Refleksi Kehidupan Salafusoleh Dalam Berinteraksi Dengan Ayat-ayat al-Quran
Imâd Hasan Abu al-‘Ainain
Terjemah : Syafar Abu Difa
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad
Sungguh generasi pendahulu kita dengan sadar telah menikmati sensasi ayat-ayat al-Quran dan sunah Nabi. Mereka mengamalkannya dalam praktek keseharian. Kehidupan di luar masjid tidak membuat mereka tidak menjalankannya. Mereka tidak memisahkan dan menjadikan aktivitas kehidupan amaliah (duniawi) sebagai satu sisi dan agama pada sisi yang lain, tetapi keduanya saling melengkapi. Interaksi mereka dengan ayat-ayat qurâni dan sunah nawabi nampak dalam aktivitas gerak dan diam mereka.
Abdullah Ibn Umar respek
dengan firman Allah :
“Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai.” (QS.Ali Imran:92)
Ketika mendapatkan sesuatu
yang amat disukainya pada hartanya, serta-merta ia jadikan harta itu sebagai taqarub
(pendekat) kepada Allah U.
Budak-budak Ibnu Umar
menyadari hal itu. Hingga salah seorang di antara mereka ada yang sengaja
berdiam diri di masjid. Ketika Ibnu Umar melihatnya dalam keadaan demikian, diapun
memerdekakan budak itu. Atas sikapnya itu, sebagian orang ada yang berkata
kepadanya,
“Budak-budak itu hanya
menipumu!”
Ibnu Umar menjawab:
“Siapa yang menipu kami untuk
Allah, kami akan membiarkan seolah kami tertipu untuknya.” .
Ibnu Umar memiliki budak
perempuan yang begitu disayanginya. Tetapi diapun memerdekakan budak itu dan
menikahkannya dengan Nâfi’, budak yang juga telah dimerdekakannya sebelumnya.
Ibnu Umar berkata:
“Sesungguhnya Allah I berfirman:
“Kamu sekali-kali tidak sampai
kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta
yang kamu cintai.” (QS.Ali
Imran:92)
Pernah Ibnu Umar membeli unta
jantan dan merasa takjub ketika menungganginya. Diapun berkata kepada
ajudannya:
“Wahai Nâfi’, jadikan unta ini sebagai sedekah.”
Pada kesempatan yang lain,
Ibnu Ja’far (seorang saudagar) ingin membeli Nafi’, budak lelaki Ibnu Umar
sebesar 10.000 dirham atau lebih dari itu. Ibnu Umar berkata:
“Aku telah memerdekakannya, dia bebas untuk Allah.”
Pada waktu yang lain Ibnu Umar
membeli seorang budak dengan harga 40.000 dirham kemudian dimerdekakannya.
Setelah dimerdekakan budak itupun berkata:
“Wahai tuanku, engkau telah
memerdekakanku, maka berilah aku sesuatu agar aku bisa hidup.”
Ibnu Umar pun memberinya 40.000
dirham.
Pada waktu yang lain Ibnu Umar
membeli 5 orang budak. Manakala dia sedang shalat kelima budak itu turut shalat
di belakangnya. Ibnu Umarpun bertanya kepada mereka:
“Untuk siapa kalian melakukan shalat ini?”
“Untuk Allah!” Jawab mereka.
Mendengar jawaban mereka Ibnu
Umar berkata:
“Kalian merdeka untuk Dia yang
kalian shalat kepada-Nya.” Ibnu Umarpun memerdekakan mereka semua.
[Al-bidayah wa an-Nihayah 6/9]
Ayat:
“Kamu sekali-kali tidak sampai
kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta
yang kamu cintai.” (QS.Ali
Imran:92)
Jika dipraktekkan di era kita
sekarang ini, maka tidak akan lagi ditemukan seorang miskin atau terlantar pun
di tengah masyarakat muslim, walau hanya 10% saja dari mereka yang
mempraktekkannya.
