Seputar Bulan Muharram


oleh
Ummu Abdurrahman

Awal bulan telah membawa kita ke tahun baru Hijriyah, bulan itu ialah bulan Allah Al-Muharram. Hal ini bukanlah sesuatu yang asing lagi bagimu. Tetapi, apakah bulan ini memiliki hukum-hukum yang harus diketahui oleh thalibul ilmi, thalibul haq, dan thalibul akhirah? Ya, di bulan ini ada amalan-amalan yang harus diperhatikan, sebagai upaya untuk menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan upaya untuk memperoleh pahala serta kebaikan bagi orang yang mengajak kepada petunjuk agama.
“Siapa yang mengajak kepada suatu petunjuk maka ia akan memperoleh pahala seperti pahala orang yang mengikutinya dan tidaklah mengurangi sedikitpun dari pahala mereka.” (HR Muslim)

Pemuda sejati, demi Allah ialah yang memiliki ilmu dan ketaqwaan
Tidaklah dikatakan pemuda sejati kalau tidak memiliki keduanya.

Diantara Hukum-Hukum Bulan Muharram
Pertama : Dilarang Berbuat Zhalim di Bulan Itu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah menganiaya diri dalam bulan yang empat itu.”(QS. at-Taubah : 36)

Sesungguhnya Allah tidak menulis di dalam Lauhul Mahfuzh yaitu pada hari penciptaan langit dan bumi, bahwa jumlah bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan. Empat bulan di antaranya ialah haram (mulia); tiga beriringan, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram, serta Rajab Mudhar yang berada antara Jumada dan Sya’ban.

“Allah memiliki hikmah yang sempurna, yaitu ketika Dia memilih utusan-utusan dari kalangan malaikat (seperti Jibril untuk menyampaikan wahyu, -red), begitu juga dari kalangan manusia (yakni para rasul yang diutus Allah, -red). Dan Allah juga mengutamakan beberapa waktu dibanding dengan waktu yang lainnya, beberapa tempat dibanding dengan tempat-tempat lainnya. Dan mengutamakan sebagian bulan dengan sebagian lainnya, sebagian hari dengan sebagian lainnya.” (Dhiya’ul Lami 2/704)

Adapun tentang larangan berbuat zhalim pada ayat diatas, ulama Salaf berbeda pendapat. Sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud kezhaliman adalah peperangan secara mutlak. Sebagian mereka berkata –dan ini yang lebih rajih- bahwa maksud dari kezhaliman dalam ayat diatas ialah dilarangnya memulai peperangan. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kezhaliman di dalam ayat ialah berbuat dosa dan kemaksiatan.

Maka –wahai saudara-saudara se-agama Islam-, hendaklah kita berhati-hati dari kezhaliman, baik menzhalimi diri kita sendiri atau menzhalimi orang lain. Hendaklah kita mengingat wasiat kekal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya (yang artinya), “Takutlah kalian dengan kezhaliman, karena sesungguhnya kezhaliman itu merupakan kegelapan-kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Muslim dan lainnya. Shahih al-Jami no 102)

Dan hendaklah kita menjaga diri dari do’anya orang-orang yang dizhalimi, walaupun ia kafir atau fajir (jahat), karena sesungguhnya do’anya dikabulkan oleh Allah (karena tidak ada penghalang antara dia dengan Allah). Ingatlah kita kepada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Tidak ada dari satu dosapun yang lebih pantas untuk dicepatkan siksanya bagi pelaku dosa itu baik di dunia maupun di akhirat daripada melewati batas (kezhaliman) dan memutus silaturahim.” (Ash-Shahihah no. 915)

Di dalam syair dikatakan,
Apakah orang yang sangat zhalim itu akan selamat.
Padahal di belakangnya terdapat panah do’a yang siap menancap dari orang negeri Qas yang sedang ruku.

Maka hendaklah orang-orang yang terzhalimi bergembira dengan di-ijabahi do’a mereka oleh Allah yang Maha Mendengar dan Mengetahui, walaupun selang beberapa waktu. Hendaklah mereka senang dan tenang, yaitu bahwa orang-orang yang zhalim itu akan celaka di dunia dan akhirat. Dan bahwasanya Allah tidaklah menyelisihi janji-Nya, akan tetapi kalian itu kaum yang tergesa-gesa.

Adapun orang yang membantu orang-orang yang zhalim di dalam kezhaliman dan kesesatan mereka, apapun kedudukan orang-orang yang zhalim itu, baik penguasa ataupun rakyat, maka ingatlah bahwa adzab yang pedih pasti akan menunggu mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Siapa membantu orang yang zhalim, untuk menolak kebenaran dengan kebathilannya, maka sesungguhnya jaminan Allah dan Rasul-Nya telah terlepas darinya.” (HR. Hakim. Shahihul Jami’ no. 6048)

Hadits yang mulia diatas cukuplah menjadi peringatan dari kezhaliman, baik kecil maupun besar, bagi orang yang berakal, atau orang yang mau mendengarkan, sedangkan dia menyaksikan.

