ISLAM DAN TOLERANSI
Toleransi
antar umat beragama merupakan sebuah slogan yang indah. Toleransi memuat pesan-pesan
berharga yang diinginkan
umat manusia yaitu saling memahami, saling toleran, tidak memaksakan kehendak, tidak anarkis,
dan sebagainya.
Islam adalah agama toleran. Karena
itu, Islam tidak memaksakan urusan memilih agama kepada umat manusia. Firman
Allah l, artinya, “Tiada
paksaan untuk masuk ke dalam agama (Islam). Sungguh telah jelas jalan yang
benar dari jalan yang sesat.” (QS. Al-Baqarah: 256).
Dalam jihad, Islam menawarkan tiga
pilihan: Islam, membayar jizyah, atau perang. Ini juga merupakan bukti bahwa
Islam tidak memaksa mereka untuk masuk Islam. Bahkan jika mereka memilih perang
sekali pun, lalu menyerah dan memohon perlindungan, maka Islam memerintahkan
untuk melindungi mereka. Dan yang luar biasa adalah perintah dari Allah f
untuk mengantar mereka sampai ke tempat yang aman.
“Dan jika seorang di antara
orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia
supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang
aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.”
(QS. At-Taubah: 6).
Bahkan sebagai wujud keindahan Islam
yang sangat toleran terhadap agama lain, Islam melarang umatnya melanggar
hak-hak non muslim, bahkan Islam menganjurkan umatnya berbuat baik kepada
mereka.
Adakah agama yang lebih toleran dari
Islam?
SALING
MENGHORMATI SESAMA
Prinsip dasar dalam menebarkan agama
yang didasari oleh kebebasan beragama ini tentu melahirkan hubungan yang baik
dan kondusif antar umat beragama. Dengan demikian, keyakinan Anda bahwa agama
pilihan Anda adalah agama paling sempurna dan paling benar, tidak membawa Anda
untuk bersikap anarkis.
Bahkan Islam mengajarkan kepada Anda
untuk tidak mengganggu dan melanggar hak-hak orang yang berseberangan agama
dengan Anda.
“Barangsiapa membunuh orang kafir yang
menjalin perjanjian damai dengan negara Islam (mu’ahad),
maka ia tidak akan mencium bau surga, padahal baunya dapat dicium sejauh
perjalanan empat puluh tahun perjalanan.”
(HR. Bukhari).
Bukan hanya tidak mengganggu, bahkan
Islam masih jua menganjurkan Anda untuk tetap berbuat baik kepada mereka.
“Allah tiada melarang kamu untuk
berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu
karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS.
Al-Mumtahanah: 8).
Sejarah kehidupan Nabi `
dan sahabat-sahabatnya di kota Madinah menjadi bukti nyata akan hal ini. Nabi ` mengikat tali perjanjian untuk bahu-membahu
dengan Yahudi dalam mempertahankan kota Madinah, negeri mereka bersama, dari
serangan musuh.
Sahabat Abdullah bin ‘Amr c
pada suatu hari menyembelih seekor kambing. Lalu ia berkata, “Apakah kalian
sudah memberikan hadiah (daging sembelihan) kepada tetanggaku yang beragama
Yahudi? Karena aku mendengar Rasulullah `
bersabda, “Malaikat Jibril senantiasa berwasiat kepadaku tentang tetangga,
sampai aku menduga beliau akan menjadikannya termasuk orang yang berhak
menerima warisan.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzy).
Pergaulan yang baik dan etika yang
luhur bukan hanya ditunjukkan semasa mereka hidup, bahkan sepeninggal mereka
pun, Islam masih menekankan pergaulan yang baik.
Sahabat Sahl bin Qais E
mengisahkan satu praktik toleransi yang dicontohkan oleh Nabi `
dalam bermasyarakat dengan orang-orang yang berseberangan agama:
“Pada suatu hari (serombongan orang
membawa) jenazah melintas di depan Nabi `,
maka beliau berdiri. Spontan para sahabat bertanya, “Sesungguhnya ia adalah
jenazah orang Yahudi.” Beliau menjawab, “Bukankah dia juga jiwa (manusia)?”
(HR. Bukhari).
Demikianlah Islam mengajarkan
toleransi dengan agama lain.
