SHALAT DHUHA
Keutamaannya:
Sesungguhnya shalat dhuha itu termasuk diantara amalan sunnah yang
dianjurkan, dan ia memiliki keutamaan yang sangat besar. Dan telah
disebutkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwasanya beliau
bersabda:
«يُصْبِحُ عَلَىٰ كُلِّ سُلاَمَىٰ مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ.
فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ. وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ. وَكُلُّ
تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ. وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ. وَأَمْرٌ
بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ. وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ.
وَيُجَزِىءُ، مِنْ ذٰلِكَ، رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَىٰ».
“Pada tiap pagi ada kewajiban sedekah untuk tiap-tiap persendian, dan
tiap tasbih adalah sedekah, tiap tahlil adalah sedekah, tiap tahmid
adalah sedekah, tiap takbir adalah sedekah, menganjurkan kebaikan adalah
sedekah, dan mencegah kemungkaran adalah sedekah dan yang bisa
mencukupi semua itu adalah dua rakaat (shalat sunnah) yang dilakukan di
waktu dhuha.” (HR Muslim, Ahmad dari Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
« قَالَ اللهُ تَعَالىَ : يَا ابْنَ آدَمَ ارْكَعْ لِيْ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَكُفُّكَ آخِرَهُ » .
“Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Wahai bani Adam, ruku’lah
kepada-Ku empat rakaat pada awal siang hari, niscaya Aku cukupkan bagimu
sampai akhir hari.” (HR Tirmidzi dari Nu’aim al-Ghathfani, Imam Albani
menshahihkannya dalam kitab al-Jami’ ash-Shahih; 4439).
Dari Abdullah bin Amr Radhiallahu ‘Anhu dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengutus pasukan perang, maka mereka mendapat ghanimah (rampasan perang) dan mereka cepat kembali, maka orang-orang membicarakan tentang peperangan itu dan banyaknya ghanimah yang mereka dapatkan serta kepulangan mereka yang cepat, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
Dari Abdullah bin Amr Radhiallahu ‘Anhu dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengutus pasukan perang, maka mereka mendapat ghanimah (rampasan perang) dan mereka cepat kembali, maka orang-orang membicarakan tentang peperangan itu dan banyaknya ghanimah yang mereka dapatkan serta kepulangan mereka yang cepat, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
« أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلىَ مَا هُوَ أَقْرَبُ مِنْهُمْ
مَغْزىً وَأَكْثَرُ غَنِيْمَةً وَأَوْشَكُ رَجْعَةً ؟ مَنْ تَوَضَّأَ ثُمَّ
غَدَا إِلىَ الْمَسْجِدِ لِسَبْحَةِ الضُّحىَ، فَهُوَ أَقْرَبُ مَغْزىً
وَأَكْثَرُ غَنِيْمَةً وَأَوْشَكُ رَجْعَةً»
“Maukah aku tunjukkan pada kalian apa yang lebih dekat dari
peperangan mereka, dan lebih banyak ghanimah serta kepulangan yang lebih
cepat? Barang siapa yang berwudhu kemudian pergi pada waktu pagi ke
masjid untuk melakukan shalat dhuha, maka hal itu adalah peperangan yang
paling dekat dan ghanimah yang pa;ing banyak dan akan segera kembali.”
(HR. Thabrani dan lainnya).
Shalat dhuha merupakan shalatnya al-Awwabin (orang orang yang kembali kepada Allah), Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda mengenai mereka,
Shalat dhuha merupakan shalatnya al-Awwabin (orang orang yang kembali kepada Allah), Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda mengenai mereka,
صَلاَةُ اْلأَوَّابِيْنَ إِذَا رَمَضَتِ الْفِصَالُ
“Shalatnya para Awwabin adalah apabila anak onta bangun karena mulai
panas tempat berbaringnya.” (HR. Muslim). Dan makna Ramadhat adalah
telah terbakar karena panasnya matahari.