Kedua : Disunahkan Puasa Secara Mutlak Khususnya 9 dan 10 Muharram
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Muharram.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)

Adapun puasa 9 Muharram, maka itu disunnahkan. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan (para shahabat) supaya berpuasa, para shahabat berkata, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya hari itu adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada tahun depan insya Allah kita puasa tanggal 9.” Tetapi beliau wafat sebelum datangnya tahun berikutnya.” (HR. Muslim)

Di dalam hadits lain, “Seandainya aku mendapati tahun depan, maka aku akan puasa tanggal 9. Tetapi beliau meninggal sebelum itu.” (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menganjurkan kepada umatnya supaya berpuasa ‘‘Asyura (tanggal 10 Muharram), ketika ditanya tentang puasa ‘‘Asyura, dengan sabdanya (yang artinya), “Puasa ‘‘Asyura menghapus kesalahan setahun yang telah lalu.” (HR. Muslim)

Beliau juga senantiasa melakukan puasa ‘‘Asyura berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Tidaklah aku melihat Rasulullah lebih menjaga puasa pada hari yang diutamakannya dari hari lain kecuali hari ini, yaitu ‘Asyura.” (Shahih at-Targhib wa Tarhib)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya ‘‘Asyura merupakan hari di antara hari-hari Allah.” (HR. Muslim)

Benarlah bahwa ‘‘Asyura merupakan hari-hari Allah, yang pada hari itu al-haq mendapatkan kemenangan atas kebatilan. Orang-orang mukmin yang sedikit mendapatkan kemenangan atas orang-orang kafir yang banyak. Pada hari itu pula Allah menyelamatkan Nabi Musa ‘alaihis salam dan kaumnya dari kejaran Fir’aun. Maka berpuasalah Nabi Musa ‘alaihis salam sebagai wujud syukur kepada Allah. Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang di Madinah dan mengetahui bahwa orang Yahudi puasa pada hari itu, beliau bertanya tentang sebabnya. Maka orang-orang Yahudi menjawab bahwa mereka mengagungkan hari itu, karena pada hari itu Nabi Musa ‘alaihis sallam dan kaumnya diselamatkan oleh Allah dari kejaran Fir’aun. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Maka aku lebih berhak terhadap Musa daripada kamu. Maka beliaupun berpuasa dan memerintahkan umatnya supaya berpuasa pada hari itu.”(HR. Bukhari)

Pada mulanya puasa ‘‘Asyura diwajibkan, tetapi setelah Allah mewajibkan puasa pada bulan Ramadhan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Barangsiapa berkehendak, silahkan berpuasa, dan barangsiapa berkehendak, silahkan meninggalkan (tidak berpuasa).”

Mungkin ada orang yang berkata, “Bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari ‘Asyura, mengikuti orang-orang Yahudi, padahal kita diperintahkan untuk menyelisihi mereka, yaitu orang-orang yang di murkai oleh Allah?”

Jawabannya adalah, “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berpuasa ‘Asyura pada zaman jahiliyah, bahkan orang Quraisy pun berpuasa pada hari itu. Jadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa ‘‘Asyura itu sebelum beliau datang ke Madinah (yang disana bertemu dengan orang-orang Yahudi,-red). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan khabar orang-orang Yahudi, bahwa nabi Musa ‘Alaihis sallam berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur, karena Allah telah menyelamatkan dari Fir’aun. Maka orang-orang Yahudi pun mengagungkan hari itu. Al-Mazari berpendapat bahwa pembenaran Nabi kepada Yahudi mungkin setelah Nabi diberi wahyu tentang kebenaran mereka, dan kabar itu telah sangat masyhur pada beliau. Atau mungkin orang Yahudi yang telah masuk Islam, seperti Ibnu Salam, telah mengabarkan kepada Nabi tentang kebenaran kabar tersebut, Kesimpulannya, bahwa Nabi melakukan puasa ‘‘Asyura bukanlah karena mengikuti orang Yahudi, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berpuasa sebelum Rasulullah pergi ke Madinah. Dan waktu itu menyamai Ahli Kitab dalam perkara yang tidak dilarang secara syar’i.”

Kaidah Muwafaqah (Menyamai) Mewujudkan Adanya Tasyabuh (Menyerupai).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menyamai Yahudi dalam mengagungkan hari ‘Asyura dengan cara mereka. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelisihi mereka, yaitu dengan (niat) melakukan puasa satu hari sebelum ‘Asyura yaitu tanggal 9 Muharram

Adapun puasa setelahnya yaitu 11 Muharram, ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), "Berpuasalah pada hari ‘Asyura dan selisihilah orang Yahudi, puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.”

