah tersebut bahwa orang-orang Badui saat mereka pergi kepada as-Sayikh ‘Abdurrahman ibn Sa’di lalu mengadukan as-Sayyid ‘Alawiy Maliki kepadanya, Sayikh bin Sa’di pun pergi ke Majelis as-Sayyid ‘Alawiy Malikiy dan mendapatinya di sana, kemudian berdialog bersamanya tentang masalah tersebut. Di sini menjadi jelas akan kebohongan dan kedustaan penulis kisah. Sebab, seandainya as-Sayyid ‘Alawiy beriman bahwa air hujan yang turun dari talang ka’bah membawa dua keberkahan, maka pastilah saat itu dia sendiri yang akan berdiri di bawah talang Ka’bah untuk mendapatkan keberkahan tersebut, bukannya duduk di majelisnya! Maksudnya, seharusnya as-Sayikh bin Sa’di tidak mendapati as-Sayyid ‘Alawiy kecuali di bawah talang Ka’bah. Karena hal ini tidak terjadi, maka hal itu merupakan dalil atas kebatilan kisah tersebut.
Demikian juga kita mendapati bahwa manusia saat orang-orang Badui melarang mereka, mereka pergi ke as-Sayyid ‘Alawiy Maliki di majelisnya. Maksudnya bahwa as-Sayyid ‘Alawiy Maliki sejak awal turunnya hujan tidak berada di bawah talang Ka’bah untuk mendapatkan keberkahan dan keutamaan yang agung tersebut! Maka bagaimana mungkin dia menjadikan keutamaan agung itu lepas darinya?! Di sinlah pengarang kisah dusta tersebut menampakkan bahwa as-Sayyid ‘Alawiy Maliki bukanlah termasuk para ulama yang mengamalkan ilmu mereka. Maka diapun tanpa sadar telah menghinakan beliau, padahal maksudnya ingin memuliakan beliau.
Sebagaimana sang pengarang menampakkan bahwa orang-orang Badui itu lebih banyak ilmunya dari as-Sayyid ‘Alawiy Maliki, dikarenakan ucapan dan pengingkaran mereka yang disebutkan dalam kisah adalah kebenaran. Dimana keyakinan keberkahan air hujan yang turun dari talang Ka’bah termasuk sarana kesyirikan dan termasuk syirik ashghor. Adapun jika berkeyakinan bahwa itu merupakan wasilah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau hujan itu yang memberi keberkahan maka menjadi syirik besar. Demikian pula dengan orang mengusap tembok-tembok Masjidil Haram atau Ka’bah atau Maqom Ibrahim dengan berharap keberkahan, maka itu juga termasuk sarana kesyirikan.
Maka kaum muslimin mencontoh dan mengikuti Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan mengamalkan sunnah Nabi berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
»خُذُوا عَنِّيْ مَنَاسِكَكُمْ«
“Ambillah dariku oleh kalian manasik kalian.”
Dan beliau bersabda:
»صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ«
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
Maka kita diperintahkan untuk shalat sebagaimana beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat, dan berhaji sebagaimana beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berhaji.
Demikianlah, tanpa sengaja Sang Pengarang telah menjadikan orang-orang Badui pada kedudukan para ulama. Sementara dia jadikan as-Sayyid ‘Alawiy Maliki tampil sebagai seorang pelaku bid’ah dalam agama, dimana beliau telah memerintahkan sesuatu yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah memerintahkannya, melakukannya, dan tidak pernah mengakuinya, dan tidak pernah dilakukan oleh para sahabat, serta para imam, termasuk di antara mereka adalah al-Imam as-syafi’i Rahimahullah yang telah hidup bertahun-tahun di Makkah, dan belum pernah dinukil dari beliau satu perintah pun seperti ini, tidak juga dari seorang pun dari para imam.
Sebagaimana Sang Pengarang menjadikan orang-orang yang mencontoh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, serta mengikuti sunnah beliau sebagai orang-orang Badui. Sedangkan pelaku bid’ah dalam agama menurut pengarang adalah orang yang mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Yang mengejutkan sekarang, yang wajib kami peringatkan adalah bahwa tidak ada satu ulama ahli tafsir pun yang menyebutkan seperti yang disebutkan oleh as-Sayyid ‘Alawiy Maliki pada tafsir-tafsir mereka untuk kedua ayat tersebut. Padahal jika qiyas ini benar maka seharusnya mereka menyebutkannya sebagai bab tambahan istidlal atas keagungan dan keberkahan Ka’bah. Akan tetapi tidak ada satu ahli tafsir pun yang beristidlal dengan hal itu, maka hal ini menunjukkan atas apa? Bagaimana mungkin pada masa ini datang seorang bodoh yang ingin merendahkan ilmu as-Syaikh ibn Sa’di untuk perkara aneh ini yang umat Islam tidak pernah mengetahuinya sejak Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk membawa risalah ini.

