PERAYAAN AKHIR TAHUN ANTARA AQIDAH DAN BUDAYA
Letupan petasan bersahut-sahutan membumbung
tinggi memenuhi angkasa malam. Disangka hujan namun langit tak berawan. Orang-orang mengira
gempuran serdadu, padahal periode penjajahan
telah berlalu. Itulah hiruk-pikuk sebuah euforia kesenangan atas pergantian
tahun, meski sebenarnya menyesakkan dada dan mengusir kenyamanan.
Relativisme 365 putaran
matahari di siang hari dan selingan variansi 12 peredaran periode bulan di
malam hari kini beralih untuk memperbaharui masa bakti yang ditandai dengan
rentetan pita suara dari corong-corong terompet yang disediakan spesial dalam
gegap gempita “Malam Tahun Baru”. Hingar-bingar ambisi anak bangsa di kala
malam itu adalah gambaran betapa gemerlap perwajahan negeri ini dinodai oleh
pencampakan moral generasi muda dan pengabdian setia pada hawa nafsu mereka.
Malam itu adalah seribu kenangan bersama sejuta kelam hingga datangnya fajar dalam arti hidayah dan anugerah taufik dari
Allah-waliyyuttaufiiq-, Sebuah hakikat yang ummat jahil atasnya.
Berkata Hudzaifah
radhiyallohu anhu, “Aku mengenal jenis
kemungkaran bukan untuk ikut mungkar dengannya melainkan semata untuk
menghindarinya. Sebab siapa yang tidak mengetahui sebuah kemungkaran
dikhawatirkan ia jatuh ke lubangnya.”
TAHUN
BARU atau TAHUN TUA?
Sebuah terminologi yang penting dan asasi.
Manakah yang benar, tahun
baru atau tahun tua? Jika ia disebut tahun baru, kenapa ia baru? Sebaliknya,
jika ia tahun tua mengapa ia mesti tua?
Sebenarnya istilah
bukanlah corong masalah yang harus diperdebatkan selama dalam bingkai tujuan
yang sama, laa musyaahata fil isthilaah (kaidah penting di kalangan para
ulama muhaqqiqin), hanya saja dalam berbagai keadaan sebuah istilah amat
menentukan sikap arif dan kebijaksanaan serta keberpihakan seseorang dalam
menengarai sebuah permasalahan. Yang pasti bahwa putaran waktu itu tak akan
pernah diundur ke belakang dan digendur ke depan, al-Qur’an menguatkan hal
tersebut, “Jika ajal mereka datang menjemput
niscaya mereka tak bisa mengundurkan waktu/masa/ ajalnya dan tidak pula
bisa mempercepatnya." (QS. Al-A'raf: 34).
Dalam QS. Ali Imran: 140, Allah
Subhanahu wa Ta'ala menerangkan secara eksplisit,
“Dan itulah hari-hari atau masa
(kejayaan dan kehancuran) di mana
Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)."
Dengan demikian, setiap masa akan
bergulir dan berganti dengan masa yang lain, ada waktu yang pupus dan ada waktu
yang bergugus, ada hari yang lenyap ada pula yang menatap, setiap peristiwa
akan berseling peristiwa sebagaimana setiap nuansa akan menjemput nuansa berikutnya.
Siklus mabda' azzaujiah (perihal berpasang-pasangan) ini-sebuah
sunnatullah-yang mengantar kita pada pertukaran dua bentuk yang datang silih
berganti di bawah kekuasaan Allah, ada hal dan kondisi yang baru meninggalkan
hal dan kondisi yang sudah berlalu, berarti setiap perputaran waktu akan
membawa kita pada suatu masa baru yang memisahkan diri dari sentuhan masa
lampau. Sampai pada batasan definisi ini orang akan cenderung membenarkan dan
melanggengkan istilah “Tahun Baru”.
Di sisi lain, jika kita memaknai masa
itu dalam kerangka efektifitas dan efesiensi waktu yang terpakai habis guna
atau lenyap sia-sia maka segenap perhatian kita akan terkonsentrasi pada ajang
muhasabah (instrospeksi diri) dan muraqabah (mawas diri) seiring dengan
bertambahnya umur dan usia sementara kewajiban lebih banyak dari waktu yang
tersedia dan tidak semua yang diharapkan menjadi kenyataan. Lazimnya, apapun
yang bertambah akan menjadi besar dan banyak sampai tak terkuak tapi mari kita
pecahkan teka-teki konsep sebuah masa yang tidak akan pernah berulang persis
sedia kala melainkan setiap pergantiannya kemungkinan adalah akhir
perjalanannya. Bilangan umur yang singkat bagi seorang manusia jika bertambah
maka akan semakin berkurang dan terkuras yang pada gilirannya beralih menjadi
tua.
“Dua bentuk nikmat yang banyak dilupakan dan dilalaikan oleh
manusia : kesehatan dan kesempatan."
(H.R. Bukhari).
Kini betapa banyak orang yang meradang
kesakitan setelah lalai memperhatikan kesehatan dan berapa banyak orang yang
hanya meratap dalam masa tua karena menyesali masa muda. Kata seorang penyair
Arab, "Andai masa muda kembali barang sehari maka akan kukabari apa yang
telah diperbuat masa tua."
TAHUN
BARU, HARI RAYA atau BUDAYA?
