Hukum Nikah Dengan Niat Talak
Terjemah :Muhammad Iqbal A.Gazali
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah
Lajnah Daimah Untuk Riset Ilmu
Dan Fatwa
Pertanyaan 1: Ada seseorang yang ingin pergi ke luar negeri, karena
ia mendapat tugas belajar. Ia ingin menjaga kemaluannya dengan menikah di sana
untuk masa waktu tertentu. Kemudian setelah itu ia menceraikan istri ini tanpa
mengabarkannya bahwa ia akan menceraikannya. Apakah hukumnya perbuatan ini?
Jawaban 1: Nikah dengan niat
talak ini tidak terlepas dari dua perkara: Bisa jadi ia mensyaratkan di dalam
akad nikah bahwa ia akan menikahinya selama satu bulan, atau setahun, atau
hingga selesai belajarnya. Maka ini adalah nikah mut'ah dan hukumnya haram.
Dan bisa jadi ia berniat melakukan hal
itu tanpa mensyaratkannya. Maka pendapat yang masyhur dari mazhab Hanbali bahwa
hukumnya adalah haram dan akad nikahnya rusak (tidak sah), karena mereka
berkata: sesungguhnya yang diniatkan sama seperti yang disyaratkan, berdasarkan
hadits:
قال
رسول الله e : (إِنَّمَا
اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى.)
Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, 'Sesungguhnya
semua amal itu disertai niat dan sesungguhnya bagi setiap orang adalah apa yang
dia niatkan."[1]
Dan karena
jika seseorang menikahi wanita yang telah ditalak tiga oleh suaminya agar
mantan suaminya bisa menikahinya lagi, maka sesungguhnya nikah itu rusak (tidak
sah), sekalipun hal itu tidak disyaratkan, karena yang diniatkan sama seperti
yang disyaratkan. Apabila niat tahlil (untuk menghalalkan mantan
suaminya) merusak akad nikah,
maka demikian pula niat mut'ah merusak akad. Ini adalah pendapat para ulama
Hanabilah.
Dan pendapat kedua bagi para ulama
dalam masalah ini: sesungguhnya ia sah menikahi dan dalam niatnya ingin
menceraikannya, apabila ia akan meninggalkan negeri –seperti para perantau yang
pergi untuk belajar dan semisalnya- mereka berkata: karena hal ini tidak
disyaratkan, dan perbedaan di antaranya dengan nikah
mut'ah adalah sesungguhnya dalam nikah mut'ah, apabila telah sampai batas
waktunya, berpisahlah keduanya, apakah suami menghendaki atau tidak. Berbeda
dengan pernikahan ini, maka ia bisa menyukai istri dan tetap bersamanya. Dan
ini adalah salah satu pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Menurut pendapat saya sesungguhnya ini
tidak seperti nikah mut'ah, karena definisi nikah mut'ah tidak cocok terhadap
pernikahan ini, akan tetapi hukumnya adalah haram dari sisi menipu istri dan
keluarganya. Dan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam mengharamkan penipuan.
Sesungguhnya jika istri mengetahui bahwa laki-laki ini tidak ingin menikahinya
kecuali untuk waktu tertentu niscaya ia tidak mau menikah dengannya, demikian
pula keluarganya.
Sebagaimana ia tidak rela seseorang
menikahi putrinya yang berniat akan menceraikannya apabila kebutuhannya telah
selesai. Maka orang tua mana yang rela anak
nya di perlakukan seperti
itu? Ini
menyalahi iman, berdasarkan hadits yang berbunyi:
قال
رسول الله e : (لاَيُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ.)
Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Tidak
beriman (yang sempurna) seseorang kamu sehingga ia mencintai untuk saudaranya
apa yang disukainya untuk dirinya."[2]
Dan
karena saya mendengar bahwa sebagian orang menjadikan pendapat ini sebagai
hukum pada perkara yang tidak ada seorangpun yang membolehkan, yaitu mereka
pergi ke suatu negeri hanya untuk menikah saja, mereka pergi ke negeri ini
untuk menikah kemudian menetap bersama istrinya ini selama beberapa waktu tetapi dia berniat
bahwa perkawinannya hanya untuk sementara waktu kemudian ia pulang. Maka ini
merupakan larangan besar dalam masalah ini. Maka meninggalkan hal tersebut diatas adalah utama karena mengandung penipuan dan karena merugikan pihak perempuan, dan karena manusia adalah bodoh serta mayoritas manusia tidak
tertahan untuk melanggar larangan Allah subhanahu wa ta’ala.
Syaikh
Ibnu al-Utsaimin – Fatawa Mar`ah hal. 115-116.
Pertanyaan 2: Sebagian kaum
muslimin ada yang pergi untuk belajar dan yang lainnya ke luar negeri, bolehkah
ia menikah dengan niat talak? Apakah perbedaan antara nikah tersebut diatas dan nikah mut'ah? Saya mengharapkan penjelasan tentang
hal ini, semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberi taufik kepadamu.
Jawaban 2: Menikah di luar negeri mempunyai bahaya yang besar,
oleh karena itu, tidak boleh safar ke luar negeri kecuali dengan beberapa
syarat penting, dan karena safar ke luar negeri bisa membawa kufur kepada Allah
subhanahu wa ta’ala, maksiat kepada -Nya seperti meminum arak, berzinah
dan berbagai perbuatan keji lainnya. Karena alasan ini, para ulama berfatwa
haram safar ke negeri kufur, karena mengamalkan hadits:
قال
رسول الله e : (أَنَا بَرِيءٌ مِنْ
كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيْمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِيْنَ)
"Aku
berlepas diri dari setiap muslim yang menetap di tengah-tengah orang kafir."