Perbandingan Riwayat
Wajib bagi kita untuk mengarahkan satu pertanyaan penting; yaitu mana yang lebih banyak keberkahannya; air zam-zam atau air hujan? Saya kira tidak akan ditemukan satu orang berakal pun yang menjadikan air hujan yang merupakan hasil dari menguapnya air laut itu lebih banyak keberkahannya daripada air zam-zam yang telah disebutkan dalam banyak hadits dengan terang-terangan akan keberkahannya, dan bertabarruk dengannya, serta mencari kesembuhan dengan wasilahnya.  Cukuplah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengkhususkan air zam-zam, tidak air selainnya untuk memandikan hati manusia termulia, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Dengan logika qiyas yang sama, yang diqiyaskan oleh pengarang kisah atas nama as-Sayyid ‘Alawiy Maliki, kami bertanya, bagaimana seandainya kita menjadikan air zam-zam mancur dari talang Ka’bah? Bukankah air zam-zam akan menjadi lebih agung manfaatnya dengan kondisi ini ataukah air hujan lebih agung?  Lalu mengapa as-Syari’ (Allah) tidak menunjukkan kita untuk mengamalkan hal ini agar mendapatkan keberkahan yang teragung? Padahal bisa saja para khalifah, raja-raja untuk melakukannya, lalu mengapa usaha agung ini tertinggal dari meeka, terutama pada masa mereka terdapat para imam pemuka para ulama?
Saya akan membuat satu permisalan dengan satu riwayat hipotesa yang kemudian kita bandingkan dengan kisaf fiktif tersebut. Semuanya akan menjadi yakin bahwa dengan logika yang sama riwayat hipotesa saya akan mengunggulinya, dan hendaknya orang-orang berakallah yang menghukuminya:
Kasus as-Sayyid ‘Alawiy Maliki hanyalah mandi dengan air hujan saat turun (mancur) dari talang Ka’bah, sementara riwayat hipotesa saya yang akan mengungguli riwayat bikinan tersebut adalah; air zam-zam saya masukkan ke dalam Ka’bah, lalu saya meminumnya dari tempat yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dulu shalat di dalamnya. Sekarang perhatikanlah perbedaan antara riwayat as-Sayyid ‘Alawiy dan riwayat saya. Dia mengandalkan air hujan sementara saya mengandalkan air zam-zam. Secara sepakat air zam-zam lebih utama dari air hujan. Kemudian mendasarkan keberkahan pada tempat turunnya air hujan saja yaitu atap Ka’bah, dan airnya datang dari luar Ka’bah, sementara saya menyandarkan pada tempat di dalam Ka’bah, dan itu lebih utama secara sepakat. Dia menyandarkan pada mandi, dan saya menyandarkan pada minum, dan minum lebih utama secara sepakat. Sebagai tambahan atas as-Sayyid ‘Alawiy Maliki, saya menjadikan minum tersebut di tempat yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dulu shalat di dalam ka’bah, dan tempatnya telah diketahui. Sekarang orang-orang berakal menyaksikan, bukankah setelah perbandingan ini riwayat hipotesa saya lebih kuat dan lebih banyak hujjahnya dari riwayat bikinan tersebut? Akan tetapi pertanyaannya apakah as-Syari’ (Allah yang menetapkan syari’at) telah menunjukkan kepada kita akan kedua riwayat tersebut? Dan apakah para sahabat, tabi’in dan para imam melakukannya? Secara yakin, as-Syari’ tidak pernah menunjukkan kepada kita riwayat as-Sayyid ‘Alawiy yang palsu ini, tidak juga riwayat hipotesa saya. Maka itu menjadi bukti akan kebatilan kedua riwayat tersebut. Maka jika mereka bersikukuh atas kebenaran keberkahan dalam riwayat as-Sayyid ‘Alawi, maka keberkahan yang ada dalam riwayat saya lebih agung.

Pandangan Sejarah:
Sebenarnya apa yang saya sampaikan sudah cukup, tidak perlu pembahasan ini dan pembahasan berikutnya, akan tetapi untuk melepas tanggung jawab dan untuk kelengkapan pembahasan ilmiah ini akan saya lanjutkan dengan sebatas kemampuan saya, siapa tahu sebagian akal bergerak menjauh dari sifat ta’ashshub (fanatik). Untuk  itu saya akan cukup menyebutkan sebagian soal-soal penting yang diharapkan bisa membantu para pencari kebenaran dalam memahami permasalahan dari segala sisinya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah:
Mengapa kisah ini tidak menyebar saat kelompok shufiy memiliki peran di Makkah, dan baru menyebar pada hari ini saat kelompok shufiy tidak memiliki peran?
