ADAB PUASA DALAM SUNNAH

Abu Hamzah Ibnul Qomari Lc. MAg
Wajib bagi setiap oring yang berpuasa menjaga adab-adab berikut:
1. Menjaga makan sahur dan mengakhirkannya, karena sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
« تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً »
“Bersahurlah, karena sesungguhnya dalam sahur itu ada keberkahan.”(Bukhari 1823; Muslim1095)
« عَلَيْكُمْ بِغَدَاءِ السَّحُوْرِ فَإِنَّهُ هُوَ الْغَدَاءُ الْمُبَارَكُ »
”Kamu harus makan sahur karena ia adalah makanan yang berkah” (Nasai 2164)
Bahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjadikan makan sahur sebagai pembeda antara Orang Islam dan ahli kitab:
« إِنَّ فَصْلَ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَاِم أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحُوْرِ »
“Sesungguhnya  pembeda antara puasa kita dan puasa ahli kitab  adalah makan sahur” (Muslim, 1096)
Dan alangkah bagusnya jikalau seorang muslim di dalam sahurnya makan kurma, karena mencontoh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
« نِعْمَ سَحُوْرِ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ »
“Sebaik-baik sahur  orang mukmin adalah kurma” (Abu Daud, 2345)
Jika tidak memungkinkan memakan kurma maka  hendaklah makan makanan yang ada  agar tetap mendapat keberkahan sahur:
« السَّحُوْرُ أَكْلَةُ بَرَكَةٍ فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ »
“Sahur itu adalah makanan berkah, maka janganlah kamu meninggalkannya meskipun hanya sekedar meneguk air dengan satu tegukan, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan para malaikat-Nya bershalawat pada orang-orang yang sahur.”(Ahmad 11101, 11414)
Dan adalah Para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu mengakhirkan makan sahur sebagaimana yang diriwayatkan oleh Baihaqi (4/238) dari Amr ibn Mimun, ia berkata: “Para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah orang yang paling cepat berbuka dan paling akhir sahurnya.”
Bahkan perbuatan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri juga demikian sebagaiman laporan Zaid ibn Tsabit Radhiallahu ‘Anhu: Kami makan sahur bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemudian kami bangkit menuju shalat (subuh). Saya bertanya: “Berapa jarak antara keduanya?” Dia menjawab: “Kira-kira seukuran membaca 50 ayat.” (Bukhari 1921; Muslim 1097)
2. Memperbanyak amal kebajikan:
Seperti menolong orang yang membutuhkan, bersedekah ada fakir miskin, menyamaikan kebaikan apapun kepada orang yang mungkin kita hubungi. Amal-amal ini meskipun diperintah diluar puasa tetapi di bulan Ramadhan semakin dituntut.
Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu berkata: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam  manusia yang paling dermawan dengan kebaikan, dan paling dermawan adalah dalam bulan Ramadhan saat beliau menemui Jibril ‘Alaihi Sallam. Jibril menemuinya pada setiap malam di bulan Ramadhan hingga Ramadhan usai, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyetorkan bacaan al-Qur’an kepadanya. Apabila beliau ditemui oleh Jibril maka beliau adalah orang yang lebih  pemurah dengan kebaikan dari pada angin yang diutus (dengan membawa rahmat)” (HR. Bukhari, 1902)
Ahmad (2042) menambahkan: “Beliau tidak diminta sesuatu melainkan pasti memberikannya”
Dalam hadits Jabir Radhiallahu ‘Anhu, ia berkata: Tidak pernah Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diminta sesuatu lalu berkata: Tidak.”
Sebagaian ahli ilmu berkata: “Yang dimaksud dengan angin diatas adalah angin pembawa rahmat yang diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menurunkan air hujan yang menjadi sebab  hidupnya tanah-tanah yang tandus  dan yang lainnya yang berarti kebaikan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam  merambah semua orang baik yang papa maupun yang kaya, lebih banyak dari pada  rahmat yang muncul dari angin
3. Bersungguh-sungguh dalam berbagai macam ibadah:
Ibnul Qayyim dalam Zadul ma’ad (2/32) mengatakan: “Diantara petunjuknya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada bulan Ramadhan adalah memperbanyak ibadah….. Beliau menjadi  paling pemurah pada  bulan Ramadhan; beliau memperbanyak sedekah, membaca al-Qur’an, shalat, dzikir, dan I’tikaf. Beliau mengkhususkan  Ramadhan dengan ibadah apa yang tidak beliau khususkan pada bulan-bulan lain.”