*****
Ali Ibn al-Husain respek
dengan firman Allah :
“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan
(hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan.” (QS.Ali
Imran:134)
Abdurrazzak berkata,
“Budak perempuan Ali Ibn
al-Husain menuangkan air kepada Ali untuk berwudhu, tetapi bejana yang
dipegangnya terlepas dari tangannya sehingga mengenai wajah Ali. Diapun
mendongak (menatap tajam) kepada budaknya itu. Maka berkatalah budak perempuan
itu menyitir ayat dalam surat Ali Imran:
“Sesungguhnya Allah I berfirman:
“…dan orang-orang
yang menahan amarahnya..”
“Aku telah menahan
amarahku.” Jawab Ali.
“...dan memaafkan
(kesalahan) orang...” lanjut budak perempuan itu.
“Semoga Allah
mengampunimu.” Jawab Ali.
“...Allah menyukai orang-orang
yang berbuat kebajikan...”
Mengakhiri ayat 134 dari surat Ali Imran yang dibacanya.
“Kini engkau aku merdekakan
semata karena Allah.” Ungkap Ali.
[Al-Mushannif Abdurrazzaq
no.8317]
*
* * * *
Umar Ibn Abdul Aziz respek
dengan firman Allah :
“Sesungguhnya pelindungku ialahlah yang telah
menurunkan Al kitab (Al-Quran) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.” (QS.al-A’râf: 196)
Dikatakan kepada Umar Ibn
Abdul Aziz[1] ketika
berada dalam pembaringan menjelang kematiannya:
“Mereka anak-anakmu (yang berjumlah 12), tidakkah engkau
berwasiat kepada mereka dengan sesuatu, sesungguhnya mereka itu fakir.”
Umar menjawab:
“Sesungguhnya wali (pengayom)ku
adalah Allah yang telah menurunkan al-kitab (al-Quran) dan dia pula yang
akan mengayomi orang-orang yang saleh. Demi Allah, aku tidak akan memberikan
hak orang lain kepada mereka. Mereka ada di antara dua keadaan orang; orang
yang saleh, maka Allah akan menjadi pengayomnya, atau bukan orang saleh, maka
aku tidak akan membantu kefasikan (perbuatan dosanya) dengan memberinya
harta. Aku sendiri tidak peduli pada posisi mana pengakhiran mereka. Aku tidak
akan meninggalkan untuk mereka sesuatu yang dapat digunakan bermaksiat kepada
Allah sehingga aku menjadi sekutunya setelah kematianku.”
Kemudian dia memanggil
anak-anaknya untuk mengucapkan perpisahan seraya berpesan dengan apa yang telah
menjadi prinsipnya itu, lalu berkata:
“Pergilah kalian semua, Allah
akan menjaga kalian dan akan memperbaiki keadaan kalian setelah ini. ” Pesan
Umar.
Orang-orang berkata (setelah
kematian Umar):
“Kami mendapati di antara
anak-anak Umar Ibn Abdul Aziz ada yang membawa 80 ekor kuda untuk digunakan
berperang dijalan Allah. Sedangkan di antara putra Sulaiman Ibn Abdul Mâlik[2],
meskipun banyak harta yang ditinggalkan untuk anak-anaknya (tapi pada akhirnya)
datang dan meminta kepada anak-anak Umar Ibn Abdul Aziz. Yang demikian karena
Umar mewakilkan anaknya kepada Allah U sedangkan Sulaiman
dan penguasa lainnya menggantungkan anak-anak mereka pada apa yang diberikan,
sehingga habis dan lenyaplah harta itu untuk memuaskan hawa nafsu anak-anak
mereka.
[kitab: Al-Bidayah wa
an-Nihaya 9/218.]
Dengan satu ayat Umar Ibn
Abdul Aziz mengejawantahkan ayat tersebut dalam urusan hak anak-anaknya
sehingga Allah jaga mereka dengan izin-Nya. Bahkan bukan hanya itu, Allah
gabungkan untuk mereka kebaikan dunia dan akhirat.
Bukankah sudah seharusnya kaum
muslimin menyadari betapa pentingnya mendidik anak keturunan yang sesuai dengan
sudut pandang Islam.
*
* * * *
Penyair pun memiliki bagian
dalam memahami al-Quran dan sunah serta bagaimana mereka berinteraksi dengan
nas-nas keduanya dalam kehidupan nyata mereka sehari-hari.
