KUNCI MERAIH AMPUNAN
Kategori:
Tazkiyatun
Nufus
Ampunan
Allah, sesuatu yang amat diharapkan. Tak seorangpun melainkan mengharapkannya.
Entah dia seorang ahli ilmu, ahli ibadah, apalagi ahli maksiat.
Terlebih
lagi bagi orang-orang yang berusaha untuk menempuh jalan kembali kepada Allah
dengan taubat. Banyak rintangan dan hambatan yang harus ditemui. Sehingga hal
itu menyebabkan seorang hamba harus waspada, karena tatkala dia telah merasa
taubatnya diterima, kemudian -pada akhirnya- perasaan itu justru menyeret
dirinya terjerumus ke dalam lembah dosa yang lainnya, wal ‘iyadzu
billah!
Ketahuilah
saudaraku, bahwa tauhid yang bersih merupakan kunci untuk meraih ampunan.
Namun, hal ini tidaklah sesederhana dan semudah yang dibayangkan oleh
kebanyakan orang.
Meninggal
di atas tauhid yang bersih merupakan syarat mendapatkan ampunan dosa. Dalam hal
ini terdapat perincian sebagai berikut:
- Orang yang meninggal dalam keadaan melakukan syirik besar atau tidak bertaubat darinya maka dia pasti masuk neraka.
- Orang yang meninggal dalam keadaan bersih dari syirik besar namun masih terkotori dengan syirik kecil sementara kebaikan-kebaikannya ternyata lebih berat daripada timbangan keburukannya maka dia pasti masuk surga.
- Orang yang meninggal dalam keadaan bersih dari syirik besar namun masih memiliki syirik kecil sedangkan keburukan/dosanya justru lebih berat dalam timbangan maka orang itu berhak masuk neraka namun tidak kekal di sana (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 44)
Dari
Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: Allahta’ala berfirman, “Wahai
anak Adam! Seandainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa hampir sepenuh
isi bumi lalu kamu menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan
sesuatu apapun, niscaya Aku pun akan mendatangimu dengan ampunan sebesar itu
pula.” (HR. Tirmidzi, dan dia menghasankannya)
Hadits
yang agung ini menunjukkan bahwa tauhid merupakan syarat untuk bisa meraih
ampunan Allah ta’ala. Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata
mengomentari hal ini, “Ini adalahsyarat yang berat untuk
bisa mendapatkan janji itu yaitu curahan ampunan. Syaratnya adalahharus
bersih dari kesyirikan, banyak maupun sedikit. Sementara tidak ada yang
bisa selamat/bersih darinya kecuali orang yang diselamatkan oleh Allah ta’ala.
Itulah hati yang selamat sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala (yang
artinya), “Pada hari ketika tidak lagi bermanfaat harta dan keturunan kecuali
bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara:
88-89).” (Fath al-Majid bi Syarh Kitab at-Tauhid, hal.
53-54)
Namun
-sebagaimana sudah disinggung di atas- keutamaan ini hanya akan bisa diperoleh
bagi orang yang bersih tauhidnya. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “…Seandainya
ada seorang yang bertauhid dan sama sekali tidak mempersekutukan Allah dengan
sesuatupun berjumpa dengan Allah dengan membawa dosa hampir seisi bumi, maka
Allah pun akan menemuinya dengan ampunan sepenuh itu pula. Namun hal
itu tidak akan bisa diperoleh bagi orang yang cacat tauhidnya. Karena
sesungguhnya tauhid yang murni yaitu yang tidak tercemari oleh kesyirikan
apapun maka ia tidak akan menyisakan lagi dosa. Karena ketauhidan semacam itu
telah memadukan antara kecintaan kepada Allah, pemuliaan dan pengagungan
kepada-Nya serta rasa takut dan harap kepada-Nya semata, yang hal itu
menyebabkan tercucinya dosa-dosa, meskipun dosanya hampir memenuhi isi
bumi. Najis yang datang sekedar menodai, sedangkan faktor yang menolaknya
sangat kuat.” (Dinukil dari Fath al-Majid bi Syarh Kitab
at-Tauhid, hal. 54-55)
Hadits
di atas juga mengandung keterangan bahwa kandungan makna la ilaha
illallah yang bisa lebih berat timbangannya daripada semua makhluk dan
semua dosa. Kandungan maknanya yaitu wajib meninggalkan syirik dalam
jumlah banyak maupun sedikit. Hal itu pasti membuahkan ketauhidan yang
sempurna. Tidak mungkin bisa bersih dari syirik kecuali bagi orang yang
benar-benar merealisasikan tauhidnya serta mewujudkan konsekuensi dari
kalimat ikhlas (syahadat) yang berupa ilmu, keyakinan, kejujuran, keikhlasan, rasa
cinta, menerima, tunduk patuh dan lain sebagainya yang menjadi konsekuensi
kalimat yang agung itu (lihat Qurrat al-’Uyun al-Muwahhidin, hal.