Dan Ijtihad beliau pada sepuluh terakhir melebihi  ijtihadnya pada malam-malam lain. Pada malam-malam akhir itu beliau membangunkan istri-istrinya, mengikat pinggang dan bersemangat. (HR. Bukhari, 2024; Muslim, 1174, dari Aisyah)
4. Mempergunakan siwak
Siwak adalah sunnah yang dipertahankan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan dianjurkan untuk umatnya. Beliau bersiwak saat bangun tidur, ketika memasuki rumah, ketika wudhu, dan ketika mau shalat. Beliau bersabda: “Seandainya aku tidak khawatir memberatkan umatku tentu aku perintahkan mereka bersiwak pada setiap shalat (Bukhari, 887; Muslim, 252) Dalam riwayat Ahmad dan Ibnu Khuzaimah: “Pada setiap wudhu”, dalam riwayat Ibnu Hibban: “Ketika wudlu pada tiap-tiap shalat”
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
« السِّوَاكُ  مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِّ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ »
“Siwak itu membersihkan mulut dan membuat ridha Allah. (Nasa’i. 1/10 no. 5; Ahmad,7 ,62)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
« طَيِّبُوْا أَفْوَاهَكُمْ بِالسِّوَاكِ فَإِنَّهَا طُرُقُ الْقُرْآنِ »
“Bersihkanlah mulutmu dengan siwak karena ia adalah jalannya bacaan al-Qur’an.” (Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 2119; al-Bazzar, dengan sanad la ba’sa bihi, hadis hasan)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba jika ia bersiwak kemudian shalat, maka malaikat berdiri di belakangnya mendengarkan bacaannya dan mendekat, setiap kali mendengar satu ayat hingga ia meletakkan mulutnya pada mulutnya, maka tidak ada alqur’an yang keluar dari mulutnya melainkan  masuk ke dalam rongga malaikat, maka bersihkanlah mulutmu karena al-Qur’an.” (HR. al-Bazzar, dengan sanad bagus, dihasankan oleh syekh Zakaria al-Bakistani)
Nabi bersabda:
« رَكْعَتَانِ بِسِوَاكٍ أَفْضَل مِنْ سَبْعِيْنَ رَكْعَةً بِغَيْرِ سِوَاكٍ »
“Dua rakaat dengan siwak lebih baik dari pada 70 rakaat tanpa siwak.” ( Hasan Lighairihi .HR. Al-Bazzar dan Baihaqi dengan sanad bagus dari Aisyah; al-Durrul Mantsur 1/277))
Dalam lafadz lain: “Keutamaan shalat dengan siwak atas shalat tanpa siwak adalah 70 klali lipat.” (HR. Ahmad, abu ya’la, Ibnu Khuzaimah, dan Hakim, ia berkata: Shahih sesuai dengan syarat Muslim. Hadis Hasan)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri mengatakan: “Jikalau saya shalat dengan siwak  maka itu lebih akau sukai dari pada saya shalat sebanyak 70 rakaat rakaat tanpa siwak.” (Abu Nuaim dengan sanad hasan)
Oleh karena seyogjanya setia muslim melestarikan sunnah siwak ini kapan sana dimana saja, apakah usa atau tidak, apakah siwaknya basah atau kering, di awal hari atau di sore hari.
