KISAH THAWUS bin KAISAN, tabi'in senior dari Yaman
Beliau adalah Abu Abrirrahman Thawus bin Kaisan al-Yamani al-Himyari
maula Bakhir bin Kuraisan al-Himyari, termasuk anak keturunan bangsa
Persia, sedang ayah beliau dari Qasith.
Beliau termasuk kibar at-tabi’in (tabi’in senior), sangat
dikenal dalam memberi wasiat dan nasihat, dan tidak gentar dalam
meluruskan setiap kesalahan. Sebab itu, beliau banyak disegani oleh
setiap kaum muslimin sampai pun oleh para raja dan khalifah kaum
muslimin.
Ada yang berkata bahwa nama asli beliau adalah Dzakwan, sedangkan
Thawus adalah nama julukan. Diriwayatkan dari Yahya bin Ma’in ia
berkata, “Beliau dijuluki Thawus (burung merak) karena beliau banyak
menimba ilmu (berkeliling) kepada para qurra (ahli qiraah).”
Beliau lahir di zaman para sahabat, sehingga beliau banyak berjumpa dan menimba ilmu dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya adalah Jabir bin Abdillah, Abdullah bin Abbas, Mu’adz bin Jabal, Abdullah bin Umar, Abu Hurairah radhiallahu ‘anhum, dan para sahabat senior lainnya. Bahkan beliau juga menimba ilmu kepada Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha.
Demikian banyak ilmu dan pemahaman yang beliau dapatkan dari para
pendahulunya itu, beliau ajarkan kepada orang-orang yang setelahnya,
karena merekalah para penerus dakwah. Sebut saja di antara murid-murid
beliau yang ternama seperti Wahb bin Munabbih, Atha bin Abi Rabah, Amr
bin Dinar, Mujahid, Laits bin Abi Salim –rahimahumullah-, dan yang lainnya.
Adz-Dzahabi berkata, “Aku berpendapat bahwa beliau dilahirkan pada masa khilafah Utsman radhiallahu ‘anhu atau sebelum itu.”
Diriwayatkan dari Abdul Malik bin Maisarah dari Thawus ia mengatakan,
“Sungguh aku bertemu dengan 50 orang sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Pujian Ulama Kepada Beliau
Beliau memiliki bagian yang banyak dalam hal mengambil ilmu dan
mengajarkan kepada umat, yang dengan itulah nama beliau tidak asing bagi
para penuntut ilmu.
Ibnu hibban berkata, “Thawus adalah ahli ibadah penduduk Yaman, ahli
fiqih mereka, dan beliau termasuk salah satu pembesar tabi’in.”
Hubaib bin Asy-Syahid berkata, “Aku berada di sisi Amr bin Dinar lalu
disebutlah perihal Thawus, lalu ia (Amr bin Dinar) mengatakan, ‘Aku
tidak melihat seorang pun semisal Thawus’.”
Dari Utsman bin Sa’id ia berkata, “Aku berkata kepada Yahya bin
Ma’in, ‘Apakah Thawus yang lebih engkau cintai atau Sa’id bin Zubair?’
Beliau menjawab, ‘Ia adalah seorang yang tsiqah yang tidak
diperbandingkan’.”
Atha bin Abi Rabah meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu bahwa beliau mengaatakan, “Sungguh aku menyangka bahwa Thawus adalah termasuk penduduk surga.”
Potret Kepribadian Beliau
Dalam Ibadah
Di antara beberapa nukilan dari para ulama kita tentang kesungguhan beliau dalam ibadah dan menghambakan diri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala di antaranya:
Abdurrahman bin Abi Bakr al-Makki berkata, “Aku melihat Thawus dan di antara kedua mata beliau tampak bekas sujud.”
Dari Ibnu Syu’dzib ia berkata, “Aku menyaksikan jenazah Thawus di
Mekah pada tahun 150 H, manusia menyebut-nyebut dan memuji beliau.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Abu Abdirrahman, ia telah berhaji sebanyak 40 kali.”
Dari Dawud bin Ibrahim, ia menceritakan bahwa suatu hari seekor singa
mengahalangi jalan kaum muslimin. Orang-orang melakukan ronda di malam
tersebut, di waktu sahur singa tersebut baru pergi meninggalkan tempat
tersebut, maka semua orang –baik di kanan maupun di kiri- merebahkan
tubuh-tubuh mereka dan tertidur. Maka berdirilah Thawus untuk qiyamul lail
(shalat malam), hingga ada seorang yang menegur beliau, “Apakah engkau
tidak tidur, bukankah engkau semalaman berjaga malam?” Thawus
mengatakan, “Akankah seorang muslim tidur di waktu sahur seperti ini dan
tidak ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala..?”
Dalam Zuhud
Abu Ashim an-Nabil berkata, “Telah datang putra mahkota, yaitu putra
dari Sulaiman bin Abdul Malik. Ia datang dan duduk di dekat Thawus,
namun beliau tidak menoleh kepadanya sedikit pun. Lalu seseorang menegur
beliau, “Putra dari Amirul Mukminin telah datang di sisimu,
tetapi mengapa engkau tidak mau menoleh kepadanya..?!” Beliau menjawab,
“Aku ingin mengajarkan bahwa hendaknya seorang hamba bersikap zuhud dari
apa yang ada di hadapannya.”