Mengapa orang-orang Hadhramaut tidak mengetahui kisah ini sejak hari itu sementara Hadramaut adalah markas Syufiy, sementara orang-orang Indonesia mengetahuinya belakangan ini?
Bukankah termasuk aneh, tidak ada seorang pun yang mengetahui kisah ini dari waktu kejadiannya, dan sepanjang masa itu, kemudian menjadi terkenal dan dikenal setelah kurang lebih enam puluh tahun setelah kejadiannya?
Mengapa kisah ini tidak keluar pada masa hidupnya as-Syaikh ‘Abdul Fattah Rawwah, lalu keluar setelah wafat beliau sementara beliau adalah saksi terakhir atas kisah tersebut sesuai dengan riwayat yang telah diterjemah?
Mengapa Syaikh ‘Abdul Fattah Rawwah tidak memberikan wasiat kepada anak-anaknya sebagaimana dia telah belajar dari gurunya as-Sayyid ‘Alawiy Maliki dalam kehidupannya, atau setelah kematiannya agar mereka mandi dari air hujan yang turun dari talang Ka’bah. Mengapa beliau menjadikan keutamaan ini hilang dari mereka?
As-Sayyid ‘Alawiy Maliki dulu tinggal di distrik yang persis bersebelahan dengan kami, yaitu distrik al-‘Utaibah, dan kisah ini sama sekali tidak pernah diketahui dari orang-orang tua di distrik al-‘Utaibah, atau penduduk distrik al-Hujun yang bersebelahan dengannya dari majelis-majelis mereka. Lalu bagaimana kisah tersebut tidak menyebar di distrik yang as-Sayyid ‘Alawiy Maliki tinggal di sana, serta menyampaikan kajian di dalamnya lalu bisa menyebar di Indonesia? Demikian juga mengapa penduduk Makkah yang kejadian itu terjadi di sana tidak mengetahuinya, lantas orang-orang Indonesia  justru yang mengetahuinya?
Sekalipun kisah ini bukanlah untuk dibanggakan, sebagaimana telah saya jelaskan, karena menunjukkan kebodohan terhadap al-Qur`an dan sunnah nabi, tetapi kami akan mengalah dan menganggapnya sebagai satu kebanggaan besar bagi as-Sayyid ‘Alawiy Maliki. Maka sesungguhnya jika demikian, lalu mengapa putranya, yaitu as-Sayyid Muhammad ‘Alawiy tidak pernah meriwayatkannya sepanjang hidupnya, sementara dia adalah orang yang paling tahu tentang ayahandanya? Terutama telah ada permusuhan keras antara as-Sayyid Muhammad yang putra ‘Alawiy Maliki itu dengan para pengikut manhaj salaf (wahhabiy)? Maka mengapa dia tidak menggunakannya jika memang itu benar, lalu menyebarkannya dalam satu kitab dari kitabnya, atau satu kaset dari kaset-kasetnya atau dalam kajian video dari kajian-kajiannya? Terutama hal itu sangat dibutuhkan?
Kemudian, mengapa as-Sayyid ‘Abbas, yang dia adalah putra ‘Alawiy Maliki, tidak pernah menceritakan kisah ini sementara dia masih hidup?
Jika kisah ini benar, maka bagaimana kisah ini bisa hilang dari orang-orang shufiah untuk kemudian mereka bisa menggunakannya, merekamnya dengan suara as-Sayyid ‘Alawiy Maliki sendiri agar menjadi bukti-bukti kemenangan mereka atas pengikut manhaj salaf (wahhabiy)? Dan perlu diketahui bahwa as-Sayyid ‘Alawiy Maliki telah wafat pada tahun 1971 M, dan kala itu kamera video telah banyak, maka mengapa para pengikutnya tidak merekam realitas ini kemudian menetapkannya untuk sejarah?
Jawabannya dengan mudah, mereka tidak melakukannya karena kisah tersebut adalah kisah bikinan (fiktif), tidak benar, dan diada-adakan secara dusta atas  nama kedua Syaikh tersebut, rahimahumallah.