Farzadaq, seorang penyair respek
dengan firman Allah :
“Maka Kami telah memberikan pengertian kepada
Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka
telah Kami berikan Hikmah dan ilmu.” (QS.al-Anbiya: 79)
Dikabarkan bahwa al-Walid[3] mengirim
utusan kepada raja Romawi meminta dikirimi ahli-ahli bangunan, baik ahli marmer
dan yang lainnya, untuk membantu membuatkan bangunan Masjid Umawi di Damaskus
sesuai keinginannya. Maka raja Romawi pun mengirim banyak ahli bangunan sekitar
200 tukang seraya menulis surat kepadanya, yang isinya:
“Jika ayahmu tahu apa yang
kamu lakukan dan membiarkan saja sungguh itu adalah cela bagimu. Jika dia tidak
memahaminya sedang engkau memahaminya, sungguh itu adalah cela baginya.”
Ketika kiriman raja Romawi
sampai kepada Walid, dia ingin membalas surat itu. Maka berkumpullah
orang-orang untuk membahasnya. Di antara mereka ada Farzadaq, seorang penyair,
dia berkata:
“Aku yang akan menjawabnya
dari kitabullah, wahai Amirul mukminin."
“Apa itu?” Tanya Walid
“Allah I berfirman:
“Maka Kami telah memberikan
pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada
masing-masing mereka telah Kami berikan Hikmah dan ilmu.” (QS.al-Anbiya:79)
Sulaiman adalah putra Daud. Allah
memberinya kefahaman apa yang tidak diberikan kepada ayahnya.” Jelas Farzadaq.
Jawaban Farzadaq membuat Walid
salut. Maka Walidpun mengirim jawaban itu kepada Raja Romawi. Farzadak
mengatakan hal itu dalam syairnya:
Aku pisahkan antara Nasrani di gereja-gereja mereka
Antara ahli ibadah, tukang sihir dan ternak
Mereka semua jika sembahyang wajahnya berbeda-beda
Ada yang sujud kepada Allah atau kepada patung
Bagaimana mungkin berkumpul pemukul lonceng ahli salib
Dengan para pembaca al-Quran yang tidak tidur
Aku pahami masalahannya
seperti pemahaman Daud dan Sulaiman
Yang mengadili orang-orang pada kebun dan ternak
....
[al-Bidayah wa an-Nihayah 9/153]
*
* * * *
Abdul Malik bin Marwan, yang
telah banyak menaklukkan negeri-negeri
di berbagai penjuru dan menjadikannya daulah islamiah pada zamannya,
ketika terbaring menyongsong kematiannya respek dengan firman Allah
“Dan Sesungguhnya kamu datang kepada Kami
sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya.” (QS. Al-An’âm: 94)
Abu Mashar berkata:
“Ditanyakan kepada Abdul Malik
di saat sakit menjelang kematiannya:
“Apa yang engkau
rasakan?”
“Aku mendapatkan diriku
sebagaimana yang Allah firmankan:
“Dan Sesungguhnya kamu datang kepada Kami
sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu
tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan kepadamu;
dan Kami tiada melihat besertamu pemberi syafa'at yang kamu anggap bahwa mereka
itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kamu. Sungguh telah terputuslah (pertalian)
antara kamu dan telah lenyap daripada kamu apa yang dahulu kamu anggap (sebagai
sekutu Allah)." (QS.
Al-An’âm: 94)
“Seandainya aku seorang tukang
cuci yang hidup dari hasil tanganku sendiri.” Sesalnya.
Ketika berita menjelang
kematian Abdul Malik tersebut sampai kepada Sa’id Ibn al-Musayib[4], dia
berkata:
“Segala puji bagi Allah yang
telah menjadikan pada akhir kematiannya mendekat kepada kami (kepada akhirat),
bukan kita yang mendekat kepadanya (kepada dunia).”
[Lihat: al-Kamil fi at-Tarikh,
peristiwa tahun 86H jilid 3]
*
* * * *
Kepada para hakim dari umat
ini –kebanyakan mereka menjauhi kebenaran dan berpaling- aku beritakan apa yang
dilakukan oleh al-Mahdi, khalifah al-Abâsi yang berhukum dengan adil dan respek
dengan ayat al-Quran yang mulia.