Hadits ini disebutkan oleh Syaikh al-Albani di dalam ta’liq (komentar) nya terhadap Shahih Ibnu Khuzaimah juz 3 no. 290, bahwa sanadnya dha’if, karena kejelekan hafalan Abu Laila, dan Atha’ serta yang lain menyelisihinya juga. Bahkan ath-Thahawi dan Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Abbas secara mauquf (dari perkataan Ibnu Abbas) dan sanadnya shahih.

Sekarang jelaslah tentang kelemahan orang yang menyatakan bahwa puasa ‘Asyura itu bertingkat-tingkat. Yang paling tinggi tingkatannya adalah puasa sebelum ataupun sesudahnya. Dalam hal ini perkataan Ibnu Abbas menjadi penguat puasa pada tanggal 9 Muharram dan 10 Muharram dalam rangka untuk menyelisihi orang Yahudi. Inilah pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam Fatawa juz 25 hal. 313. Wallahu a’lam

Peringatan Tentang Hadits Dhaif yang Berkaitan dengan Keutamaan ‘Asyura
1. “Siapa yang memberikan kelonggaran (nafkah) kepada orang yang menjadi tanggungannya pada hari ‘Asyura, maka Allah akan memberikan kelonggaran kepadanya selama setahun penuh.” Hadits dhaif sebagaimana disebutkan di dalam Kitab Tamamul Minnah oleh Syaikh Al-Albani hal. 412.

2. “Siapa yang bercelak dengan itsmid pada hari ‘Asyura, dia tidak akan terkena penyakit mata selamanya.” Hadits maudhu (palsu) sebagaimana di dalam kiat Adh-Dhaifah no. 224.

Maka sikap Ahlu Sunnah wal Jama’ah di dalam menghadapi hari ‘Asyura adalah bahwa ‘Asyura bukanlah hari untuk senda gurau ataupun untuk mencela. Akan tetapi yang sunnah ialah melakukan puasa, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari itu, bahkan menganjurkannya. Dan terkutuklah ahli bid’ah (yang membuat berbagai bid’ah pada hari yang mulia ini).

3. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengagungkan hari itu dan memanggil bayi-bayi yang menyusui milik beliau dan Fathimah, kemudian beliau meludah di mulut mereka dan memerintahkan ibu mereka agar tidak menyusuinya sampai malam.” Hadits dhaif, sebagaimana disebutkan di dalam kitab Shahih Ibnu Khuzaimah no. 2089.

Akhirnya, inilah yang bisa kami ketengahkan tentang pembahasan penting yang berhubungan dengan bulan Muharram. Jika pembaca menginginkan pembasahan yang lebih luas bisa melihat kitab-kitab fiqh induk dan kitab-kitab aqidah yang membantah ahli bid’ah dan kitab-kitab lain yang membahas masalah ini. Dan juga hendaknya melihat kitab Ra’sul Husain karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, kitab Istisyhadul Husain karya Ibnu Katsir, dan kitab Al-Awashim Minal Qawashim karya Ibnul Arabi Al-Maliki. Sehingga bisa mengetahui hakikat peristiwa musibah Husain bin Ali menurut pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dan juga mengetahui seberapa besar bid’ah-bid’ah dan kemungkaran-kemungkaran yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah Rafidhah, yang mengatas namakan kecintaan kepada Ahlul Bait dan pembelaan kepada mereka dengan merusak sejarah Islam. Dan agar mengetahui berdasarkan ilmu, tentang sejarah Husain radhiyalahu ‘anhu dan riwayat-riwayat yang menceritakan tentang musibah yang besar itu. Yang hingga kini terus menerus umat harus membayar harga musibah tersebut.

Semua itu mereka lakukan dengan mengatas namakan Ahlul Bait dan penghapusan dosa terbunuhnya Husain dengan cara membunuh Ahlu Sunnah wal Jama’ah, mengadakan propaganda-propaganda untuk melawan Ahlus Sunnah, dan menanamkan rasa takut di hati mereka. Maka semoga Allah membinasakan ahli bid’ah dan ahli ahwa, yang mereka itu membunuhi umat Islam tetapi membiarkan para penyembah berhala.

Kita memohon kepada Allah semoga Dia menyelamatkan kita dari bid’ah-bid’ah dan dari perkara-perkara yang diadakan di dalam agama.

Diterjemahkan oleh Abu Aminah Ady Abdul Jabbar dari majalah Al-Ashalah, hal.67-73, No. 11, 15 Dzulhijjah 1414H

(Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun V/1421H/2001M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo–Purwodadi Km.8 Selokaton, Gondangrejo, Solo. Telp. 08121533647/08157579296) dengan perubahan seperlunya.
http://ldkmpmunhas.org

0 komentar:

Copyright © 2012 BERSAMA MENAMBAH KEIMANAN.