Ringkasnya, bahwa shalatnya para awwabin adalah shalat dhuha, karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
Ringkasnya, bahwa shalatnya para awwabin adalah shalat dhuha, karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
لاَ يُحَافَظُ عَلىَ صَلاَةِ الضُّحىَ إِلاَّ أَوَّابٌ , وَهِيَ صَلاَةُ اْلأَوَّابِيْنَ
“Tidak menjaga shalat dhuha kecuali awwab, dan ia adalah shalatnya
awwabin (orang-orang yang segera kembali kepada Allah).” (HR. Ibnu
Huzaimah dan al-Hakim, Albani menghasankannya dalam kitab Shahih Jami’
dari hadits Abu Hurairah, 1263/2).
Banyak hadits Nabi yang telah menyebutkan mengenai keutamaan shalat dhuha, begitu pula perkataan-perkataan ulama terdahulu. Kami cukupkan untuk menyebutkan sebagiannya saja, maka sepantasnya bagi seorang muslim untuk senantiasa melakukan shalat dhuha, Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu berkata:
Banyak hadits Nabi yang telah menyebutkan mengenai keutamaan shalat dhuha, begitu pula perkataan-perkataan ulama terdahulu. Kami cukupkan untuk menyebutkan sebagiannya saja, maka sepantasnya bagi seorang muslim untuk senantiasa melakukan shalat dhuha, Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu berkata:
« أَوْصَانِيْ خَلِيْلِي صل الله عليه وسلم بِثَلاَثٍ:
صِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَرَكْعَتَيِ الضُّحىٰ،
وَأنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ »
“Kekasihku Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
telah berwasiat kepadaku dengan tiga hal, ‘Puasa tiga hari setiap bulan,
dua rakaat dhuha dan agar aku melakukan witir sebelum tidur.” (HR.
Bukhari Muslim)
Shalat dhuha adalah shalat Isyraq (matahari
terbit) atau shalat Syuruq, tetapi ia jika dilakukan setelah terbit
matahari dinamakan shalat Syuruq, dan jika dilakukan setelah itu
dinamakan dhuha, dan shalat syuruq adalah yang diisyaratkan oleh Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan sabdanya:
“Barang siapa shalat subuh berjamaah kemudian duduk berdzikir kepada
Allah hingga matahari terbit, kemudian shalat dua rakaat maka bagiya
pahala seperti pahala haji dan umrah.” (HR Tirmidzi).
Hukumnya:
Shalat Dhuha adalah sunnah, Imam Nawawi Rahimahullah berkata, “Itu adalah madzhab kami dan madzhab sebagian besar para salaf dan para ahli fiqih belakangan secara keseluruhan.”
Shalat Dhuha adalah sunnah, Imam Nawawi Rahimahullah berkata, “Itu adalah madzhab kami dan madzhab sebagian besar para salaf dan para ahli fiqih belakangan secara keseluruhan.”
Imam Ibnul Qoyyim Rahimahullah telah
mengumpulkan pendapat pendapat mengenai hukumnya hingga mencapai enam
perkataan, dan pendapat yang paling rajih adalah bahwasanya shalat dhuha
itu sunnah yang dianjurkan, sebagaimana ketetapan Ibnu Daqiq al-‘Ied
dan Shan’ani dalam Subulus Salam, asy-Syaukani dalam kitab Nailul
Authar. Asy-Syaukani berkata, “Dan tidak menjadikanmu samar bahwasanya
hadits-hadits yang datang dengan penetapan shalat dhuha telah mencapai
batasan yang sebagian daripadanya tidak kurang dari tuntutan
menganjurkannya.” (60/3) Wallahu A’lam.
Waktunya:
Mulai setelah matahari terbit dan ketinggiannya seukuran tombak, dan hal itu terjadi kira kira lima belas menit setelah matahari terbit, dan habis ketika posisi matahari tegak di langit sesaat menjelang tergelincir. Dan sebagian para ulama mengukurnya dengan perkiraan sepuluh menit sebelum masuk waktu dhuhur.
Dan yang lebih hati hati hendaklah hal itu dilakukan sebelum waktu tersebut sehingga tidak terjatuh pada waktu yang dilarang, sebagaimana hadits ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiallahu ‘Anhu dia berkata,
Mulai setelah matahari terbit dan ketinggiannya seukuran tombak, dan hal itu terjadi kira kira lima belas menit setelah matahari terbit, dan habis ketika posisi matahari tegak di langit sesaat menjelang tergelincir. Dan sebagian para ulama mengukurnya dengan perkiraan sepuluh menit sebelum masuk waktu dhuhur.
