RAMADHAN & PERBAIKAN HATI
Kategori: Ramadhan, Tazkiyatun Nufus
Bagi
orang-orang yang beriman, bulan Ramadhan adalah momen berharga untuk mengangkat
derajat mereka di sisi Allah, kesempatan emas untuk meraih ampunan-Nya dan
memperbaiki kualitas diri menuju taqwallah.
Ibadah puasa secara khusus, dan sejumlah amal ketaatan lainnya pun disyariatkan
dalam bulan Ramadhan ini untuk mencapai tujuan-tujuan di atas.
Dengan
demikian, sudah seharusnya bagi setiap mukmin memperhatikan bagaimana
menjadikan bulan Ramadhan ini sebagai sarana memperbaiki diri. Dan diantara
fokus perbaikan yang seharusnya menjadi target kita di bulan yang penuh berkah
ini adalah perbaikan hati. Yaitu bagaimana mengupayakan hati kita agar
senantiasa tunduk dan selalu beribadah kepada-Nya dengan amal-amal hati yang
dicintai dan diridhai-Nya. Seperti ikhlas, tawakal, takut dan berharap kepada
Allah, khusyu’ dan tawadhu, serta ibadah-ibadah hati
lainnya.
Mengapa
hati? karena hati memiliki fungsi yang sangat strategis dalam kehidupan kita
sebagai hamba Allah di dunia ini. Berikut adalah beberapa alasan mengapa kita
harus memperhatikan kondisi hati kita dan perbaikannya.
Pertama:
Hati Adalah Sumber Keyakinan dan Amal Perbuatan
Keyakinan
dan amal perbuatan seseorang sangat tergantung kepada kondisi hatinya. Karena
hati adalah sumber keyakinan dan amal perbuatan bermuara. Jika hati baik, maka
keyakinan dan amal perbuatan akan baik pula. Namun jika buruk, maka buruk pula
keyakinan dan amal perbuatannya.
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam
bersabda:
“Ingatlah bahwa dalam jasad ada segumpal
daging, jika ia benar, maka benarlah seluruh jasad tersebut. Dan jika ia rusak,
maka rusaklah seluruh jasad tersebut. Ingatlah, bahwa ia adalah hati.”
(HR Bukhari Muslim)
Allah
berfirman (yang artinya) :
“Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun,
dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 78)
Kedua:
Pahala dan Nilai amal ditentukan Oleh Niat dalam Hati
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Sesungguhnya (sah dan tidaknya) amal
perbuatan dengan niat. Dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan (pahala)
sesuai dengan apa yang dia niatkan.” (HR Bukhari Muslim)
Besaran
nilai pahala sangat ditentukan oleh sebaik apa niat yang ada dalam hati
seseorang saat beramal. Sebagaimana kita ketahui, niat yang ikhlas adalah
syarat diterimanya amal ibadah. Jika ada dua orang menunaikan shalat misalnya,
bisa jadi, walaupun masing-masing shalat
dengan jumlah rakaat yang sama, tapi nilainya berbeda di sisi Allah azza wa
jalla dan yang membedakannya adalah niat yang ada dalam hati keduanya. Atau dua
orang bersedekah dengan jumlah nominal yang sama. Nilainya juga dapat berbeda
gara-gara niat yang ada hati keduanya. Bahkan, yang satu bisa jadi mendapat
pahala yang sangat besar karena keikhlasannya yang tinggi, sementara yang lain
mendapat dosa karena ibadah itu dilakukan karena riya.
Ketiga:
Karakter Hati Cepat Berubah
Kondisi hati
yang cepat sekali berubah membuat kita harus benar-benar dengan serius
memperhatikan kondisinya. Bila perlu, setiap detail kondisi hati kita saat
beramal itu selalu kita muhasabahi dan periksa. Jangan sampai kita merasa
sedang beribadah, namun tanpa disadari ternyata hati kita telah berubah ke arah
yang lain. Dalam sebuah hadis disebutkan,
“Sesungguhnya hati manusia berada diantara dua
jemari Allah al Rahman, Dia membolak-balikkannya sebagaimana Dia berkehendak.”