Dari Abdullah bin Bisyr, ia menceritakan bahwa Thawus al-Yamani
memiliki dua jalan untuk menuju masjid, satu jalan melewati pasar dan
ada satu jalan yang lain. Sehari ini beliau lewat jalan ini, dan jalan
yang lain pada hari berikutnya, apabila beliau memilih jalan yang
melewati pasar hingga melihat kepala orang-orang yang tenggelam dalam
dunia dan kehinaan, maka beliau tidak bisa tidur di malam harinya.”
Dari Ibnu Thawus ia berkata, “Aku mengatakan kepada ayahku (Thawus)
bahwa aku hendak menikahi gadis, lalu beliau mengatakan, ‘Kalau begitu
pergilah untuk nazhar, aku memakai pakaianku yang terbaik, aku
berkeramas, dan berdandan sangat rapi, setelah beliau melihat kondisiku
seperti itu tiba-tiba beliau mengatakan, ‘Duduklah dan jangan engkau
pergi.”
Dalam Wara’
Beliau adalah seorang yang wara dalam berfatwa, tidak asal menjawab
pertanyaan yang diajukan kepada beliau. Beliau sanantiasa berhati-hati,
karena khawatir apa yang beliau fatwakan ternyata tidak sejalan dengan
apa yang dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dari Ayyub ia berkata, “Ada seorang yang hendak bertanya tentang
sesuatu masalah kepada Thawus, lalu beliau mencelanya (karena banyak
bertanya pen.) seraya mengatakan, ‘Sungguh ia hendak menjadikan
di leherku tali yang aku diputar dengannya’.” Karena kehati-hatian
beliau, dan takut jawabannya itu dipertanggungjawabkan di sisi Allah
kelak
Al Hafizh berkata, “Amr bin Dinar telah mengatakan, ‘Sungguh aku
tidak melihat seseorang yang lebih wara’ dan menjaga diri dari sesuatu
yang ada di tangan manusia, daripada Thawus’.”
Ibnu Abi Sufyan berkata. “Saya tidak melihat seorang berilmu yang
lebih banyak mengucapkan kalimat ‘Aku tidak tahu masalah tersebut’,
kecuali Thawus.”
Ibnu Uyainah berkata, “Orang-orang yang selalu menjauhi kepemimpinan
ada tiga: Abu Dzar di zamannya, Thawus di zamannya, dan Sufyan
Ats-Tsauri di zaman beliau.”
Beberapa Perkataan Mutiara Beliau
Dari Abu Najih dari bapaknya, bahwa Thawus berkata kepadanya, “Barang
siapa yang berbicara tentang kebaikan dan ia bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, lebih baik daripada seorang yang diam dan bertakwa kepada Allah.”
Dari Ibnu Thawus dari bapaknya (Thawus radhiallahu ‘anhu),
ia berkata, “Bakhil adalah seorang menahan harta miliknya sendiri,
adapun syuh adalah seorang yang mengahrapkan harta milik orang lain
dengan cara yang haram.”
Dari Thawus, ia berkata, “Tidaklah seorang anak Adam berbicara kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menghisabnya, sampaipun rintihannya tatkala sakit.”
Dari Hisyam bin Hujair dari Thawus radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Tidak sempurna ibadah/sembelihan seseorang pemuda sampai dia menikah.”
Beliau meninggal dunia pada tahun 100 H. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Thawus bin Kaisan dan menempatkan beliau di tempat yang tinggi dan mulia di sisi-Nya. Amin.
Mutiara Teladan
Beberapa catatan penting dari perjalanan hidup beliau yang hendaknya menjadi qudwah (teladan) bagi kita adalah:
- Seorang muslim diajari untuk saling menasihati demi
kebaikan dunia adn akhirat. Nasihat tetap diberikan sampai pun kepada
orang yang lebih tinggi kedudukannya daripadanya, tentunya dengan
cara-cara yang baik tanpa harus menghinakan atau merendahkan
kedudukannya.
- Merupakan sifat baik para as-salaf ash-shalih
–yang hampir-hampir sifat itu hilang di zaman kita- adalah sifat wara’
dan zuhud terhadap dunia. Sifat itu akan benar-benar tampak pada diri
seorang muslim, apabila ia memahami dengan baik hakikat sebuah
kehidupan, bahwa kehidupan yang sebenarnya –yang hakiki dan kekal-
adalah kehidupan akhirat, bukan kehidupan dunia, sehingga apa pun mereka
korbankan demi mendapat kebaikan akhirat sekalipun harus merasakan
payah tatkala di dunia.
- Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Thawus bin Kaisan dan para as-salaf ash-shalih
yang telah mengajari kita untuk selalu mendalami ilmu agama,
mengajarkan, dan mendakwahkan kepada orang lain, sebagaimana ini adalah
tugas setiap nabi dan rasul dan juga tugas setiap muslim sesuai dengan
kadar kemampuan yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka dalam setiap perbuatan, mereka mengawalinya dengan ilmu dan mengakhirinya dengan ilmu pula. Wallahu a’lamu bishshawab.
Oleh: Ustadz Abu Faiz
Sumber: Majalah Al-Fuqon Edisi 6 Tahun Ke-11 1433 H/2012 M
Artikel www.KisahMuslim.com
0 komentar:
Posting Komentar