22).
Syaikh
Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata, “Barangsiapa
yang mengucapkannya -la ilaha illallah- dengan penuh keikhlasan dan kejujuran
maka dia tidak akan terus-menerus berkubang dalam
kemaksiatan-kemaksiatan. Karena keimanan dan keikhlasannya yang sempurna
menghalangi dirinya dari terus-menerus berkubang dalam maksiat. Oleh sebab itu
dia akan bisa masuk surga sejak awal bersama dengan rombongan orang-orang yang
langsung masuk surga.” (Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 21)
Hadits
di atas juga menunjukkan bahwa tauhid tidak cukup di lisan. Namun
tauhid juga menuntut seorang hamba untuk menunaikan kewajiban serta
meninggalkan kemaksiatan. Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah menerangkan
bahwa barangsiapa yang mempersaksikannya -kalimat tauhid- namun dia
mencemarinya dengan perbuatan dosa dan kemaksiatan, atau dia sekedar
mengucapkannya dengan lisan sementara hati atau amalannya berbuat syirik
seperti halnya orang-orang munafik maka orang semacam ini ucapan syahadatnya
tidak bermanfaat. Akan tetapi yang semestinya dia lakukan adalah mengucapkannya
kemudian meyakininya dengan kuat, melaksanakan perintah-perintah dan
meninggalkan larangan-larangan serta mengikuti tuntunan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam (lihat Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 20).
Syaikh
Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah juga berkata, “Barangsiapa
yang meninggalkan kewajiban atau melakukan perkara yang dilarang maka itu
berarti dia telah berani menawarkan dirinya untuk menerima hukuman Allah ta’ala
meskipun dia mengucapkan kalimat ini dan meyakininya. Apabila dia melakukan
sesuatu yang membatalkan keislamannya maka berubahlah dia menjadi orang yang
murtad dan kafir. Syahadat ini tidak lagi bermanfaat untuknya. Oleh sebab itu
kalimat ini harus diwujudkan dalam kenyataan dan mengamalkan
konsekuensi-konsekuensinya, kalau tidak demikian maka dia berada dalam bahaya
besar seandainya dia tidak kunjung bertaubat.” (Syarh Kitab
at-Tauhid, hal. 26).
Hadits
di atas juga mengandung motivasi (targhib) dan peringatan (tarhib).
Ini merupakan motivasi agar orang mau berjuang keras membersihkan
tauhidnya dari kotoran syirik dan kemaksiatan, karena Allah menjanjikan
ampunan yang demikian besar bagi orang yang murni tauhidnya. Dan ini sekaligus
menjadi peringatan bagi orang-orang yang selama ini tenggelam dalam dosa dan
kemaksiatan agar waspada dan takut kalau-kalau ternyata di akhir hidupnya
mereka tidak tergolong orang yang bersih tauhidnya.
Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Seandainya Allah mau menyiksa manusia -di dunia-
sebagai hukuman atas dosa yang mereka perbuat niscaya tidak akan Allah sisakan
di atas muka bumi ini seekor binatang melatapun. Akan tetapi Allah menunda
hukuman itu untuk mereka hingga waktu yang telah ditentukan. Maka apabila telah
datang saatnya sesungguhnya Allah Maha melihat semua hamba-Nya.” (QS.