Saya tutup bagian ini bahwa Sang Pengarang yang dusta tidak memberikan tanggal bagi kita akan waktu terjadinya kejadian itu jika benar. Jika tidak, seandainya dia menyebut tanggal begitu saja, maka pekara dia akan terbongkar dengan mudah. Karena kami akan menentukan, jika kala itu dalam musim panas atau dingin. Jika di musim dingin, maka memungkinkan bagi kami untuk menentukannya jika air hujan turun di atas Makkah dengan tanggal tertentu. Atau bisa dari sebagian kitab yang menetapkan jatuhnya air hujan di Makkah, atau juga melalui lembaga penelitian. Yang menyebabkan hal itu mudah adalah karena Makkah tidak seperti Indonesia yang banyak hujan. Air hujan di Makkah paling-paling turun setahun sekali atau kebanyakan dua kali, dan jarang sekali sampai tiga kali. Akan tetapi Sang Pengarang, karena khawatir terbongkar, dia pun diam sama sekali, dan menjadikannya tanpa penegasan seperti halnya cerita yang kita ceritakan kepada anak-anak kita agar mereka tidur.
Terakhir, saya katakan apakah masuk akal air hujan yang turun dari talang Ka’bah memiliki keberkahan seperti yang ada dalam kisah sementara para sahabat, tabi’in dan para ulama tidak bersegera untuk meraih karunia ini, atau pernah dinukil dari mereka, atau mereka menyebutnya dalam kitab-kitab mereka?
Bahkan seaindainya tabarruk (ngalap berkah) dengan cara itu syar’iy (sesuai syariat), pastilah sejarah akan mencatat untuk kita nama-nama para sahabat, tabi’in dan para ulama yang telah menuai keberkahan ini, lalu sukses mendapat karunia agung ini, dan sekiranya bahwa kisah ini tidak terjadi, maka telah tetap kebatilan dan kedustaan kisah ini.

Kesalahan Redaksioanal (Lafzhiyah):
Pengarang kisah ini terjerumus dalam satu kesalahan besar yang tidak sepatutnya terjadi seandainya dia tahu perbedaan masyarakat antara penduduk Najed dan al-Qashim, serta penduduk Hijaz. Maka diantara kesalahan fatal yang terjadi di dalamnya yang menunjukkan akan kedustaannya adalah bahwa dia menyebutkan as-Syaikh bin Sa’di saat datang kepada ‘Alawiy Maliki, dia menyerunya dengan panggilan sayyid, dan pengarang tersebut lupa bahwa penduduk Najed dan al-Qoshim tidak mengatakan kalimat tersebut (gelar sayyid) hingga hari ini. Sementara kami ahlul Hijaz menggunakan panggilan sayyid itu atas setiap orang yang nasabnya sampai kepada al-Husain Radhiallahu ‘Anhu. Adapun selain kami dari penduduk Najed tidak demikian. Penduduk Najed menggunakan panggilan Syaikh atas setiap ahli ilmu, dikarenakan budaya antara kami, penduduk al-Hijaz dan Penduduk Najed berbeda dalam banyak sisi, dan diantaranya adalah sisi ini.
Pengarang tersebut tidak memikirkan hal itu, karena dia tidak menelitinya. Maka tidak terbersit dalam pikiran sama sekali bahwa penduduk Najed dan al-Qoshim -yang ibnu Sa’di berasal dari mereka-, tidak pernah mengucapkan kalimat sayyid, maka terbongkarlah tipu daya dan kedustaan pengarang kisah ini.

Tujuan Periwayatan tersebut:
Kisah fiktif ini tidaklah disusun tiba-tiba, atau tanpa tujuan yang penulisnya berharap bisa merealisasikannya. Akan tetapi –menurut kami- terdapat berbagai tujuan dan dia berusaha untuk merealisasikannya, diantaranya adalah;
Pertama, sampai kepada disyariatkannya keumuman tabarruk.
Penuntut ilmu pada umumnya mengetahui bahwa terdapat satu kelompok yang berusaha keras  dengan segenap kekuatan yang diberikan kepadanya untuk menetapkan tabarruk (ngalap berkah) dengan kuburan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, serta beristighatsah dengannya dan dengan orang-orang shalih. Mereka berdalil dengannya untuk membolehkan bertabarruk dengan kuburan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sesungguhnya mereka mengatakan pada sisi lain, jika Ka’bah diberkahi sementara dia adalah sekumpulan batu, maka apakah kedudukan Ka’bah bila dibandingkan dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang merupakan makhluk Allah paling utama? Mereka juga mengatakan, jika seorang muslim sangat mulia di sisi Allah dibanding Ka’bah, maka bagaimana kedudukan Ka’bah bila dibandingkan dengan para wali dan orang-orang shalih?