Al-Khatib meriwayatkan:
"Seorang lelaki meminta
bantuan kepada al-Mahdi untuk mengadili dirinya dan lawan sengketanya.
Al-Mahdipun mengadili mereka dengan adil. Sehingga lelaki itupun memuji dalam
bait-bait syair:
Engkau mengadilinya
dan membuat keputusan
Seperti terang
benderangnya bulan purnama
Tidak menerima suap
dalam pengadilan hukummu
Tidak peduli
kekecewaan mereka yang merugi
Al-Mahdi berkata mengomentari
bait-bait syair lelaki itu:
“Adapun engkau wahai kisanak,
semoga Allah menjadikan baik ucapanmu dan aku tidak terlena dengan apa yang
engkau katakan. Adapun aku, tidaklah aku duduk di majelisku ini hingga membaca
firman Allah :
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada
hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika
(amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya.
Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.” (QS.al-Anbiya:47)
Orang-orang yang ada di
majelis menangis. Belum pernah terlihat orang menangis lebih banyak dari hari
itu sebelumnya.
[Lihat kitab: al-Kâmil fi
at-Târikh, kejadian tahun 256H jilid 4]
*
* * * *
Maimun bin Mahrân respek
dengan ayat dari kitab Allah I.
Umar, putra Maimun berkata:
“Aku keluar bersama ayahku
menyusuri bangunan dan jalan-jalan Bashroh. Ketika melewati parit, syaikh
(ayahku) tidak dapat melampauinya, sehingga akupun merebahkan tubuhku agar
beliau dapat melintas menaikiku. Diapun melintas menaiki punggungku, setelah
itu akupun berdiri dan memegang tangannya hingga tibalah kami di rumah
al-Hasan. Akupun mengetuk pintu rumah al-Hasan. Tidak lama berselang keluarlah
seorang budak wanita dan berkata:
“Siapa yang datang?”
“Ini adalah Maimun Ibn Mahran,
ingin bertemu dengan al-Hasan.” Jawabku.
“Apakah Maimun juru tulis
(sekretaris) Umar Ibn Abdul Aziz?!” tanyanya lagi.
“Ya.” Jawabku lagi.
“Alangkah menyedihkannya,
engkau masih hidup pada zaman yang penuh dengan keburukan sekarang ini.” Ujar
budak wanita itu.
Syaikh menangis mendengarnya,
hingga al-Hasanpun keluar karena mendengar tangisan itu, lalu mereka saling
berangkulan, kemudian masuk. Maimun bekata:
“Wahai Abu Sa’id[5], sungguh
aku galau dengan kerasnya hatiku, karenanya lembutkanlah ia.”
Al-Hasanpun membaca firman
Allah I:
“Maka bagaimana pendapatmu jika Kami berikan
kepada mereka kenikmatan hidup bertahun-tahun kemudian datang kepada mereka
azab yang telah diancamkan kepada mereka. Niscaya tidak berguna bagi mereka apa
yang mereka selalu menikmatinya.” (QS.as-Syu’arâ’: 205-207)
Mendengar itu Maimun langsung
jatuh pingsan. Aku melihat kedua kakinya saling bergesekan seperti biri-biri
yang disembelih. Keadaan seperti itu berlangsung cukup lama. Kemudian datanglah
budak perempuan tadi dan berkata:
“Kalian telah membuat al-Hasan
lelah. Tinggalkanlah dia agar beristirahat.”
Akupun memegang tangan ayahku
lalu keluar. Aku katakan kepada ayahku:
“Wahai ayah, apakah dia al-Hasan.”
“Ya.” Jawab ayahku.
“Aku mengira ia lebih hebat dari ini[6].”
Ayahku menepuk dadaku seraya berkata:
“Wahai anakku, telah dibacakan
kepada kita ayat yang jika engkau memahaminya dengan hatimu sungguh engkau akan
merasakan adanya kepedihan.”
[Kitab al-Bidayah wa
an-Nihayah 9/327]
*
* * * *
Al-Hajjaj Ibn Yusuf
ats-Tsaqofi adalah sosok yang zalim dan bengis. Hanya saja dia begitu sensitif
dengan ayat-ayat al-Quran, respek dan mendahulukan firman Allah U dibanding perkataan yang
lain.