Pernah Abdurrahman ibn Ghanm bertanya kepada Mu’adz ibn Jabal:  “Apakah saya bersiwak ketika saya berpuasa?” Dia menjawab: “Ya.” Dia bertanya lagi: “Pada waktu kapan di siang hari?” Dia menjawab: “Kapan saja, kalau kamu mau di pagi hari atau di sore hari.” Dia balik bertanya: “Orang-orang tidak suka di sore hari.” Muadz bertanya: “Mengapa?” Dia menjelaskan: “Mereka mengatakan: Karena Nabi bersabda:
« لَخَلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ »
“Bau mulut orang yang puasa itu lebih wangi bagi Allah dari pada minyak kesturi.” Muadz berkata: “Subhanallah! Sungguh  Nabi telah memerintah kepada mereka saat memerintah, sedangkan Nabi mengetahui, bahwa mulut orang yang puasa itu tetap bau meskipun telah bersiwak. Tidaklah beliau memerintahkan mereka agar membusukkan bau mulut mereka dengan sengaja. Sungguh  hal itu tidak mengandung kebaikan sama sekali, bahkan di dalamnya ada keburukan, kecuali orang yang diuji dengan balak dan tidak dapat menghindar.” (Thabrani dalam al-Kabir 20/70-71/133 dengan sanad bagus seperti kata al-Hafihz dalam at-Talkhish 2/202)
5. Menjauhkan  diri dari hal-hal yang bertentangan  dengan tujuan puasa
Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan puasa agar orang mukmin mencapai derajat takwa, menahan diri dari makan,  minum dan jimak dengan niat murni karena Allah. Ini semua mengandung penyucian jiwa dari akhlak yang buruk dan  nafsu yang liar. (Lihat tafsir Ibnu katsir tentang al-Baqarah 183)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
« لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ اْلأَكْلِ وَالشُّرْبِ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ فَقُلْ: إِنِّيْ صَائِمٌ إِنِّيْ صَائِمٌ »
“Bukanlah puasa itu menahan dari makan dan minum, akan tetapi puasa itu dari perbuatan sia-sia, dan  ucapan kotor; jika kamu dicaci seseorang atau dibodohi maka katakanlah: aku uasa, aku puasa (Muslim 1151)
Bahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengancam:
« مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ ِللهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ »
“Siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan perbuatan dusta maka Allah tidak memerlukan ia meninggalkan makan dan minumnya.” (Bukhari 1903)
Nabi bersabda:
« رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوْعُ . وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ »
“Bisa jadi orang yang puasa itu tidak mendapatkan apa dari puasanya selain hanya rasa lapar. Dan bisa jadi orang yang Qiyamullail (tarawih) itu tidak mendaatkan datri bangunnya selain rasa kantuk.” (Ibnu Majah 1690)
6. Menyegerakan buka
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
« لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ »
“Manusia itu terus dalam kebaikan selama mereka menyegerakan buka.” (Bukhari 1957; Muslim 1098)
« لاَ يَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ إِنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَ »
“Agama ini akan tetap nampak selama manusia menyegerakan buka sesungguhnya Yahudi dan Nasrani itu mengakhirkan buka.” (Abu Daud 2353)
Adapun dari pengamalan adalah sebagai berikut:
Abu Athiyah berkata: “Saya dan Masruq menghadap Aisyah Radhiallahu ‘Anha, maka Masruq berkata kepadanya: “Dua Orang sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam  tidak bosan-bosannya melakukan kebaikan; yang satu menyegerakan Maghrib dan buka, dan satunya lagi mengakhirkan maghrib dan buka?” Maka Aisyah bertanya: “Siapa yang menyegerakan Maghrib dan Buka?” Masruq menjawab: “Abdullah -Ibnu Mas’ud-. Aisyah menjawab: “Begitulah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berbuat.” (Muslim 1099)
Abdullah ibnu Abi Aufa Radhiallahu ‘Anhu berkata: “Kami bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika beliau puasa. Ketika matahari telah terbenam beliau bertanya kepada sebagain kaum: “Berdiri dan siapkanlah bubur (campurlah tepung dengan air dan aduklah) untuk kita.” Dia berkata: “Ya Rasulallah seandainya anda  sudah masuk waktu malam?” Beliau bersabda: “Turun, siapkanlah bubur untuk kita.” Dia menjawab lagi: “Ya Rasulallah seandainya anda  sudah masuk waktu malam?” Beliau bersabda: “Turun, siapkanlah bubur untuk kita.” Dia berkata: “Sesungguhnya masih ada siang diatas anda (sisa cahaya kemerah-merahan  sehabis terbenamnya matahari masih nampak diufuk barat, disangka masih siang).” Beliau bersabda: “Turun, siapkanlah bubur untuk kita.” Maka ia turun dan menyiapkan bubur. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemudian minum dan bersabda: “Jika kamu melihat malam telah datang dari arah sini maka telah berbuka orang yang berpuasa.” (Bukhari 1955, Muslim 1101)
Berikut ini beberapa adab tentang buka:
Berbuka sebelum shalat:
Anas Radhiallahu ‘Anhu berkata: “Saya tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat mabghrib sama sekali sebelum beliau berbuka meski itu hanya seteguk air.” (Ibnu Hibban 890)
Berbuka dengan kurma
Anas berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berbuka dengan  beberapa butir kurma basah sebelum beliau shalat. Jika tidak ada kurma basah maka kurma kering, jika tidak ada maka cukup dengan meneguk air dengan beberapa tegukan.” (Abu Daud 2356, Turmudzi 696)
Jika sudah berbuka lalu shalat berjamaah di masjid maka ia pulang menuju makan malamnya.