Maka akal mereka pun –mudah-mudahan Allah memberikan hidayah kepada mereka- mengambil kesimpulan jika Ka’bah diberkahi, dan ditabarruki, maka bertabarruk dengan para Nabi dan para wali lebih utama untuk dibolehkan. Dan tidak diragukan lagi bahwa kita tidak menyetujui mereka atas bolehnya bertabarruk dengan Ka’bah. Seandainya saja bukan karena ittiba’ (mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) maka pastilah mencium hajar aswad adalah bid’ah. Dan adalah Umar t berkata,
إِنِّيْ أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَ تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ وَلَوْلاَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَبَّلَكَ مَا قَبَّلْتُكَ
“Sesungguhnya aku tahu bahwa kamu adalah sebuah batu, yang tidak bisa mendatangkan madharat dan tidak bisa memberikan manfaat, seandainya bukan karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menciummu, maka aku tidak akan menciummu.”
Oleh karena itulah, tidak boleh mencium kelambu Ka’bah, atau batu-batu ka’bah, atau rukun Yamani. Kita, saat mengusap batu rukun Yamani misalnya, maka itu adalah untuk beribadah, bukan untuk mencari berkah. Mencium hajar aswad pun demikian, bukan untuk meraih berkah, akan tetapi sebagai bentuk ketaatan kepada Allah, dan mengikuti syari’atn-Nya. Dan ucapan Umar Radhiallahu ‘Anhu terdahulu adalah sebaik-baik dalil.

Kedua, menampakkan ulama shufi sebagai orang yang lebih alim dari ulama wahhabiy. ([1])
Pengarang kisah tersebut bersungguh-sungguh dalam merendahkan ilmu dan kedudukan as-Syaikh bin Sa’diy. Dan menampakkannya di hadapan as-Sayyid ‘Alawiy Maliki seperti seorang murid kecil yang belajar dari ustadznya. Dan sesungguhnya saya katakan demi membela as-Sayyid ‘Alawiy Maliki yang sekali-kali tidak mungkin beliau berakhlak dengan akhlaq yang buruk ini dalam pergaulannya dengan para ulama, terutama terhadap orang yang lebih banyak ilmu dan lebih tua usianya. Sayyid ‘Alawiy Maliki Rahimahullah dikenal di antara penduduk Makkah dengan adab dan akhlaq tingginya. Dan pengarang telah mensifatkan duduknya as-Syaikh bin Sa’di di sisi as-Sayyid ‘Alawi bahwa dia duduk dengan adap yang agung. Kemudian dia menampakkan as-Syaikh Sa’di mengambil ilmu dari as-Sayyid ‘Alawiy saat sang pengarang menjadikan as-Syaikh bin Sa’di berkata, ‘Bagaimana kita bisa lalai dari ini?’ kemudian dia berterima kasih atas ilmu yang dia belajar darinya. Dan saat dia ingin pamitan, as-Sayyid ‘Alawiy menghentikannya dan memerintahkannya untuk pergi ke tempat tersebut, dan bertabarruk dengan air yang turun dari talang Ka’bah, lalu Syaikh Ibnu Sa’di melakukannya.
Permasalahannya sekarang bukanlah pada pengarang akan tetapi pada akal orang yang membenarkan riwayat lemah seperti riwayat ini. Seandianya saja pengarang tidak mengetahui kebodohan dan sedikitnya ilmu orang yang akan menukil riwayat ini untuk mereka, dia tidak akan berbuat lancang atas mereka. Dia tidak hanya telah menyalahi hak as-Sayikh bin Sa’di, akan tetapi dia juga telah menyalahi hak as-Sayyid ‘Alawiy Maliki, dan juga hak manusia yang telah dia manfaatkan dan peralat, seakan-akan mereka tidak punya akal, membenarkan segala sesuatu yang dikatakan kepada mereka tanpa konfirmasi.
Ketiga; demi kemenangan atas dakwa salafiyah.
Setelah dakwah salafiyah yang mengajak kepada pembenahan aqidah, serta mencabut kebid’ahan dan kembali berpegang teguh dengan kitabullah dan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mendapatkan pertolongan besar, dan jejak dakwah mereka benar-benar bisa dirasakan di medan dakwah sekalipun masa dakwahnya pendek, banyak di antara da’i-da’i kebatilan yang merasa rugi dengan penyebaran kelompok ini di setiap tempat, dan semakin bertambah kemarahan mereka dengan keluarnya banyak dari para pengikutnya ke barisan kelompok ini, sementara tidak ditemukan para pengikut manhaj salaf yang bergabung dengan mereka. Yang demikian karena mustahil bagi orang yang telah mengetahui sunnah yang shahih untuk kembali kepada kelompok lamanya. Semua ini menjadikan marah kelompok tersebut yang mengajak dengan berpegang pada adat agama, sebagaimana mereka mewarisinya dari bapak-bapak, dan ulama-ulama mereka. Agama menurut mereka adalah kebiasaan, bukan ibadah. Yang menjadikan orang-orang ghuluw di antara mereka menyusun hikayat bikinan seperti ini. Maka Allah membantah tipu daya mereka di leher mereka, mudah-mudahan Allah memberikan hidayah kepada mereka dan kita semua. Aamiin.