Dan yang lebih hati hati hendaklah hal itu dilakukan sebelum waktu tersebut sehingga tidak terjatuh pada waktu yang dilarang, sebagaimana hadits ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiallahu ‘Anhu dia berkata,
“Tiga waktu kami dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam untuk melakukan shalat atau mengubur pada waktu waktu tersebut
orang yang meninggal di antara kami; ketika matahari terbit hingga
meninggi, ketika matahari tegak hingga tergelincir dan ketika matahari
hampir tenggelam di ufuk barat.” (HR. Muslim).
Shalat dhuha tidak dilakukan segera setelah matahari terbit, tetapi hingga matahari naik tinggi seukuran tombak atau dengan bentuk yang betul-betul jelas.
Shalat dhuha tidak dilakukan segera setelah matahari terbit, tetapi hingga matahari naik tinggi seukuran tombak atau dengan bentuk yang betul-betul jelas.
Sifatnya:
Paling sedikit adalah dua raka’at dan paling banyaknya delapan raka’at. Dikatakan pula dua belas raka’at. Didalamnya membaca surat al-Fatihah serta apa yang mudah dari al-Qur’an. Tidak ada riwayat satu bacaanpun yang khusus dibaca pada dua rakaat tersebut.
Tidak mengapa melakukan shalat dhuha empat raka’at dengan sekali salam atau dua kali salam, dan yang lebih utama adalah dengan dua kali salam. Yaitu mengucapkan salam pada setiap dua raka’at, karena sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
Paling sedikit adalah dua raka’at dan paling banyaknya delapan raka’at. Dikatakan pula dua belas raka’at. Didalamnya membaca surat al-Fatihah serta apa yang mudah dari al-Qur’an. Tidak ada riwayat satu bacaanpun yang khusus dibaca pada dua rakaat tersebut.
Tidak mengapa melakukan shalat dhuha empat raka’at dengan sekali salam atau dua kali salam, dan yang lebih utama adalah dengan dua kali salam. Yaitu mengucapkan salam pada setiap dua raka’at, karena sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
“Shalat malam dan siang adalah dua raka’at dua raka’at.” (HR Ahmad,
Abu Dawud Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Syaikh al-Albani
Menshahihkannya).
Para ulama telah sepakat bahwa paling sedikitnya adalah dua raka’at, dan mereka berselisih pendapat mengenai raka’at paling banyak dalam shalat dhuha, satu kelompok dari mereka berpendapat kepada bahwasanya tidak ada batasan untuk jumlah raka’at paling banyak, dan ini adalah pilihan Ibnu Jarir ath-Thabari Radhimahullah, berdasarkan hadits yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata,
Para ulama telah sepakat bahwa paling sedikitnya adalah dua raka’at, dan mereka berselisih pendapat mengenai raka’at paling banyak dalam shalat dhuha, satu kelompok dari mereka berpendapat kepada bahwasanya tidak ada batasan untuk jumlah raka’at paling banyak, dan ini adalah pilihan Ibnu Jarir ath-Thabari Radhimahullah, berdasarkan hadits yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata,
“Adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat dhuha empat raka’at, dan menambah apa yang dikehendaki Allah.”
Seseorang bertanya kepada Aswad bin Yazid, “Berapa raka’at aku shalat dhuha?” Beliau menjawab, “Berapapun semaumu.”
Sebagian besar ulama berpendapat bahwasanya shalat dhuha memiliki jumlah raka’at tertentu, dan mereka berselisih pendapat di dalamnya dengan perselisihan yang banyak, dan yang rajih (benar) adalah shalat dhuha itu dua belas raka’at, karena beberapa dalil, diantaranya, hadits Anas Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
Seseorang bertanya kepada Aswad bin Yazid, “Berapa raka’at aku shalat dhuha?” Beliau menjawab, “Berapapun semaumu.”
Sebagian besar ulama berpendapat bahwasanya shalat dhuha memiliki jumlah raka’at tertentu, dan mereka berselisih pendapat di dalamnya dengan perselisihan yang banyak, dan yang rajih (benar) adalah shalat dhuha itu dua belas raka’at, karena beberapa dalil, diantaranya, hadits Anas Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Barang siapa shalat dhuha dua belas raka’at, maka Allah akan
membangunkan baginya sebuah istana di dalam surga.” (HR. Tirmidzi).
