PRINSIP TAUHID
Pada edisi sebelumnya telah
kita paparkan pengertian daripada ushul dakwah, ahlussunnah, salafiyah, dan
ahli hadits. Kini kita memasuki pada inti masalah yaitu memaparkan
prinsip-prinsip dakwah ahlussunnah.
Prinsip pertama yang
dijadikan pondasi oleh ahlussunnah dalam membangun manhaj dakwah mereka kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah tauhid atau dengan istilah lain mengikhlashkan
keseluruhan agama ini hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam masalah ini, kami
merujuk kepada kitab Al-Ushul Allati Bana Alaiha Ahlul Hadits Manhajahum Fid
Da’wah Ilallah tulisan ‘Amr Abdul Mun’im Salim, juga kitabnya yang berjudul
al-Manhajus Salafi li Syaikh Nashiruddin al-Albani, kitab Manhajud
Da’wah Ilallah tulisan DR. Abdurrahim ibn Muhammad al-Maghdzawi, dan kitab Sittu
Dhurar Min Ushul Ahlil Atsar tulisan Syaikh Abdul Malik Ramadhani
al-Jazairi.
Tidak diragukan lagi bahwa
tauhid adalah pondasi dakwah para Rasul, pembuka, dan intinya. Tidak ada
seorang Nabi dan Rasul melainkan mengajak umatnya untuk menyembah kepada Allah
dan mentauhidkannya serta mencampakkan sekutu-sekutu daripada-Nya. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan kami tidak
mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan kami wahyukan kepadanya:
“bahwasannya tidak ada sesembahan (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah
olehmu sekalian akan aku.”(QS al-Anbiya’: 25)
Allah Subhanahu wa Ta’ala
juga berfirman:
“Dan sesungguhnya
Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan: “sembahlah
Allah (saja), dan jauhilah thaghut.”(QS
an-Nahl: 36)
Para ulama telah sepakat
bahwa tauhid adalah kewajiban pertama bagi setiap orang mukallaf. Imam Abu
Hanifah misalnya mengatakan: “Pendalaman dibidang ad-din adalah lebih utama
daripada pendalaman di bidang al-‘ilm.” Yang dimaksud dengan ad-din disini adalah
tauhid sedang yang dimaksud dengan al-‘ilm adalah as-syari’ah. Maka beliau
menjadikan fiqhut tauhid lebih didepankan daripada fiqhu as-Syari’ah.
Syaikhul Islam
al-Harawi al-Anshari (396-481 H) diawal kitabnya I’tiqad Ahlus Sunnah
menyatakan: “Sesungguhnya kewajiban pertama kali atas hamba adalah ma’rifatullah
(mengenal Allah ‘Azza wa Jalla) berdasarkan hadits Mu’adz Radhiallahu ‘Anhu,
ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepadanya:
إِنَّكَ تَقْدُمُ عَلىَ قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ فَلْيَكُنْ أَوَّلُ مَا تَدْعُوْهُمْ
إِلَيْهِ عِبَادَةَ اللهِ فَإِذَا هُمْ عَرَفُوا اللهَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ
فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِيْ يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ …
“Sesungguhnya engkau akan
mendatangi satu kaum ahli kitab, maka hendaklah pertama kali yang kamu
dakwahkan kepada mereka adalah beribadah kepada Allah semata. Maka apabila
mereka telah mengenal Allah beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan
atas mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam…”[1]
Pengertian Tauhid
Yang dimaksud dengan tauhid
oleh ulama ahlussunnah adalah memurnikan seluruh penghambaan (ibadah) hanya
untuk dan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apakah dalam bentuk ibadah hati
atau ibadah anggota badan. Maka tidak boleh mengalahkan satu macam ibadah kepada
selain Allah ‘Azza wa Jalla karena hal itu berarti menyekutukan Allah Subhanahu
wa Ta’ala dengan sesuatu yang lain.
Tauhid dalam pengertian
ahlussunnah mencakup tiga bagian; tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan
tauhid asma wa sifat.
Ketiga unsur tauhid ini
tersebar dalam ayat-ayat al-Quran. Bahkan, telah disebutkan didalam surat
al-Fatihah, surat teragung yang menjadi pembuka bagi kitab suci al-Quran dan
yang diulang-ulang bacaannya oleh orang mukmin dalam setiap shalatnya.
Tauhid rububiyah telah dikenalkan melalui firman Allah Subhanahu wa Ta’ala [رَبِّ الْعَالَمِيْنَ], karena kata [الرَّبُّ] berarti Pencipta, Pemilik dan Pengatur makhluk-Nya dengan segala
perintah-Nya. Begitu pula dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala [وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ] karena diantara konsekuensi rububiyah adalah isti’anah
(meminta pertolongan) itu hanya kepada al-Rabb.
