KISAH NYANYIAN THOLA'AL BADRU 'ALAINA


Sya’ir Thola’al Badru ‘Alaina memiliki hubungan yang erat dan seringkali digandingkan dengan kisah Hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Makkah ke Madinah. Dalam masa yang sama, ia turut dijadikan sebagai dalil untuk membolehkan lagu dan musik dengan tujuan dakwah atau hiburan. Malah ia seringkali dinyanyikan oleh masyarakat nusantara terutamanya kalangan Melayu Islam di Malaysia. Ia biasanya dinyanyikan atau dianggap sebagai nasyid ketika hari raya, sambutan maulid Nabi, marhaban, sambutan ulang tahun hijrah (awal Muharram) dan sebagainya.
Apapun, sebenarnya para ulama telah menegaskan bahwa riwayat syai’r tersebut sebenarnya adalah lemah (dha’if). Penyandaran sya’ir tersebut kepada kisah hijrah Nabi sebagaimana yang banyak dilakukan oleh para tukang cerita, para ustadz, film-film rekaan, sebagian kitab-kitab sirah, dan orang-orang sebenarnya perlu ditinjau ulang dengan baik dan adil.

Lafaz sya’ir yang dimaksudkan adalah:
Purnama telah terbit di atas kami, dari Tsaniyatil Wada’…

Dan kami wajib bersyukur, atas apa yang diserukan oleh penyeru kepada Allah...

Syaikh Muhammad ibn ‘Abdullah al-‘Usyan menyatakan, “Imam al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad dari (‘Ubaidillah) Ibn ‘Aisyah. Katanya, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, para wanita dan anak-anak mengucapkan, “(Sya’ir dengan lafaz sebagaimana di atas).”.” (Dala’ilun Nubuwwah, m/s. 506. Muhammad ibn ‘Abdullah al-‘Usyan, Ma Sya’a wa lam Yatsbutu fii as-Sirah an-Nabawiyah, m/s. 87 – Daar Thoyyibah)

Al-Baihaqi juga meriwayatkannya dalam Dala’ilun Nubuwwah pada bab yang lain, yaitu bab orang-orang menyambut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika pulang dari Perang Tabuk. Kemudian al-Baihaqi menyebutkan, “Ini disebutkan oleh para ulama kami ketika beliau tiba di Madinah dari Makkah, dan kami telah menyebutkan pada tempatnya. Bukan ketika beliau tiba di Madinah melalui bukit Tsaniyatul Wada’ ketika beliau datang dari Tabuk, wallahu a’lam. Tetapi kami tetap menyebutkannya di sini (dalam bab ini).” (Muhammad ibn ‘Abdullah al-‘Usyan, Ma Sya’a wa lam Yatsbutu fii as-Sirah an-Nabawiyah, m/s. 87 – Daar Thoyyibah)

Penjelasan Kelemahan Riwayat Sya’ir tersebut:

[Pertama] Al-Hafiz al-‘Iraqi rahimahullah (w806H) mengatakan, “Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Dala’ilun Nubuwwah dari hadist ‘Aisyah, bahwa riwayatnya mu’dhal dan tidak dinyatakan padanya disertakan dengan duff (kompang) atau irama lagu (sebagaimana diutarakan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin – pent.).” (Takhrij al-‘Iraqi dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, 3/252 – Maktabah Syamilah)

* Mu’dhal bermakna pada sanadnya gugur dua atau lebih perawinya secara berurutan.

[Kedua] Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Hadis ini dha’if (lemah). Diriwayatkan oleh Abu al-Hasan al-Khal’i di dalam al-Fawa’id, 59/2. Begitu juga al-Baihaqi dalam Dala’ilun Nubuwwah daripada al-Fadhl ibn al-Habbab. Beliau berkata, “Aku pernah mendengar ‘Abdullah ibn Muhammad daripada ‘Aisyah mengatakan, “(riwayat tersebut).