Dan hadits ini memiliki beberapa penguat yang dimana Ibnu Hajar telah menyebutkannya dalam Fathul Bari.
Maka berdasarkan hal tersebut, barang siapa shalat dua raka’at maka telah mencukupinya, dan barangsiapa menambahnya maka lebih baik. Dan yang paling utama adalah tidak menambah lebih dari dua belas raka’at, karena ia merupakan raka’at terbanyak yang sesuai dengan dalil yang shahih. Dan yang paling utama shalat dilakukan sendirian, setiap dua raka’at salam, dan sekali waktu boleh dilakukan dengan berjama’ah.”
Ibnu Wahb telah meriwayatkan dari Malik bahwasanya beliau berkata, “Tidak mengapa seseorang menjadi imam dalam shalat sunnah. Adapun agar menjadi sebuah hal yang terkenal dan manusia berkumpul untuknya, maka tidak boleh.
Yang sunnah dalam shalat malam adalah memanjangkan bacaan dan dalam shalat dhuha adalah meringankannya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Telah disebutkan dalam Shahih Bukhari, dari Ummi Hani’ Radhiallahu ‘Anha,
Dan hadits ini memiliki beberapa penguat yang dimana Ibnu Hajar telah menyebutkannya dalam Fathul Bari.
Maka berdasarkan hal tersebut, barang siapa shalat dua raka’at maka telah mencukupinya, dan barangsiapa menambahnya maka lebih baik. Dan yang paling utama adalah tidak menambah lebih dari dua belas raka’at, karena ia merupakan raka’at terbanyak yang sesuai dengan dalil yang shahih. Dan yang paling utama shalat dilakukan sendirian, setiap dua raka’at salam, dan sekali waktu boleh dilakukan dengan berjama’ah.”
Ibnu Wahb telah meriwayatkan dari Malik bahwasanya beliau berkata, “Tidak mengapa seseorang menjadi imam dalam shalat sunnah. Adapun agar menjadi sebuah hal yang terkenal dan manusia berkumpul untuknya, maka tidak boleh.
Yang sunnah dalam shalat malam adalah memanjangkan bacaan dan dalam shalat dhuha adalah meringankannya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Telah disebutkan dalam Shahih Bukhari, dari Ummi Hani’ Radhiallahu ‘Anha,
“Bahsawanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memasuki rumahnya pada
hari pembukaan kota Makkah, maka beliau mandi dan shalat delapan
raka’at, dan aku belum pernah melihat shalat sama sekali yang lebih
ringan darinya, selain bahwa beliau menyempurnakan ruku’ dan sujudnya”.
Dan kami tidak mengetahui suatu doapun berdasarkan hadits shahih yang dikhususkan untuk shalat dhuha. Sebagian mereka mengatakan apabila selesai dari shalat dhuha, berdoa dengan doa ini,
Dan kami tidak mengetahui suatu doapun berdasarkan hadits shahih yang dikhususkan untuk shalat dhuha. Sebagian mereka mengatakan apabila selesai dari shalat dhuha, berdoa dengan doa ini,
اَللَّهُمَّ إِنَّ الضُّحَى ضُحَاؤُكَ وَالْبَهَاءُ بَهَاؤُكَ وَالْجَمَالُ جَمَالُكَ …
“Ya Allah sesungguhnya Dhuha adalah
dhuhamu, dan kecantikan adalah kecantikanmu, serta keindahan adalah
keindahanmu…”, doa ini tidak ada dasarnya dari As-Sunnah, dan dalam doa
tersebut didalamnya terdapat kekacauan lafadz-lafadznya, memaksakan
(kalimat), serta tawassul yang tidak disyariatkan, maka janganlah berdoa
dengannya.
Tidak wajib membaca surat Adh-Dhuha, tetapi
cukup bagimu membaca di dalam shalat dhuha dengan ayat apa saja yang
mudah dari al-Qur’an. Wallahu a’lam.
Majalah Qiblati Edisi 07 Tahun I
0 komentar:
Posting Komentar