Adapun tauhid uluhiyah, maka
dikenalkan lewat firman-Nya [الْحَمْدُ ِللهِ]. Kata [الله] memiliki makna [ذُو اْلأُلُوْهِيَّة , الْمَأْلُوْه] yang artinya Maha disembah atau berhak disembah. Sebagaimana pula
uluhiyah ini ditunjukkan dalam firman-Nya [إِيَّاكَ نَعْبُدُ]. Jadi, Allah adalah satu-satunya [الْمَعْبُوْد] yang berhak disembah yang
wajib diarahkan kepada-Nya seluruh macam ibadah dan tidak boleh diarahkan
kepada selain-Nya. Oleh karena itu, ayat itu berbunyi [إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ] “hanya kepada-Mu kami
menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan.”
Ayat ini berisi dua ajaran
pokok yang agung yang merupakan pilar agama dan maksud al-Quran yang terpenting
yaitu mentauhidkan Allah dalam ibadah dan mentauhidkan Allah dalam isti’anah,
do’a, dan tawakkal yang menjadi konsekuensi daripada rububiyah. Adapun tauhid
asma wa sifat maka surat al-Fatihah telah menyebutkan tiga nama yang menjadi
muara dari segala asmaul husna dan sifatul ula, yaitu [الله], [الرَّبّ] dan [الرَّحْمَن].
Sedangkan diantara ayat-ayat
al-Quran yang mengandung ketiga bagian dan macam tauhid yang tiga ini adalah
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
رَّبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ
لِعِبَادَتِهِ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً
“Tuhan (yang
mengusai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada diantara keduanya, maka
sembahlah dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui
ada seseorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (QS. Maryam: 65)
Tauhid Rububiyah
Yang dimaksud dengan istilah
tauhid rububiyah adalah membenarkan secara sempurna, meyakini secara
pasti tanpa ada keraguan dan sangkaan sedikitpun bahwa Allah Subhanahu wa
Ta’ala, adalah satu-satunya yang mencipta, memberi rizqi, mengatur, memiliki,
menghidupkan, dan mematikan, mengetahui yang ghaib, dan yang menentukan segala
sesuatu yang besar maupun yang kecil, yang baik dan yang buruk. Dan juga meyakini
bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu-satunya murabbi (Pembimbing)
bagi seluruh makhluk-Nya dengan nikmat-nikmat-Nya yang nyata dan yang
tersembunyi. Diantara nikmat tersebut adalah pengutusan Rasul dan Nabi untuk
memberi petunjuk manusia kepada tauhid dan kepada agama Allah yang lurus hingga
tidak ada lagi alasan bagi manusia atas Allah setelah terutusnya para Rasul.
Juga meyakini bahwasannya setiap yang terjadi dialam semesta ini
sesungguhnyalah dia terjadi berdasarkan perintah Allah dan kehendak-Nya
Subhanahu wa Ta’ala tidak ada yang dapat mengelak dari hukumnya dan tidak
ada yang menolak dari putusan-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya didalam
kerajaan-Nya dan kekuasaan-Nya terhadap makhluk-Nya. Tauhid ini biasa
disebutkan dengan istilah mentauhidkan Allah dengan segala
perbuatan-perbuatan-Nya.
Diantara ayat-ayat al-Quran
yang menunjukkan tentang unsur tauhid rububiyah adalah firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
“Katakanlah:
“siapakah yang memberi rizqi kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang
kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan
yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan
siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah.” Maka
katakanlah: “Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?” Maka (Dzat yang demikian)
itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu,
melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan dalam dari kebenaran
ini?” (QS. Yunus: 31-32)
Tauhid Uluhiyah
Yang dimaksud dengan tauhid
uluhiyah adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menyembah-Nya,
mengagungkan-Nya, mentaati-Nya, beristiqamah diatas perintah-Nya, dan perintah
nabi-Nya, tidak menyekutukan sesuatu yang lain bersama-Nya dalam ibadah, tidak
menjadikan sekutu dan perantara bersama-Nya atau kepada-Nya, dan tidak meminta
syafaat atau bertawassul kepada-Nya kecuali dengan apa yang Dia izinkan dari
hal-hal yang syariatnya ada dalam al-Quran dan sunnah Rasul-Nya. Tauhid ini
biasa disebut dengan ‘mentauhidkan Allah dengan segala perbuatan hamba-Nya,
dengan mengkhususkan seluruh perbuatan hamba dalam beribadah hanya kepada-Nya
semata tanpa menyekutukan sedikitpun.
Hal ini tidak akan terwujud
kecuali dengan merealisasikan syarat ikhlash dalam keseluruhan ketaatan dan
ibadah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Katakanlah
sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang
diperintahkan kepada-Ku….” (QS. Al-An’am: 162-163)
Tauhid Asma Wa Sifat
Maksud dari tauhid asma wa
sifat adalah mengimani secara yakin dan membenarkan secara mutlaq bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala memiliki nama-nama yang baik yang Dia gunakan untuk menamai
diri-Nya. Maka semua nama-Nya yang hadir dalam kitab suci al-Quran atau dalam
sunnah Nabi yang mulia wajib diimani bahwa ia adalah bagian dari nama-nama
Allah ‘Azza wa Jalla. Dan wajib pula mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala
senang dipanggil dan diseru dengan nama-nama yang mulia ini, dan senang kepada
orang-orang yang mendekat kepada-Nya melalui nama-nama ini.
