INDAHNYA SABAR
Kategori: Tazkiyatun
Nufus
Ibrahim al-Khawwash rahimahullah berkata, “Hakekat
kesabaran itu adalah teguh di atas al-Kitab dan as-Sunnah.” (al-Minhaj
Syarh Shahih Muslim [3/7]). Ibnu ‘Atha’ rahimahullah berkata,“Sabar
adalah menyikapi musibah dengan adab/cara yang baik.” (al-Minhaj
Syarh Shahih Muslim[3/7]). Abu Ali ad-Daqqaq rahimahullah berkata, “Hakekat
dari sabar yaitu tidak memprotes sesuatu yang sudah ditetapkan dalam takdir.
Adapun menampakkan musibah yang menimpa selama bukan untuk berkeluh-kesah
-kepada makhluk- maka hal itu tidak meniadakan kesabaran.” (al-Minhaj
Syarh Shahih Muslim [3/7])
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan
al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Sabar secara
bahasa artinya adalah menahan diri. Allah ta’ala berfirman kepada nabi-Nya
(yang artinya), ‘Sabarkanlah dirimu bersama orang-orang yang berdoa kepada Rabb
mereka’. Maksudnya adalah tahanlah dirimu untuk tetap bersama mereka. Adapun di
dalam istilah syari’at, sabar adalah: menahan diri di atas ketaatan kepada
Allah subhanahu wa ta’ala dan untuk meninggalkan kedurhakaan/kemaksiatan
kepada-Nya. …” (I’anat al-Mustafid bi Syarhi Kitab at-Tauhid [3/134]
software Maktabah asy-Syamilah)
Macam-Macam Sabar
al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata, “Sabar
yang dipuji ada beberapa macam: [1] sabar di atas ketaatan kepada Allah ‘azza
wa jalla, [2] demikian pula sabar dalam menjauhi kemaksiatan kepada Allah ‘azza
wa jalla, [3] kemudian sabar dalam menanggung takdir yang terasa menyakitkan.
Sabar dalam menjalankan ketaatan dan sabar dalam menjauhi perkara yang
diharamkan itu lebih utama daripada sabar dalam menghadapi takdir yang terasa
menyakitkan…” (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 279)
al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
Allah memiliki hak untuk diibadahi oleh hamba di saat tertimpa musibah,
sebagaimana ketika dia mendapatkan kenikmatan.” Beliau juga
mengatakan,“Maka sabar adalah kewajiban yang selalu melekat kepadanya, dia
tidak boleh keluar darinya untuk selama-lamanya. Sabar merupakan penyebab untuk
meraih segala kesempurnaan.” (Fath al-Bari [11/344]).
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Adapun
sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan sabar dalam menjauhi
kemaksiatan kepada-Nya, maka hal itu sudah jelas bagi setiap orang bahwasanya
keduanya merupakan bagian dari keimanan. Bahkan, kedua hal itu merupakan pokok
dan cabangnya. Karena pada hakekatnya iman itu secara keseluruhan merupakan
kesabaran untuk menetapi apa yang dicintai Allah dan diridhai-Nya serta untuk
senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya, demikian pula harus sabar dalam
menjauhi hal-hal yang diharamkan Allah. Dan juga karena sesungguhnya agama ini
berporos pada tiga pokok utama: [1] membenarkan berita dari Allah dan
rasul-Nya, [2] menjalankan perintah Allah dan rasul-Nya, dan [3] menjauhi
larangan-larangan keduanya…” (al-Qaul as-Sadid fi Maqashid
at-Tauhid, hal. 105-106)
Sabar merupakan akhlak para rasul
Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Sungguh telah didustakan rasul-rasul sebelummu maka
mereka pun bersabar menghadapi tindakan pendustaan tersebut, dan mereka pun
disakiti sampai datanglah kepada mereka pertolongan Kami.” (QS.
al-An’am: 34)
Sabar membuahkan kebahagiaan hidup
Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Demi masa, sesungguhnya seluruh manusia benar-benar
berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling
menasehati dalam kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS.
al-’Ashr: 1-3)
Umar bin Khatthab radhiyallahu’anhu mengatakan, “Kami
berhasil memperoleh penghidupan terbaik kami dengan jalan kesabaran.” (HR.
Bukhari secara mu’allaq dengan nada tegas, dimaushulkan oleh
Ahmad dalam az-Zuhd dengan sanad sahih, lihat Fath
al-Bari [11/342] cet. Dar al-Hadits tahun 1424 H)
Sabar penopang keimanan
Dari Shuhaib radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh
menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik
untuknya. Dan hal itu tidak ada kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila dia
mendapatkan kesenangan maka dia pun bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan
untuknya. Apabila dia tertimpa kesulitan maka dia pun bersabar, maka hal itu
juga sebuah kebaikan untuknya.” (HR. Muslim [2999] lihat al-Minhaj
Syarh Shahih Muslim[9/241])
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Sabar
adalah separuh keimanan.” (HR. Abu Nu’aim dalamal-Hilyah dan
al-Baihaqi dalam az-Zuhd, lihat Fath al-Bari [1/62]
dan [11/342]). Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu mengatakan, “Sabar
bagi keimanan laksana kepala dalam tubuh. Apabila kesabaran telah lenyap maka
lenyap pulalah keimanan.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya
[31079] dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman [40], bagian awal
atsar ini dilemahkan oleh al-Albani dalam Dha’if al-Jami’ [3535],
lihat Shahih wa Dha’if al-Jami’ as-Shaghir [17/121] software
Maktabah asy-Syamilah).