Fathir: 45). Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Artinya
adalah seandainya Allah menyiksa mereka sebagai hukuman atas semua dosa yang
mereka perbuat niscaya Allah akan menghancurkan semua penduduk bumi dan segala
binatang dan rezeki yang mereka miliki.” (Tafsir
al-Qur’an al-’Azhim [6/362])
Syaikh
Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah mengatakan, “Hadits-hadits
yang ada menunjukkan bahwasanya para pelaku maksiat itu sangat berresiko dijatuhi
ancaman siksa dan mereka akan masuk ke neraka lalu mereka akan dikeluarkan
darinya dengan syafa’at para nabi dan yang lainnya. Hal itu dikarenakan mereka
telah melemahkan tauhid mereka dan mencemarinya dengan
kemaksiatan-kemaksiatan.” (Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 21).
Syaikh
as-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
merealisasikan tauhid itu adalah denganmembersihkan dan memurnikannya dari
kotoran syirik besar maupun kecil serta kebid’ahan yang berupa ucapan yang
mencerminkan keyakinan maupun yang berupa perbuatan/amalan dan mensucikan diri
dari kemaksiatan. Hal itu akan tercapai dengan cara menyempurnakan
keikhlasan kepada Allah dalam hal ucapan, perbuatan, maupun keinginan, kemudian
membersihkan diri dari syirik akbar -yang menghilangkan pokok tauhid- serta
membersihkan diri dari syirik kecil yang mencabut kesempurnaannya serta
menyelamatkan diri dari bid’ah-bid’ah.” (al-Qaul as-Sadid fi
Maqashid at-Tauhid, hal. 20)
Syaikh
Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa merealisasikan la
ilaha illallah adalah sesuatu yang sangat sulit. Oleh sebab
itu sebagian salaf berkata: ‘Setiap maksiat merupakan bentuk lain
dari kesyirikan’. Sebagian salaf juga mengatakan: ‘Tidaklah aku
berjuang menundukkan jiwaku untuk menggapai sesuatu yang lebih berat daripada
ikhlas’. Dan tidak ada yang bisa memahami hal ini selain seorang mukmin.
Adapun selain mukmin, maka dia tidak akan berjuang menundukkan jiwanya demi
menggapai keikhlasan.
Oleh
sebab itu, pernah ditanyakan kepada Ibnu Abbas, ‘Orang-orang Yahudi
mengatakan: Kami tidak pernah diserang waswas dalam sholat’. Maka beliau
menjawab: ‘Apa yang perlu dilakukan oleh setan terhadap hati yang sudah
hancur?’ Setan tidak akan repot-repot meruntuhkan hati yang sudah
hancur. Akan tetapi ia akan berjuang untuk meruntuhkan hati yang makmur -dengan
iman-.
Oleh
sebab itu, tatkala ada yang mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa terkadang seseorang -diantara para sahabat- mendapati di
dalam hatinya sesuatu yang terasa berat dan tidak sanggup untuk diucapkan
-karena buruknya hal itu, pent-. Maka beliau berkata, ‘Benarkah kalian
merasakan hal itu?’. Mereka menjawab, ‘Benar’. Beliau pun
bersabda, ‘Itulah kejelasan iman’ (HR. Muslim). Artinya
hal itu merupakan bukti yang sangat jelas yang menunjukkan keimanan kalian,
karena perasaan itu muncul dalam dirinya sementara hal itu tidak akan muncul
kecuali pada hati yang lurus dan bersih (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala
Kitab at-Tauhid [1/38])
Keikhlasan
-yang hal ini merupakan intisari dari ajaran tauhid- merupakan sesuatu yang
membutuhkan perjuangan dan kesungguh-sungguhan dalam menundukkan hawa
nafsu. Sahl bin Abdullah berkata, “Tidak ada sesuatu yang lebih
sulit bagi jiwa manusia selain daripada ikhlas. Karena di dalamnya sama sekali
tidak terdapat jatah untuk memuaskan hawa nafsunya.”(Jami’ al-’Ulum wa
al-Hikam, hal. 26).
Dan
sesungguhnya ikhlas tidak akan berkumpul dengan kecintaan kepada pujian dan
sifat rakus terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak
akan bersatu antara ikhlas di dalam hati dengan kecintaan terhadap pujian dan
sanjungan serta ketamakan terhadap apa yang dimiliki oleh manusia, kecuali
sebagaimana bersatunya air dengan api atau dhobb/sejenis biawak dengan ikan
-musuhnya-.” (al-Fawa’id, hal. 143).