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
“Hanya milik Allah
asmaul husna maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu. Dan
tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam nama-nama-Nya.
Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-Q’raf: 180)
Buraidah Ibnul Hushaid
Radhiallahu ‘Anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
pernah mendengar seseorang berdo’a:
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِأَنِّيْ أَشْهَدُ أَنَّكَ أَنْتَ اللهُ
الَّذِيْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ الأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِيْ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ
يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ .
“Ya Allah, sesungguhnya aku
meminta kepada-Mu, bahwasannya aku bersaksi bahwa engkau sesungguhnya adalah
Allah yang tidak ada ilah (sesembahan) kecuali diri-Mu yang Maha Tunggal
lagi Maha Sempurna yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan serta tidak ada
sesuatupun yang setara dengan-Nya.”
Maka Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَقَدْ سَأَلْتَ اللهَ بِالاسْمِ الَّذِيْ إِذَا سُئِلَ بِهِ أَعْطىَ وَإِذَا
دُعِيَ بِهِ أَجَابَ
“Sungguh engkau telah
meminta kepada Allah, dengan menyebut nama-Nya yang apabila Dia diminta
dengannya pasti memberi, dan bila diseru dengannya pasti menjawab.”[2]
Semisal hadits diatas adalah
hadits Ali Ibn Abi Thalib, dia mengatakan: “Saya diajari oleh Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam apabila ada kesusahan yang menimpaku, hendaknya
aku mengatakan [لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ الْحَلِيْمُ الْكَرِيْمُ سُبْحَانَ اللهِ وَتَبَارَكَ اللهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ] ‘Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah yang Maha Santun
lagi Maha Mulia. Maha Suci Allah, dan Maha Suci Allah Pemilik ‘Arsy yang agung,
dan segala puji bagi Allah pemilik alam semesta.”[3]
Disamping hadits-hadits ini
masih banyak hadits-hadits shahih yang menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bertawassul mendekatkan diri kepada Allah dengan menyebut
nama-nama Allah yang mulia dan sifat-sifat-Nya yang luhur dalam do’a-do’anya.
Semua ini memberi bukti yang nyata tentang keutamaan beribadah kepada Allah
dengan menyebut asmaul husna. Ini artinya tidak boleh menyebut Allah atau
menyeru Allah dengan nama-nama yang dibikin oleh orang-orang yang mengikuti
hawa nafsu yang suka merancukan agama dan mengaburkan ajaran Islam seperti
ucapan mereka [يَاهُوَ!],
[يَاقَدِيْم!] atau nama-nama lain yang
direkayasa dalam bahasa ‘ajam seperti bahasa suryaniyah, urdu, jawa yang
tidak datang keterangannya dalam syariat Islam.
Sedangkan yang dimaksud
dengan tauhid sifat adalah mengimani dan menetapkan sifat-sifat mulia
dan agung yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya dan yang telah ditetapkan
untuk-Nya oleh Nabi-Nya, tanpa memalingkan maknanya, tanpa menggantinya, tanpa
mengingkarinya, tanpa menyerupakannya dan tanpa mempersoalkannya. Ahlussunnah
mengimani maknanya dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mereka mensucikan Allah secara mutlak bahwa Allah Maha Suci tidak ada sesuatu
apapun di langit dan di bumi yang menyerupai-Nya. Dia Maha Suci dari
penyerupaan dan Maha Suci dari kekurangan. Jadi, ahlussunnah benar-benar
mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya dalam
menyikapi dan memahami ayat dan hadits sifat jauh dari penyimpangan Jahmiyah,
Asya’irah, Mufawwidah dan ahli bid’ah lainnya.
Maka kewajiban setiap da’i
adalah memperhatikan pengarahan Nabi yang mulia ini kemudian berteladan
dengannya dan berpegang teguh dengan segala upaya untuk mempraktekkannya
didalam dakwahnya demi mengikuti pemimpin para da’i Nabi kita Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
(Majalah Qiblati Ed. 7 Th. I)
[1] Disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
dalam Majmu’ Fatawa. Lihat Abdul Aziz al-Qori dalam kitabnya al-‘Aqidatu
Awwalan Lau Kaanu Ya’lamun, hal 10.
[2] HR. Ahmad (5/349, 360), Abu Dawud (1493,
1494), Turmudzi (3475), Nasa’i dalam al-Kubra, Ibnu Majah (3857) dari
jalur Malik ibn Moghol dari Abdullah Ibn Buraidah dari bapaknya. Sanadnya
shahih.
[3] HR. Ahmad (1/91,94), An-Nasa’i dalam al-Yaum
wal Lailah (636,637), Ibnu Hibban (Mawarid: 2371), sanadnya shahih.
0 komentar:
Posting Komentar