TOLERANSI
TAK BERARTI
MENGGADAIKAN
PRINSIP AGAMA
Toleransi dianjurkan. Berbuat baik
disyariatkan. Tolong menolong menjadi suatu kepastian walaupun Anda
berseberangan agama dengan tetangga. Namun itu tidak berarti Islam membenarkan
Anda untuk menggadaikan ideologi dan prinsip agama Anda. Islam tidak pernah
mengizinkan kepada Anda untuk bersikap lunak dan dalam urusan akidah dan
keimanan. Allah l berfirman, artinya, “Maka
mereka menginginkan supaya engkau bersikap lunak, lalu mereka bersikap lunak
pula kepadamu.” (QS. Al-Qalam: 9).
Al-Mujahid berkata, “Mereka
mendambakan jikalau engkau sedikit melunak (mendekat) kepada tuhan-tuhan
mereka, dan meninggalkan sebagian dari kebenaran yang ada padamu.”
Inilah prinsip Islam yang tidak dapat
ditawar-tawar, sebagaimana yang tertuang pada firman Allah berikut, artinya,
“Katakanlah: "Hai orang-orang
yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan
penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa
yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku
sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku.”
(QS. Al-Kafirun: 1-6).
Kita yakin dan beriman bahwa
satu-satunya agama yang benar dan diterima di sisi Allah adalah agama Islam.
Keyakinan ini tertanam kokoh dalam jiwa setiap muslim dan tak mungkin
tergoyahkan oleh apa pun.
Kebenaran Islam sebagai satu-satunya
agama yang sah harus selalu kita yakini. Kebaikan perilaku dan keluhuran tutur
kata bukan berarti keraguan akan kebenaran agama yang kita yakini. Persahabatan
dan kerjasama juga bukan berarti keraguan akan kesalahan agama orang lain.
“Barangsiapa mencari agama selain
agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya,
dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”
(QS. Ali Imran: 85).
“Sesungguhnya agama yang diterima di
sisi Allah hanyalah agama Islam.” (QS. Ali
Imran: 19).
Rasulullah `
bersbda, “Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya. Tiadalah seorang
pun dari umat ini, baik Yahudi maupun Nasrani, lalu ia mati, sedangkan ia belum
beriman kepada agama yang aku diutus dengannya, melainkan ia menjadi penghuni
neraka.” (HR. Muslim).
Dengan demikian, bila toleransi yang
diinginkan berupa hubungan yang baik, tidak saling melanggar hak dan
kepemilikan, maka itu semua telah diajarkan dalam syariat. Namun bila yang
dimaksud dari toleransi ialah lunturnya ideologi, iman, dan keyakinan, maka
sejatinya itu bukan toleransi, tapi pelecehan harkat dan martabat.
UCAPAN
SELAMAT NATAL DAN TAHUN BARU
Hari
raya adalah masalah agama dan akidah, bukan masalah keduniaan, sebagaimana
ditegaskan oleh Rasulullah r
dalam sabda beliau kepada Abu Bakar t
pada hari Idul Fitri, ”Setiap kaum memiliki hari raya, dan ini (Idul Fitri)
adalah hari raya kita.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan
demikian, turut merayakannya berarti ikut serta dalam ritual ibadah mereka.
Dan
Rasulullah r
telah bersabda, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk
golongan mereka.” (HR. Abu Dawud,
dan dinyatakan hasan shahih oleh Al-Albani).
Imam
Al-Baihaqi juga meriwayatkan dengan sanad yang baik dari Abdullah bin Amru c
beliau pernah berkata, “Barangsiapa lewat di negeri non Arab, lalu mereka
sedang merayakan Hari Nairuz dan festival keagamaan mereka, lalu ia meniru
mereka hingga mati, maka demikianlah ia dibangkitkan bersama mereka di Hari
Kiamat nanti.” (Lihat Ahkaamu Ahlidz Dzimmah I/723-724).
Para ulama
telah memperingatkan umat Islam akan keharaman mengucapkan selamat hari Natal
dan Tahun Baru. Bahkan Majelis Ulama Indonesia dalam fatwanya tertanggal 01
Jumadil Ula 1401 H/07 Maret 1981 M memutuskan pada poin kedua:
Mengikuti upacara Natal Bersama bagi umat Islam hukumnya haram.
Agar umat tidak terjerumus ke dalam syubhat dan
larangan Allah I maka kaum Muslimin dilarang mengikuti kegiatan-kegiatan perayaan Natal.
http://www.stibamks.net
0 komentar:
Posting Komentar