Diagnosa Kejiwaan dan Psikologi
Saat kita mengikuti cerita buatan lagi dusta seperti ini, dan bagaimana mereka terbang dengan kegembiraan, seolah merasakan kebahagiaan besar karenanya maka kita bisa menyimpulkan secara ilmiah, dan dengan ringkas, bahwa pada diri mereka terdapat simpul kekurangan, dan perasaan takut, yaitu bahwa jalan keberagamaan mereka selalu membutuhkan (merindukan dan mendambakan) penguat-penguat dan penenang-penenang, agar para pengikut mereka merasa puas dengan jalan keberagamaan mereka. Sesunggungguhnya kebahagiaan berlebihan yang mengenai mereka karena penguat dan penenang ini benar-benar sebuah petunjuk bahwasannya mereka selalu hidup dalam keadaan takut dan gelisah dari berpalingnya pengikut mereka untuk mengikuti manhaj salafus shalih. Dikarenakan mustahil bagi orang yang mengetahui manhaj salafus shalih mau menerima selainnya.
Oleh karena itu, ada dari mereka yang sengaja membuat pahlawan khayalan dan menyanyikannya. Lalu mereka pun merayakan kemenangan semu tersebut. Semua hal ini disebabkan oleh perasaan rendah dan kurang. Lalu mereka melupakan kemenangan hakiki, yaitu mengikuti al-Qur`an yang mulia dan sunnah shahihah dengan pemahaman salafus shalih, bukan dengan pemahaman kisah-kisah bikinan, cerita dusta, dan mimpi syaithani (dari godaan setan).

Perbandingan Antara as-Syaikh Sa’diy dan as-Sayyid ‘Alawiy Malikiy:
Kami, saat kami hidup sejaman dengan dua Syaikh, maka kami mampu membangun satu hukum (kesimpulan), serta menentukan siapa yang lebih ‘alim dari yang lain, tanpa melihat karya tulis masing-masing. Karena kadang orang yang sedikit karyanya lebih banyak ilmunya dari orang yang banyak karyanya. Akan tetapi kami, saat kami ingin membandingkan kadar keilmuan dua syaikh tersebut yang kami tidak sejaman dengan mereka, kami tidak bisa –biasanya- kecuali dengan merujuk kepada karya tulis masing-masing. Pada saat merujuk kepada karya-karya as-Syaikh ‘Abdurrahman bin Sa’diy kita menemuinya lebih besar. Cukuplah diantaranya adalah tafsir al-Qur`anul Karim yang berjudul Taisirul Karimil Mannan dalam delapan jilid, dan karya itu menyamai semua kitab-kitab as-Sayyid ‘Alawiy Maliki. Maka lihatlah kepada orang yang dia memiliki delapan jilid tentang Tafsir al-Qur`anul Karim, lalu pengarang kisah itu menjadikannya seperti seorang murid bagi as-Sayyid ‘Alawiy Maliki! Bahkan dia menjadikannya mendengar ayat-ayat dari as-Sayyid ‘Alawi seakan-akan dia baru mendengarnya, dan belum memahami maknanya -sementara dia adalah pemiliki kitab tafsir- kecuali saat as-Sayyid ‘Alawiy menjelaskannya kepadanya! Subhanallah…!!!