Berdoa saat buka:
« ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ »
“Telah hilang dahaga dan basah  seluruh urat dan tetaplah pahalanya insyaallah (Hasan, Abu Daud 2357)
Adapun doa:
بِسْمِ اللهِ اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ فَتَقَبَّلْ مِنِّيْ إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ »
Maka syekh al-Albani mendhaifkannya, akan tetapi syekh Abdul Qadir al-Arnauth berkata: Hadis ini memiliki syawahid yang menguatkannya. Wallahu a’lam.
7. Berusaha keras untuk dapat memberi makan buka orang yang berpuasa untuk mendapatkan pahala yang sangat besar:
« مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا »
“Barang siapa memberi makan buka orang yang berpuasa maka baginya adalah pahala separti pahalanya tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun.” (Tirmidzi 708)
8. Tidak boleh Wishal
Jumhur ulama sepakat tentang haramnya wishal, dan hal itu khusus untuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Rasulullah melarang wishal maka mereka berkata: “Sesungguhya engkau melakukan wishal ya Rasulallah?” Beliau jawab: “Siapa diantara kalian yang sepertiku? Aku  di malam hari diberi makan dan minum oleh Tuhanku.” (Bukhari 1965)
Adapun wishal dari sahur ke sahur berikutnya maka boleh menurut Imam Ahmad, Ishaq,  dan Ibnul Mundzir dalilnya  adalah hadis Abu Said bahwa dia mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
« لاَ تُوَاصِلُوا فَأَيُّكُمْ أَرَادَ أَنْ يُوَاصِلَ فَلْيُوْاصِلْ حَتىَّ السَّحَر »
“Jangan melakukan wishal, siapa diantara kamu yamng ingin wishal maka lakukanlah wishal hingga sahur.” (Bukhari 1967)
9. Qiyam Ramadhan/ tarawih berjamaah, karena Nabi menganjurkan:
« مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ »
Barang siapa shalat tarawih karena iman dan mengharap pahala maka diamppuni dosa-dosanya yang telah lalu(Bukhari 2008, Muslim 759)
Keutamaannya secara jamaah:
« إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ اْلإِمَامِ حَتىَّ يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ »
“Jika seseorang shalat bersama imam hingga usai maka ditulis untuknya shalat semalam suntuk.” (HR. Para penulis kitab sunan)
Terutamama pada malam-malam akhir:
« مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ »
“Barang siapa shalat tarawih di malam lailatul  qadar karena iman dan mengharap pahala maka diamppuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Bukhari 2014, Muslim 760)

Malang, Selasa 5    Sya’ban 1427
29 Agustus 2006

Maraji’:
Agus Hasan Bashori, Fiqih Shiyam, Diktat IISC 1421
Samir ibn Amin az-Zuhairi, al-Ilmam bi Ahkam Wa Adab al-Shiyam, Darus Salaf, tt
Zakariya al-Bakistani, Shahih al-Matjar ar-Rabih, Darul Kharraz 1423
Abu Bakar al-Jazairi, Risalah al-Shiyam. Darut Tharafain, 1416
Abdullah al-Shalih. Kaifa Naisy  Ramadhan, Darul Wathan,1413
Dll
(Majalah Qiblati Th. II ed. 2)

0 komentar:

Copyright © 2012 BERSAMA MENAMBAH KEIMANAN.