Al-Haitsam Ibn Adi berkata:
“Datang seorang lelaki kepada al-Hajjaj dan berkata:
“Sesungguhnya saudara
laki-lakiku keluar bersama Ibnu al-Asy’ab[7],
sehingga namaku dihapus dari daftar, tidak mendapat bantuan dan tempat
tinggalku digusur.”
Al-Hajjaj berkata:
“Tidakkah engkau
mendengar ungkapan syair:
Harapanmu kepada orang yang
menyakitimu
Tak ubahnya menjadikan
kesehatan yang berkah menjadi kusta
Bisa jadi seorang itu di hukum
karena kesalahan orang dekatnya
Sedangkan pelakunya selamat
dari dosa yang dilakukannya
Lelaki itupun
menjawab:
"Wahai amir, sungguh aku
mendengar firman Allah I tidak seperti syair
yang telah engkau bacakan tadi, dan firman Allah I lebih benar.”
"Apa yang Allah firmankan?" Tanya al-Hajjaj.
Lelaki itu membaca
firman Allah I dalam surat Yusuf:
"Mereka
berkata: "Wahai Al-Aziz, sesungguhnya ia mempunyai ayah yang sudah lanjut
usianya, lantaran itu ambillah salah seorang di antara kami sebagai gantinya,
sesungguhnya kami melihat kamu termasuk orang-orang yang berbuat baik".
Yusuf berkata: "Aku mohon perlindungan kepada Allah daripada menahan
seorang, kecuali orang yang kami ketemukan harta benda kami padanya, jika kami
berbuat demikian, Maka benar-benarlah kami orang-orang yang zalim". (QS. Yusuf: 78-79)
Al-Hajjaj langsung merespons
firman Allah itu dan berkata kepada bawahannya:
"Wahai ghulam, masukkan
kembali namanya ke dalam daftar, bangun kembali tempat tinggalnya dan beri dia
apa yang berhak diterimanya. Panggil juru penyeru untuk menyerukan bahwa Allah-lah
yang benar dan penyair itu salah."
[ Al-Bidayah wa
An-Nihayah 9/130]
*
* * * *
Akan tetapi respons yang
menjurus pada kebinasaan jiwa adalah tertolak. Sekalipun dalam catatan sejarah
kita ada orang-orang yang begitu sensitif dan merespons ayat-ayat al-Quran
sehingga menjadi penutup kehidupan mereka. Yang demikian itu menyelisihi sunah
Nabi r.
Zurarah Ibn Aufa Ibn Hajib
al-Âmiri adalah hakim di Bashroh. Dia termasuk ulama besar Bashrah. Kisah
mengenai riwayat dirinya banyak sekali. Suatu saat ketika mengimami shalat
subuh dia membaca surat al-Mudatsir. Ketika sampai kepada ayat:
"Apabila ditiup
sangkakala.." (QS.al-Mudatsir:
8)
Seketika itu pula ia menemui
ajalnya.
[Kitab: Al-'Ibar Fi
khabarin man ghabar (Pelajaran mengenai berita bagi yang tidak tahu)]
*
* * * *
Ya'kub al-Kûfi seorang yang zuhud
(sederhana) lagi ahli ibadah juga meninggal ketika mendengarkan ayat al-Quran.
Ali Ibn al-Muwaffaq berkata
bahwa Manshur Ibn Ammar berkata:
"Pada suatu malam aku
keluar (ke masjid) yang aku kira waktu subuh sudah masuk, tapi ternyata masih
malam. Akupun bergegas duduk di pintu kecil masjid. Ternyata ada seorang pemuda
yang tengah menangis sambil berujar:
"Demi kemuliaan dan
keagungan-Mu, bukan maksud memaksiati-Mu ingin menyelisihi-Mu, akan tetapi
jiwaku memaksaku, kesusahanku mengalahkanku dan tabir dosaku yang Kau tutupi
telah menipuku. Sekarang siapa yang akan menyelamatkanku dari azab-Mu. Tali
siapa yang dapat menghubungkanku kepada-Mu jika Engkau telah memutus tali
penghubung itu dariku. Oh, sesal atas apa yang telah berlalu dari hari-hari
memaksiati Tuhan-ku. Celaka aku, sudah berapa kali aku bertobat dan berapa kali
pula aku mengulanginya. Kini telah tiba saatnya bagiku untuk malu kepada
Tuhan-ku Y."