Sejarah tahun baru
yang pertama kali dirayakan pada tanggal 1 januari 45 SM., setelah penobatan Julius Caesar sebagai kaisar Roma kala itu dengan segala dinamikanya merupakan
akar budaya yang kuat dan kental dalam perayaan berakhirnya masa satu tahun
sekaligus menandai dimulainya hitungan tahun berikutnya. Budaya yang mempunyai
kalender tahunan semuanya mempunyai perayaan tahun baru. Tahun baru Indonesia yang mengadopsi
kalender Gregorian mengikuti mayoritas negara di dunia jatuh pada tanggal 1
Januari.
Dan sepanjang tarikh keislaman, syariat yang suci ini dengan segala
kompleksitas aturan dan tuntunan yang mulia hanya menganjurkan tiga bentuk hari
raya, -hari pertama Syawwal (i’dul fithri), hari kesepuluh bulan Dzulhijjah (I’dul Adha) dan
hari Jumat dalam setiap pekan. Tiga
bentuk perayaan Islam inilah yang lazim dan dikenal baik oleh kalangan
salaful ummah dan secara mutlak telah dinashkan dalam Alqur’an dan sunnah, maka
setiap yang terlahir dari selain ketiga bentuk perayaan tersebut dengan segala
ragam dan modelnya menjadi tidak sah dan menyelisihi syariat yang benar serta
bathil di sisi Allah. Validitas tersebut diungkapkan oleh Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam dalam sabdanya melalui proses transmisi (periwayatan)
yang sangat terpercaya oleh Imam Bukhari dan Muslim bahwa,
“Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan
agama kami niscaya hal itu tertolak.”
Perayaan tahun baru adalah bentuk yang diada-adakan atas nama agama yang
diwarisi turun temurun sejak cikal bakal awal kemunculannya.(Dalil-dalil serupa
silahkan lihat di buletin al-Fikrah edisi 03 "Natal, Jangan Latah",
sebab tahun baru dan natal adalah saudara kandung yang tak terpisahkan).
Tahun Baru,
Duka Baru!!!
Momentum tahun baru ini yang tak ubahnya pesta ‘milenium’ rekaan Yahudi dan
Nashrani dan semisalnya tidak luput dari pencampuradukan antara al-haq dan
kebatilan, propaganda kepada kekufuran, kesesatan, permisivisme (serba boleh)
dan atheisme serta pemunculan sesuatu yang menurut syariat adalah sesuatu yang
mungkar. Di antara hal itu adalah propaganda kepada penyatuan agama-agama
(pluralisme), melegitimasi upaya menyamakan Islam dengan aliran-aliran dan
sekte-sekte sesat lainnya, penyucian terhadap salib dan penampakan syiar-syiar
kekufuran yang dilakukan oleh orang-orang Nashrani dan Yahudi serta perbuatan
dan ucapan semisal itu yang mengandung tafsir ganda; bisa jadi, pernyataan
bahwa syariat Nashrani dan Yahudi yang sudah diganti dan dihapus tersebut dapat
menyampaikan jalan kepada Allah. Bisa jadi pula,
berupa anggapan baik terhadap sebagian dari ajaran kedua agama tersebut yang
bertentangan dengan dien al-Islam. Atau hal selain itu yang merupakan bentuk
kekufuran kepada Allah dan Rasul-Nya, kepada Islam dan ijma’ umat ini. Belum
lagi, hal itu adalah sebagai salah satu sarana westernisasi kaum Muslimin dari
ajaran-ajaran agama mereka. Pembenaran
statement ini dibuktikan oleh firman-firman Allah Ta’ala
dalam [Al-Baqarah: 109], [Ali-Imran: 69], [Ali-Imran : 149].
Sebagian besar kaum Muslimin telah terpengaruh dengan promosi perhelatan
spektakuler ini sehingga mereka nampak mempersiapkan segala sesuatunya untuk semata
hajatan. Tak heran jika di antara mereka ada yang
mengumumkan potongan harga (diskon) atas barang dagangannnya, undian
hadiah-hadiah menarik, tukar menukar kartu dan ucapan tahu baru, memasang
jam-jam dan pamflet-pamflet bertuliskan angka, membuat pakaian-pakaian dan
plakat-plakat kenangan, mencetak kartu-kartu dan buku-buku tulis sekolah serta
kegiatan-kegiatan olahraga dan beragam simbol lainnya. Bahkan tak jarang kita
temui lantaran momentum ini orang-orang meliburkan pekerjaan, menjalin ikatan
perkawinan, memulai aktifitas bisnis, membuka proyek-proyek baru dan lain
sebagainya. Kompleks keseluruhan dari realitas tersebut adalah bentuk ta’awun,
kerelaan, kesepakatan bahkan kegembiraan dan kesenangan serta toleransi
kebablasan dari seorang muslim terhadap hari-hari besar orang kafir dan tidak
ada keraguan untuk hal itu. Dan inilah dampak
negatif yang paling besar atas dasar
menyerupai orang-orang kafir secara lahiriah yang lambat laun akan menimbulkan sejenis
kecintaan dan kesukaan serta loyalitas secara batin. Sementara mencintai dan loyal
terhadap mereka menafikan keimanan yang hakiki [Al-Maidah: 51] dan dalam hadits yang masyhur, "Barangsiapa yang
mengikuti suatu kaum niscaya ia tergolong dari kelompok mereka." (HR.
Abu Daud).
Dari itu kami wasiatkan kepada seluruh saudara-saudara kami, kaum Muslimin,
agar bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-sebenar takwa, taat dan menjauhi
kemaksiatan terhadap-Nya serta saling berwasiat dengan hal itu dan sabar
atasnya.
Dari Bukit ‘Izzah, akhukum fillah, Fadli Multazam Ilham_STIBA
Makassar
Referensi: Media dan Kitab Fatawa al Ulamahttp://www.stibamks.net
0 komentar:
Posting Komentar