Sabar penepis fitnah
Dari Abu Malik al-Asy’ari radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “…Dan
sabar itu adalah cahaya -yang panas-…” (HR. Muslim [223], lihat al-Minhaj
Syarh Shahih Muslim [3/6] cet. Dar Ibn al-Haitsam tahun 2003). Ibnul
Qayyim rahimahullah mengatakan, “… Fitnah syubhat bisa
ditepis dengan keyakinan, sedangkan fitnah syahwat dapat ditepis dengan
bersabar. Oleh karena itulah Allah Yang Maha Suci menjadikan kepemimpinan dalam
agama tergantung pada kedua perkara ini. Allah berfirman (yang artinya), “Dan
Kami menjadikan di antara mereka para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan
perintah Kami ketika mereka bisa bersabar dan senantiasa meyakini ayat-ayat
Kami.” (QS. as-Sajdah: 24). Hal ini menunjukkan bahwasanya dengan bekal sabar
dan keyakinan itulah akan bisa dicapai kepemimpinan dalam hal agama. Allah juga
memadukan keduanya di dalam firman-Nya (yang artinya), “Mereka saling
menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati untuk menetapi kesabaran.”
(QS. al-’Ashr: 3). Saling menasehati dalam kebenaran merupakan sebab untuk
mengatasi fitnah syubhat, sedangkan saling menasehati untuk menetapi kesabaran
adalah sebab untuk mengekang fitnah syahwat…” (dikutip dariadh-Dhau’
al-Munir ‘ala at-Tafsir yang disusun oleh Syaikh Ali ash-Shalihi
[5/134], lihat juga Ighatsat al-Lahfan hal. 669)
Sabar membuahkan hidayah bagi hati
Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Tidaklah menimpa suatu musibah kecuali dengan izin
Allah. Barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk
ke dalam hatinya.” (QS. at-Taghabun: 11)
Ibnu Katsir menukil keterangan
al-A’masy dari Abu Dhabyan. Abu Dhabyan berkata, “Dahulu kami
duduk-duduk bersama Alqomah, ketika dia membaca ayat ini ‘barang siapa yang
beriman kepada Allah maka Allah akan menunjuki hatinya’ dan beliau ditanya
tentang maknanya. Maka beliau menjawab, ‘Orang -yang dimaksud dalam ayat
ini- adalah seseorang yang tertimpa musibah dan mengetahui bahwasanya musibah
itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridha dan pasrah kepada-Nya.” Atsar
ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim di dalam tafsir
mereka. Sa’id bin Jubair dan Muqatil bin Hayyan ketika menafsirkan ayat
itu, “Yaitu -Allah akan menunjuki hatinya- sehingga mampu mengucapkan
istirja’ yaitu Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” (Tafsir al-Qur’an
al-’Azhim [4/391] cet. Dar al-Fikr)
Hikmah dibalik musibah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Apabila Allah menghendaki hamba-Nya
mendapatkan kebaikan maka Allah segerakan baginya hukuman di dunia. Dan apabila
Allah menghendaki keburukan untuknya maka Allah akan menahan hukumannya sampai
akan disempurnakan balasannya kelak di hari kiamat.” (HR. Tirmidzi, hadits
hasan gharib, lihat as-Shahihah [1220])
Di dalam hadits
yang agung ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan
bahwa ada kalanya Allah ta’ala memberikan musibah kepada
hamba-Nya yang beriman dalam rangka membersihkan dirinya dari kotoran-kotoran
dosa yang pernah dilakukannya selama hidup. Hal itu supaya nantinya ketika dia
berjumpa dengan Allah di akherat maka beban yang dibawanya semakin bertambah
ringan. Demikian pula terkadang Allah memberikan musibah
kepada sebagian orang akan tetapi bukan karena rasa cinta dan pemuliaan
dari-Nya kepada mereka namun dalam rangka menunda hukuman mereka di alam dunia
sehingga nanti pada akhirnya di akherat mereka akan menyesal dengan tumpukan
dosa yang sedemikian besar dan begitu berat beban yang harus dipikulnya ketika
menghadap-Nya. Di saat itulah dia akan merasakan bahwa dirinya memang
benar-benar layak menerima siksaan Allah. Allah memberikan karunia kepada siapa
saja dengan keutamaan-Nya dan Allah juga memberikan hukuman kepada siapa saja
dengan penuh keadilan. Allah tidak perlu ditanya tentang apa yang
dilakukan-Nya, namun mereka -para hamba- itulah yang harus dipertanyakan
tentang perbuatan dan tingkah polah mereka (diolah dari keterangan Syaikh
Muhammad bin Abdul ‘Aziz al-Qor’awi dalam al-Jadid fi Syarhi Kitab at-Tauhid,
hal. 275)
Setelah kita mengetahui betapa indahnya
sabar, maka sekarang pertanyaannya adalah: sudahkah kita mewujudkan nilai-nilai
kesabaran ini dalam kehidupan kita? Sudahkah kita menjadikan sabar sebagai
pilar kebahagiaan kita? Sudahkah sabar mewarnai hati, lisan, dan gerak-gerik
anggota badan kita?
—
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id
Artikel Muslim.Or.Id
0 komentar:
Posting Komentar