(HR Muslim)
Dalam hadis
Anas disebutkan, “Hati itu
ibarat sehelai bulu di padang yang luas, yang dibolak-balikkan oleh angin.”
(Ibnu Asakir)
Keempat:
Setan Melemparkan Bisikannya ke Dalam Hati
Jika setan
akan menyesatkan manusia, maka setan akan memulainya dari hati. Jika hati
manusia sudah tergelincir, maka pengaruhnya akan terjadi kepada keyakinan dan
perbuatannya.
Allah
berfirman (yang artinya) :
“Yang
membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan
manusia.” (QS. An
Naas: 5)
“Maka
Mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri
ketika datang siksaan kami kepada mereka, bahkan hati mereka Telah menjadi
keras, dan syaitan pun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu
mereka kerjakan.” (QS. Al
An’am: 43)
Ibnu Abbas
berkata, “Sesungguhnya setan mengincar hati manusia. Jika ia lupa dan lalai,
maka setan melemparkan bisikannya. Jika ia mengingat Allah, maka setan
menjauh.”
Kelima:
Hati Adalah Alat Untuk Mengenal Kebenaran
Pemahaman
yang benar dan kemampuan membedakan yang hak dan batil juga ditentukan oleh
kebaikan hati seseorang. Jika hati jernih, maka diantara pengaruhnya adalah
kejernihan dalam memilah kebenaran dari kebatilan. Hati yang bersih akan dapat
mengenal kebenaran dengan baik, seperti cermin yang bersih yang akan
memantulkan bayangan yang baik. Hati yang kotor sebaliknya, ibarat cermin yang
kotor yang akan memantulkan bayangan yang buram. Hati yang kotor akan membuat
kebenaran menjadi samar. Akhirnya, kebenaran menjadi terbalik dalam
pandangannya. Yang benar jadi salah, yang salah jadi benar. Yang tauhid jadi
syirik, yang syirik jadi tauhid. Yang sunnah jadi bid’ah, yang
bid’ah jadi sunnah. Yang taat jadi
maksiat, yang maksiat jadi taat. Yang hak jadi batil, dan yang batil jadi hak.
Allah
berfirman (yang artinya) :
“Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun,
dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An Nahl: 78)
Keenam:
Hati Akan Dimintai Pertanggungjawaban Di Akhirat
Allah
berfirman (yang artinya) :
“Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.” (QS. Al
Israa: 36)
Ibadah puasa
memiliki pengaruh yang sangat hebat terhadap perbaikan hati kita. Karena puasa
dapat melemahkan syahwat perut dan kemaluan. Dengannya kemudian kita mampu
menjauhi kemaksiatan. Dan dengan menjauhi kemaksiatan maka hati akan menjadi
bersih.
Abu Sulaiman
berkata, “Noda dan kerasnya hati adalah pokok kelalaian. Dan penawarnya adalah
dengan memperbanyak puasa.”
Oleh karena
itu juga, Nabi menganjurkan orang yang belum mampu menikah untuk memperbanyak
puasa. Beliau bersabda, “Sesungguhnya
puasa itu akan menjadi pelindung
baginya.”
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Puasa itu adalah perisai” maksudnya adalah perisai
dari perbuatan dosa dan kemaksiatan.
Mudah-mudahan
Allah memberikan taufiq dan kekuatan kepada kita semua untuk menjadikan bulan Ramadhan tahun ini sebagai bulan
perbaikan diri yang sebenarnya, utamanya adalah hati dan kondisi batin kita. Amin.
Wallaahu
waliyyu dzaalika wal qaadiru ‘alaihi, wa laa haula wa laa quwwata illa billaah.
Rancabogo,
Subang, 13 Ramadhan 1433 H
*Materi
ilmiah dalam tulisan di atas banyak diinspirasi oleh Buku “Hayaatu al Quluub”,
Karya Syaikhunaa Prof. Dr. Sa’ad bin Nashir al Syatsry –semoga Allah menjaganya.
—
Penulis: Ustadz Abu Khalid Resa Gunarsa, Lc
Artikel Muslim.Or.Id
0 komentar:
Posting Komentar