ADAB DALAM MENGHADIRI PELAJARAN DAN HALAQAH

ADAB DALAM MENGHADIRI PELAJARAN DAN HALAQAH

·         Seorang yang akan menghadiri majlis ilmu seyogyanya memperbaiki penampilannya dan persiapannya, bahkan orang mengungkapkan: Seseorang harus memperhatikan dirinya dan memperindah penampilan pribadinya di hadapan orang lain; dia harus mandi, menyisir rambut dan jenggotnya, memperbaiki sorbannya dan pakainnya, memakai minyak wangi, bersiwak dan memakai pakaian yang putih bersih serta hendaklah dia melihat dirinya pada sebuah cermin sebelum berangkat menghadiri halaqah ilmu.

·         Berjalan dengan tenang dan mengucapkan salam kepada orang yang ditemuinya.

·         Saat memasuki maka hendaklah dia sholat dua rekaat sebelum duduk.

·         Duduk dekat dengan syekh dan tidak menunjuk dengan tangan saat berada di sisinya atau memberi isyarat dengan mata.

·         Tidak melangkahi pundak orang lain akan tetapi duduk pada tempat dia berhenti melangkah menuju majlis kecuali jika syekh mengizinkan dirinya untuk maju.

·         Tidak membangunkan orang yang sudah duduk di tempatnya sendiri, dan tidak pula duduk di tengah-tengah majlis, atau tidak duduk antara dua orang teman kecuali dengan izinnya, maka jika (mereka berdua) memberikan kelapangan baginya maka dia boleh duduk dan menggabungkan dirinya padanya.

·         Mempergunakan ungkapan yang halus saat berbicara dan hendaklah dia berakhlaq yang baik terhadap teman-teman dan shahabatnya di dalam halaqah tersebut. Rasulullah r bersabda:

 وَخَـالِقِ النَّاسَ بِخُـلُقٍ حَسَـنٍ

"Dan bergaullah kepada manusia dengan akhlaq yang baik”.[2] Dan mereka ini lebih utama untuk berakhlaq yang baik.

·         Lebih diutamakan untuk mengadakan majlis ilmu di masjid, namun jika tidak bisa diadakan di masjid, bisa diadakan di rumah dan Rasulullah r  telah melakukannya, beliau bersabda:  “Tempat kalian adalah di rumah si fulanah”

·         Menjadikan kiblat sebagai patokan arah selama memungkinkan dan hendaklah halaqah yang diadakan berbentuk melingkar; Oleh karena itulah para ahli bahasa pada saat mendifinisikan tentang halaqah mereka mengatakan: Perkumpulan sekelompok kaum (dalam sebuah tempat) secara melingkar.[3]

·         Tidak mengapa bagi seorang guru untuk duduk di tempat yang lebih tinggi pada saat banyak orang yang hadir.

·         Membuka pelajarannya dengan membaca dua kalimah syahadah dan bacaan shalawat kepada Nabi, diceritakan bahwa sebagian tokoh ulama hadits membuka majlisnya dengan membaca sebuah surat dari Al-Qur’an.

·         Berdo’a bagi syekhnya agar diberikan rahmat, menolak gibah pada majlis yang terjadi pada gurunya sebatas kemampuan, namun jika tidak mampu maka hendaklah dia meninggalkan majlis tersebut.

·         Hendaklah seorang syekh menerangkan makna kata yang belum jelas dan asing saat melewati kata tersebut, dan bersikap diam terhadap kata yang tidak dilewatinya, serta tidak menerangkan sesuatu yang tidak mampu ditangkap oleh kemampuan orang awam.

·         Seorang guru dituntut untuk tidak membosankan orang yang   hadir di dalam majlisnya dan tidak pula menghardik mereka, dan tidak mengapa jika dia menutup majlis dengan cerita-cerita yang lucu dan aneh saat dia melihat murid-muridnya mulai bosan, bahkan sebagian orang mengatakan: Cerita adalah tali-tali yang bisa dipergunakan untuk memburu hati.[4]

·         Tidak melupakan do’a kaffaratul majlis di akhir pelajaran.

·         Meninggalkan berdebat, berbantah-bantahan dan pembicaraan yang tidak bermanfaat saat berada di dalam halaqah.

·         Tidak bersikap sombong terhadap orang lain saat berkumpulnya orang-orang miskin.

·         Mendengarkan hadits Nabi dengan tenang dan khusyu’.

·         Seorang syekh harus besikap merendah diri.

·         Sebagian orang salaf tidak suka jika murid-muridnya mengejar syekh dan mencium kepalanya.