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Binasalah hamba Dinar! Celakalah
hamba Dirham! Celakalah hamba khamisah (sejenis kain)! Celakalah hamba khamilah
(sejenis model pakaian)! Apabila diberi dia merasa senang, dan apabila tidak
diberi maka dia murka. Celaka dan merugilah dia!” (HR. Bukhari).
Hadits
yang agung ini menunjukkan bahwa sebagian manusia ada yang cita-cita
hidupnya hanya untuk mendapatkan dunia dan perkara itulah yang paling
dikejar olehnya. Itulah tujuan pertama dan terakhir yang dicarinya. Maka kalau
ada orang semacam ini niscaya akhir perjalanan hidupnya adalah kebinasaan dan
kerugian (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 331).
Itulah
sosok pengejar dunia, yang rasa senang dan bencinya dikendalikan oleh hawa
nafsunya (lihatal-Mulakhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 241). Maka barangsiapa
yang menjadikan dunia sebagai puncak urusan dan akhir cita-citanya pada
hakekatnya dia telah mengangkatnya sebagai sesembahan tandingan bagi
Allah ta’ala (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid,
hal. 332)
Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Bagaimanakah pendapatmu mengenai orang yang telah
menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahan?” (QS. al-Furqan: 43).
Syaikh
Zaid bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah memberikan keterangan
bahwa sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada
Allah melainkan dia condong menujukan ibadahnya kepada selain Allah.
Memang, bisa jadi dia tidak tampak memuja/menyembah patung atau berhala. Atau
juga tidak tampak dia menyembah matahari dan bulan. Akan tetapi, sebenarnya dia
telah menyembah hawa nafsu yang telah menjajah hatinya dan memalingkan dirinya
sehingga tidak mau tunduk beribadah kepada Allah (lihat Thariq
al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 147)
Imam
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Pokok munculnya
kesyirikan kepada Allah adalah kesyirikan dalam hal cinta. Sebagaimana yang
difirmankan oleh Allah ta’ala (yang artinya), ‘Sebagian manusia ada yang
menjadikan selain Allah sebagai sekutu. Mereka mencintainya sebagaimana
kecintaan mereka kepada Allah. Adapun orang-orang yang beriman lebih dalam
cintanya kepada Allah.’ (QS. al-Baqarah: 165)…” (ad-Daa’ wa
ad-Dawaa’, hal. 212). Orang yang mencintai selain Allah -apa pun bentuknya-
sebagaimana kecintaannya kepada Allah, atau orang yang lebih mendahulukan
ketaatan kepada selain Allah daripada ketaatan kepada Allah maka sesungguhnya
orang tersebut telah terjerumus dalam syirik besar yang tidak akan diampuni oleh Allah
jika pelakunya tidak bertaubat darinya (lihat al-Qaul as-Sadid,
hal. 96, lihat juga al-Jadid, hal. 278)
Bahkan,
karena terlalu berlebihan kecintaannya kepada dunia maka sebagian orang tega
menjadikan amal akherat sebagai alat untuk menggapai ambisi-ambisi dunia
semata! Secara fisik mereka tampak mengejar pahala akherat, namun
hatinya dipenuhi dengan kecintaan kepada kesenangan dunia yang hanya
sesaat. Subhanallah… Allah ta’ala berfirman (yang
artinya),“Barangsiapa yang menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya,
maka akan Kami sempurnakan untuk mereka balasan atas amal-amal mereka di
dalamnya sedangkan mereka tidak dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang tidak
akan mendapatkan balasan apa-apa di akherat selain neraka dan akan hapuslah
semua amal yang mereka kerjakan dan sia-sialah apa yang dahulu mereka
kerjakan.” (QS. Huud: 15-16).
Ayat
yang mulia ini menunjukkan bahwa beramal soleh semata-mata untuk menggapai
kesenangan dunia -tanpa ada keinginan untuk memperoleh balasan akherat atau
balasan yang dijanjikan Allah- termasuk kategori kesyirikan, bertentangan
dengan kesempurnaan tauhid, bahkan menyebabkan terhapusnya pahala
amalan (lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 238)
Nas’alullahat
taufiq was salamah…
Dari artikel Kunci Meraih Ampunan — Muslim.Or.Id by null
0 komentar:
Posting Komentar