Sebagaimana akan tampak jelas bagi setiap peneliti dan dengan mudah, saat dia memperhatikan kitab-kitab as-Sayikh bin Sa’diy, kekuatan, keluasan dan kedalaman ilmu beliau yang membuat musuh-musuhnya marah. Sungguh beliau dikenal di Masjidil Haram bahwa jika beliau berbicara, maka yang mendengar beliau akan berharap agar beliau tidak diam karena kefashihan, dan kekuatan ilmu beliau sebagaimana yang dituturkan oleh orang yang sezaman dengan beliau. Kemudian datanglah penulis kisah dusta tersebut dan menjadikan ulama besar ini sebagai seorang murid kecil di hadapan as-Sayyid ‘Alawiy Maliki sementara beliau lebih tua dua puluh tahun darinya. Dimana as-Sayikh bin Sa’di dilahirkan pada tahun 1889 M, sementara as-Sayyid ‘Alawiy Maliki pada tahun 1910 M. Yaitu saat as-Sayikh bin Sa’di tengah menyampaikan berbagai pengajian dan pelajaran, kala itu as-Sayyid ‘Alawiy adalah seorang penuntut ilmu yang masih terus mengikuti pelajarannya. Maka jadilah hujjah kami lebih kuat seandainya kami yang membuat kisah tersebut, dan kami jadikan as-Sayyid ‘Alawiy tampak sebagai seorang murid bagi as-Sayikh bin Sa’di di dalamnya. Akan tetapi kami tidak melakukannya karena kami tidak merasakan adanya problem kekurangan, walhamdulillah.
Perlu diperhatikan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan penerimaan dan penyebaran kitab-kitab as-Syaikh bin Sa’di diantara kaum muslimin. Hampir-hampir tidak ditemukan satu perpustakaan keIslaman di negeri Islam dan lainnya kecuali di dalamnya terdapat sejumlah kitab-kitabnya, dan yang paling pokok adalah Taisirul Karimil Mannan¸ sementara sebaliknya, kami tidak menemukan pengaruh apapun bagi kitab-kitab as-Sayyid ‘Alawiy Maliki di perpustakaan-perpustakaan Islam. Jika ditemukan, maka itu pun jarang. Karena kitab beliau tidak menyebar sebagaimana kitab-kitab as-Syaikh bin Sa’di. Dan termasuk perkara yang mengherankan adalah seorang laki-laki yang pada kisah tersebut tampak lebih mengerti dari para sahabat, tabi’in, dan para imam ternyata tidak ditemukan pengaruhnya di umat ini pada hari ini, sama saja apakah karyanya yang menyebar atau kajiannya yang tersimpan. Ini bukan berarti menyepelekan ilmu as-Sayyid ‘Alawiy Rahimahullah, akan tetapi kita hanyalah mempersoalkan satu kenyataan.

Risalah saya kepada umat ini:
Setelah pembahasan ilmiah untuk membantah syubhat ini, menjadi jelaslah bagi semua orang kadar kedustaan sebagian mereka serta keberaniannya untuk pemalsuan, dan pembuatan kisah-kisah dusta. Maka seandainya mereka itu berada pada zaman orang yang mengumpulkan hadits, dan para ulama al-Jarh wat-Ta’dil, maka pastilah para ahli al-Jarh wat-Ta’dil itu akan berkata tentang mereka -dalam kitab-kitab mereka-, ‘Mereka pendusta, pemalsu hadits, tidak diterima dari mereka tebusan apapun.’ Sementara kita dapati mereka pada hari ini memimpin majelis-majelis ilmu, wala haula wala quwata illa billah.
Bukan hanya sekali ini mereka membikin kisah-kisah dusta dan istidlal-istidlal batil atas para pengikut manhaj salaf, bahkan mereka terus menerus menyuntik medan dakwah dengan banyak kisah khayalan, kebohongan dan kedustaan. Andai saja mereka mencukupkan diri dengan yang demikian, bahkan lebih dari itu mereka menyematkan tuduhan dusta atas para pengikut manhaj salaf, seolah menjadikan seluruh usaha ini adalah proyek mereka dalam kehidupan ini. Mereka tipu diri mereka sendiri, serta waktu mereka karenanya. Lantas mereka pecah persatuan umat ini, dan menambah perselisihannya. Maka buah dari yang demikian adalah terus berlarutnya kebencian, dan permusuhan seraya berkeyakinan bahwa mereka, dengan yang demikian, tengah memberikan pelayanan kepada sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sementara sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berlepas diri dari perubuatan-perbuatan mereka. Lalu untuk kemaslahatan siapakah apa yang telah mereka lakukan itu? Dan apakah dengan perbuatan tersebut mereka menutup luka umat dan menghimpun kembali urusan mereka yang terpecah belah?
Sesungguhnya umat pada hari ini lebih butuh kepada ukhuwah dan penyatuan barisan di hadapan musuh-musuhnya, dan lebih membutuhkan penebaran kebaikan, serta penyemaian cinta di antara generasi-generasi penerusnya. Terutama di bawah bayang-bayang konspirasi musuh-musuh yang terang-terangan, serta penjajahan mereka terhadap umat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Namun demikian, hal itu tidaklah menghalangi kita untuk saling berdialog dalam permasalahan khilaf (yang kita perselisihkan) dengan metode ilmiah dan damai, dengan berpegang dengan dalil, hujjah, dan bukti dari al-Qur`anul Karim dan sunnah nabi yang shahih. Kita saling menjaga ihtiram (pemuliaan), dan penghargaan sebagian kita terhadap sebagian yang lain, seraya bertolak dari landasan al-Imam as-Syafi’i Rahimahullah:
إِنْ صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِيْ
“Jika hadits tersebut shahih, maka itu adalah madzhabku.”