[3]
maka menetap di antara mereka sangat berbahaya, sama saja untuk rekreasi, atau
belajar, atau berdagang, atau keperluan lainnya. Para pelajar dari tingkat SMA
dan SMP, atau belajar di universitas di luar negeri berada dalam bahaya besar.
Negara harus menyediakan sarana pendidikan di dalam negeri dan tidak
mengijinkan mereka safar ke luar negeri, karena mengandung bahaya besar.
Dari perbuatan itu muncul bahaya yang
sangat banyak seperti murtad dan menganggap remeh perbuatan maksiat, seperti
zinah, minum arak dan yang lebih berat dari itu adalah meninggalkan shalat.
Sebagaimana sudah jelas bagi orang yang memperhatikan orang yang safar ke luar
negeri kecuali yang dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala dan mereka
sangat sedikit. Wajib menghalangi mereka dari hal itu dan tidak boleh safar
kecuali orang-orang yang dikenal kuat agama, iman, dan ilmunya, dan keutamaannya
apabila untuk dakwah kepada Allah subhanahu wa ta’ala atau untuk
keperluan khusus yang dibutuhkan negara Islam.
Kepada orang yang safar dan dikenal
punya ilmu dan iman, harus tetap istiqamah sehingga ia berdakwah kepada Allah subhanahu
wa ta’ala berdasarkan ilmu yang ia dalami dan dikirim karenanya. Dan apabila ada ilmu-ilmu yang sangat dibutuhkan dan tidak ada yang mengajarkannya dan tidak
bisa mendatangkan orang yang bisa mengajarkannya, maka hendaknya yang diutus
adalah orang yang dikenal taat beragama, iman yang kuat, berilmu dan mempunyai
keutamaan-keutamaan seperti yang telah kami sebutkan.
Adapun menikah dengan niat talak, maka
ada perbedaan pendapat di antara para ulama: di antara mereka ada yang membenci
hal itu seperti Auza'i dan jama'ah, dan mereka berkata: sesungguhnya ia
menyerupai mut'ah, maka ia tidak boleh menikah dengan niat talak menurut
pendapat mereka. Dan mayoritas ulama berpendapat –seperti yang dikatakan
al-Muwaffaq Ibnu Quddamah dalam al-Mughni[4]:
kepada bolehnya hal itu apabila niatnya adalah di antara dia dan Rabb-nya saja
dan bukan syarat. Seperti ia safar untuk belajar, atau pekerjaan yang lain dan
merasa khawatir terhadap dirinya, maka ia boleh menikah sekalipun ia berniat
menceraikannya apabila tugasnya sudah selesai. Ini adalah pendapat yang kuat
–apabila hal itu di antara dia dan Rabb-nya saja, tanpa syarat, tanpa
memberitahukan istri dan tidak pula walinya. Mayoritas ulama berkata: tidak
mengapa dengan hal itu –seperti telah dijelaskan- dan bukan termasuk nikah
mut'ah, karena hanya di antara dia dan Allah subhanahu wa ta’ala dan
tidak ada persyaratan dalam hal itu.
Adapun nikah mut'ah: ia mengandung
syarat selama satu bulan, atau dua bulan, atau setahun, atau dua tahun di
antara dia dan keluarga istri, atau di antara dia dan istri. Nikah ini
dinamakan nikah mut'ah, dan hukum haram secara ijma' dan tidak ada yang
membolehkan kecuali rafhidhah. Hukumnya boleh di permulaan Islam kemudian
dinasakh dan diharamkan oleh Allah subhanahu
wa ta’ala hingga hari kiamat. Sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits
Nabi e.
Adapun ia menikah di negari yang dia
safar untuk belajar, atau sebagai duta besar, atau karena sebab yang lain yang
ia boleh safar ke negeri kafir –maka ia boleh menikah dengan niat talak apabila
ia ingin kembali seperti yang telah dijelaskan apabila ia ingin menikah karena
khawatir
terhadap dirinya. Akan tetapi meninggalkan niat ini lebih utama karena
berhati-hati terhadap agama dan keluar dari perbedaan pendapat para ulama. Dan
karena ia tidak membutuhkan niat ini, dan karena pernikahan tidak dilarang
bercerai apabila ia melihat kebaikan dalam hal itu, sekalipun ia tidak berniat
saat menikah.
Syaikh
Bin Baz –Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah 5/41-43.
Pertanyaan 3: Banyak terjadi di
kalangan anak muda trend safar ke luar negeri untuk menikah dengan niat talak.
Dan nikah adalah tujuan dalam safar karena berpegang terhadap fatwa dalam
masalah ini. Kebanyakan orang memahami fatwa tersebut secara keliru,
bagaimanakah hukumnya?
Jawaban 3: Nikah dengan niat
talak adalah menikah dalam batas waktu tertentu, dan menikah yang ditentukan
masanya adalah pernikahan yang batil, karena ia adalah nikah mut'ah dan mut'ah
diharamkan secara ijma'. Menikah yang benar adalah: bahwa ia menikah dengan
niat tetap berada dalam ikatan perkawinan. Jika istrinya cocok baginya dan
sesuai niscaya ia tetap bersamanya dan jika tidak ia menceraikannya. Firman Allah subhanahu
wa ta’ala:
Talak (yang dapat dirujuk) dua
kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan
dengan cara yang baik. (Qsal-Baqarah:229)
Wabillahittaufiq, semoga shalawat dan salam
selalu tercurah kepada nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
Fatawa Lajnah Daimah Untuk Riset Ilmiah Dan
Fatwa 18/448-449.
0 komentar:
Posting Komentar