·         Memberikan motifasi kepada siswa yang ikhlash di dalam halaqah ilmu.

·         Menjauhi sikap merasa alim.

·         Mendengar dan tidak menyibukkan diri dengan sesuatu apapun saat pelajaran berlangsung.

·         Tidak memutus pembicaraan syekh saat sedang menjelaskan.

·         Mengatur, menertibkan dan membagi jadwal pelajaran berdasarkan hari-hari dalam satu minggu. Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu memberikan pelajaran haidits pada setiap hari kamis, Ibnu Abbas memulai pelajarannya dengan tafsir, lalu hadits, kemudian fiqh, setelah itu barulah sya’ir lalu…

·         Tidak menjadikan orang yang lebih kecil sebagai peminpin, dan dianjurkan mendorong para siswa agar selalu ikhlash, diceritakan bahwa seseorang berlomba-lomba (dalam ilmu) di dalam sebuah majlis ilmu, maka syekh berkomentar: ((Jika hal tersebut dilakukan karena Allah maka jiwamu telah bersih, namun jika karena selain Allah berarti engkau telah celaka)).

·         Seorang guru harus mendorong siswanya untuk berbuat baik saat pembelajaran berlangsung, Ibnu Mas’ud berkata: ((Aku bersaksi kepada Allah, jangan sampai orang yang memutuskan silaturrahmi hadir bersama kita, sebab kita ingin berdo’a dan ingin dikabulkan permohonan tersebut.

·         Di dalam halaqah harus dicipatkan kiondisi keimanan, nasehat dan saling mengingatkan serta….

·         Harus menyembunyikan rahasia yang terdapat di dalam halaqaah.

·         Ketidakhadiran seorang syekh bagi generasi salaf adalah masalah yang besar.

·         Syekh menentukan salah seorang dari siswanya yang mampu mengendalikan halaqah.

·         Tidak tertipu dengan banyaknya murid-murid yang fasiq dan menyeleweng, disebutkan dalam kiatab Ajaibul Atsar tentang sorang syekh yang paham dan mengusai masalah fiqih, namun pribadinya seorang penyair yang cabul, walau demikian halaqahnya dihadiri oleh lebih dari tiga ratus siswa.

·         Mengusir murid yang sesat dan perusak dari halaqah untuk memperkuat solodaritas di dalam majlis tersebut, membongkar dan menolak fitnah serta kejahatannya, seperti diusirnya Wasil bin Atho’.[5]

·         Jika seorang siswa tidak menghormati pelajaran maka keberadaannya   tidak memberikan manfaat.



[2] Shahihut Targib (3160).

[3] Mukhtarush Shihah hal. 150.

[4] Ali bin Abi Thalib ra berkata: Sesungguhnya hati ini bisa bosan sebagaimana badan bisa bosan; maka hiburlah dia dengan cerita-cerita lucu dan hikmah. Dan Aisyah berkata kepada Lubaid bin Umair: Janganlah membuat orang menjadi bosan dan putus asa. Dan Al-Zuhri jika ditanya tentang hadits dia menjawab: Selingilah dan barengilah pelajaran hadits dengan yang lainnya sehingga jiwa menjadi terbuka. Ibnu Mas’ud t berkata: Hiburlah hati, sebab hati yang benci akan menjadi buta. (Al-Adabus Syar’iyah, Ibnu Muflih 2/102.

[5] Adalah Wasil Bin Atho’ bin Al-Gozzal, dikatakan Gozzal sebab dia sering mondar-mandir pada perkukumpulan orang-orang yang cabul di Bashroh. Kuniyahnya Abu Hudzaifah, tokoh Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah mahluq, termasuk tokoh di dalam ilmu balagah dan ilmu kalam. Dia tidak bisa mengucapkan huruf ر, maka dia menggantinya dengan غ, maka dia selalu menjauhi huruf  ر  di dalam komunikasinya sampai dijadikan sebagai contoh. Disebut Mu’tazilah karena Washil bin Atho’ termasuk seorang yang menghadiri pengajian Al-Hasan Al-Bashri, namun akhirnya meninggalkan majlis tersebut yang diikuti oleh beberapa jama’ah, akhirnya dikenal dengan nama Mu’tazilah (Al-A’lam 8/108)



Penyusun : Majid bin Su'ud al-Usyan

Terjemah : Muzafar Sahidu bin Mahsun Lc.

Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad


0 komentar:

Copyright © 2012 BERSAMA MENAMBAH KEIMANAN.