Mendengar ujaran
pemuda itu spontan Manshur berkata:
"Aku berlindung kepada
Allah dari godaan syaitan yang terkutuk. Dengan menyebut nama Allah yang
Mahapengasih lagi Mahapenyayang.
"Hai orang-orang yang
beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan
tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS.at-Tahrim: 6)
Selesai itu aku mendengar
pekikan dan kepanikan yang sangat. Tapi kemudian aku meniggalkan tempat itu
untuk satu keperluan. Ketika kembali dan melintasi pintu itu aku lihat sesosok
jenazah tergolek di sana. Ketika aku tanyakan jenazah siapakah itu, ternyata
pemuda tadi telah wafat setelah mendengar ayat yang aku bacakan."
[kitab Al-Bidâyah wa
an-Nihâyah 10/185]
*
* * * *
Nabi r sendiri ketika mendengar
ayat-ayat Allah dibacakan kepadanya, beliau tersentuh dan respek sehingga
keluarlah air matanya dan menangis, tetapi tidak lebih dari itu, selain juga
semakin bertambah takut, khawatir, harap dan tunduknya kepada Tuhan-nya Y. Adapun peristiwa-peristiwa
ganjil yang terjadi dalam catatan sejarah umat ini, di mana mereka meninggal
setelah mendengar ayat-ayat al-Quran adalah menyelisihi manhajul islam
(metodologi islam).
*
* * * *
Sa'id Ibn Abi Waqqôs sang
penakluk negeri-negeri, yang di antaranya adalah kekaisaran Faris[8]. Ketika
mereka berhasil merebut istana, dia menjadikan majelis istana sebagai mushola
(tempat shalat). Ketika memasukinya ia membaca firman Allah:
"Alangkah banyaknya taman
dan mata air yang mereka tinggalkan. Dan kebun-kebun serta tempat-tempat yang
indah-indah. Dan kesenangan-kesenangan yang mereka menikmatinya. Demikianlah.
dan Kami wariskan semua itu kepada kaum yang lain. Maka langit dan bumi tidak
menangisi mereka dan merekapun tidak diberi tangguh."
(QS. Ad-Dukhôn: 25-29)
Aku katakan kepada hakim-hakim
kaum muslimin; kapan kita memasuk Paris, Wina, Wasingthon dan London seraya
mengatakan:
"Alangkah
banyaknya taman dan mata air yang mereka tinggalkan. Dan kebun-kebun serta
tempat-tempat yang indah-indah. Dan kesenangan-kesenangan yang mereka
menikmatinya. Demikianlah. dan Kami wariskan semua itu kepada kaum yang lain.
Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan merekapun tidak diberi
tangguh."
(QS. Ad-Dukhôn: 25-29)
Mereka adalah generasi yang
menaklukkan dunia dengan segala isinya. Dahulu al-Quran dan sunah mengalir
dalam darah mereka, yang bercampur dengan daging dan lemak. Adapun sekarang,
engkau tidak mendapati seorang hakim atau terpidana pun –selain yang dirahmati
Allah- paham terhadap kitab Allah (al-Quran) atau respek dengan suber hukum itu
dalam praktek kehidupan mereka. Innalillah wa inna ilaihi rojiun.
Aku meminta kepada Allah yang
Mahaagung, Tuhan Arsy yang agung agar mengutus kepada kita manusia-manusia
teladan seperti mereka, yang akan mengembalikan kemuliaan yang telah kita
abaikan, dan memudahkan tegaknya daulah islamiah di muka bumi.
Wallahu A'lam.
[3] Al-Walid putra dari
Abdul Malik Ibn Marwan, salah satu khalifah Umawiah pada tahun 73H-86H.
[5] Kunyah atau panggilan
dari al-Hasan, ulama besar di masa itu dari generasi Atba At-Tabi’in.
[6] Maksudnya bahwa sebagai seorang ulama al-Hasan
tidak banyak bicara saat kunjungan mereka, tetapi hanya membacakan beberapa
ayat al-Quran saja.
0 komentar:
Posting Komentar