Kami tidak ingin berdialog bersama dengan saudara-saudara kami dengan tujuan untuk mengalahkan dan membela diri (menang-menangan), justru kami memohon kepada Allah agar menjadikan kebenaran itu mengalir dari lisan mereka, kemudian kami mengikutinya. Dan kami di majalah Qiblati membuka untuk mereka dan yang lain untuk bedialog dalam masalah furu’ yang kita berselisih, kemudian silakan masing-masing dari kita menyampaikan dalilnya, yang setelahnya marilah kita jadikan hukum bagi Allah, kemudian bagi para ulama yang obyektif.
Sesungguhnya saya, ketika mengatakan ucapan ini, saya mengetahui dengan jujur dan ikhlas bahwa banyak di antara orang-orang yang menyebarkan berita dusta dan bikinan ini. Mereka menyebarnya dengan niat baik, terutama sebagian mereka memiliki usaha besar yang patut disyukuri dalam menghadapi Syi’ah, Ahmadiyah, dan sekte-sekte sesat lainnya. Dan kami sama sekali tidak akan pernah mengingkarinya, bahkan kami berdo’a agar mereka mendapatkan taufik. Maka mudah-mudahan Allah membalas mereka dengan sebaik-baik balasan.
Wahai umat Islam…!
Sekalipun riwayat bikinan ini telah menjadi jelas kedustaannya bagi Anda sekalian, serta kadar kezhaliman yang ditimpakan kepada kami, namun demikian kami tetap mengulurkan tangan-tangan kami, seraya memaafkan, dan meminta kepada orang-orang ikhlas lagi berakal dari mereka untuk membuka lembaran baru dalam hubungan di antara kita. Maka marilah kita tutup masa lalu dan segala isinya, dan marilah kita menjadi generasi masa kini. Sebagian kita menyayangi sebagian yang lain sebagaimana sifat  orang-orang mukmin yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam al-Qur`anul Karim [رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ] ‘saling mengasihi di antara mereka’. Sesungguhnya saya bersaksi kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahwa saya mengatakan ucapan ini dengan jujur, kita semua adalah saudara, tali agama ini tengah mengumpulkan kita, dan itu akan terus seperti itu, kita mau atau mengabaikannya. Maka marilah kita bertakwa kepada Allah terhadap diri-diri kita, dan generasi setelah kita… Inilah tangan kami terbentang bagi setiap orang yang menginginkan saling memaafkan dan persaudaraan.
Ya Allah, berikanlah kepada jiwa kami, ketakwaan, dan kesuciannya. Engkau adalah sebaik-baik Dzat yang mensucikannya, Engkaulah wali dan penolongnya. Ya Allah, berikanlah ilham kepada kami kepada petunjuk kami, serta selamatkanlah kami dari keburukan syaitan, dan keburukan diri-diri kami, serta janganlah Engkau pasrahkan kami kepada diri-diri kami sekejap mata pun. Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada kami, dan saudara-saudara kami kepada perkara yang di dalamnya terdapat segala kebaikan dan kemaslahatan. (AR)*

[1] Kami ingatkan bahwa tidak boleh menggunakan satu nama dari nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menyebut sebagian dari makhluk-Nya, apakah sendirian, atau sekelompok, apakah untuk celaan atau yang lainnya. Maka ucapan Wahhaby aslinya adalah dari asma Allah al-Wahhab, sehingga penggunaan nama ini atas seseorang mengandung unsur perbuatan buruk terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta lancang terhadap asma-asma-Nya sekalipun hanya penisbatan saja. Maka bagaimana nama Wahhaibiy digunakan sebagai pelecehan? Dan kita qiyaskan atas hal ini kepada asma Allah yang lain seperti Rahmaniy, Quddusiy… dst. Mudah-mudahan Allah mengampuni para ulama yang telah wafat, dari golongan yang mengulang-ulang penamaan Wahhabiy tanpa memahami atau mengetahui bahayanya.
(Majalah Qiblati Th. VI ed. 9)

0 komentar:

Copyright © 2012 BERSAMA MENAMBAH KEIMANAN.