Sanad ini lemah, para perawinya tsiqah tetapi mu’dhal kerana gugur dari sanadnya tiga orang perawi atau lebih. Ibn ‘Aisyah adalah salah seorang syaikh (guru) Ahmad, tetapi ia menyebutkan secara mursal. Al-Hafiz al’Iraqi juga melemahkannya.” (al-Albani, Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah, 2/63)

Beliau menjelaskan lagi, “Sebagai peringatan, al-Ghazali mengutarakan kisah ini (dalam Ihya’ ‘Ulumuddin) dengan memberi tambahan “disertakan padanya pukulan duff (kompang) dan irama lagu.” Tetapi sebenarnya tambahan tersebut tidak ada asalnya sama sekali sebagaimana diisyaratkan oleh al-Hafiz al-‘Iraqi.” (al-Albani, Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah, 2/63)

Secara keseluruhannya, kisah ini tidak tsabit.” (al-Albani, Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah, 2/63)

[Ketiga] Al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah (w852H) juga mengulas kisah (atau sya’ir) ini dalam Fathul Bari. Beliau mengatakan, “Abu Sa’id mengeluarkan dalam Syaraful Mushthafa dan kami meriwayatkannya dalam Fawaid al-Khal’i dari jalan ‘Ubaidillah ibn ‘Aisyah secara munqathi’ (terputus sanadnya), ketika Nabi memasuki Madinah, kanak-kanak perempuan serentak mengucapkan,

“Purnama telah terbit di atas kami, dari Tsaniyatil Wada’…”

“Dan kami wajib bersyukur, selama yang berdoa mendoakan kepada Allah...”

Ini adalah sanad yang mu’dhal. Kemungkinan peristiwa ini terjadi ketika beliau kembali dari perang Tabuk.
” (Fathul Bari, 7/261-262)

Al-Hafiz Ibnu Hajar juga menyatakan, “ad-Dawudi mengingkari riwayat ini.” (Fathul Bari, 8/128)

[Keempat] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (w751H) dalam Zaadul Ma’ad mengatakan, “Sebahagian perawi telah melakukan kesilapan berkaitan bait sya’ir ini dan mengatakan perkataan tersebut diucapkan ketika beliau tiba di Madinah dari Makkah. Dan ini adalah kekeliruan yang jelas. Karena Tsaniyatil Wada’ adalah tempat yang letaknya dari arah Syam. Manakala orang yang datang dari Makkah menunju Madinah tidak akan melihatnya, juga tidak akan menemui tempat tersebut melainkan jika dia hendak menuju Syam.” (Ibnul Qayyim, Zaadul Ma’ad, 3/480)

[Kelima] Syaikh Muhammad ibn ‘Abdullah al-‘Usyan menyatakan, “Di antara indikasi kelemahan kisah ini, bahwa riwayat-riwayat yang shahih tentang masuknya Nabi ke Madinah ketika hijrah tidak menyebutkan (walaupun secara umum) apapun yang dapat menjadi bukti kebenaran kisah ini.

Bahkan riwayat-riwayat yang shahih menceritakan kata sambutan (jeritan kerana gembira) penduduk Madinah di ketika beliau tiba. (Tidak diceritakan adanya sya’ir atau nyanyian)
"

Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya bab hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat ke Madinah, meriwayatkan hadis Anas ibn Malik. Di dalamnya disebutkan, “Maka di Madinah ada yang mengatakan, “Nabi Allah datang, Nabi Allah datang...” Lalu mereka pun menuju ke tempat yang tinggi untuk melihat. Mereka mengucapkan, “Nabi Allah datang...

Dan dalam hadis Bara’ ibn ‘Azib disebutkan, “... kemudian Nabi datang. Aku tidak pernah melihat penduduk Madinah begitu gembira sebagaimana gembiranya mereka disebabkan kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Malah budak-budak wanita berteriak, “Rasulullah datang!” Dalam riwayat yang lain, “Lalu para lelaki dan wanita naik ke bumbung-bumbung rumah, manakala anak-anak dan para pelayan bertempiran di jalan-jalan. Mereka berteriak, “Ya Muhammad, ya Rasulullah... Ya Muhammad, ya Rasulullah...”.

Ibnu Ishaq yang begitu terkenal sangat teliti dalam mencatat riwayat-riwayat sirah dan mengikuti peristiwa demi peristiwa pun tidak menyebutkan nasyid (lagu) ini dalam cacatan sirahnya.” (Muhammad ibn ‘Abdullah al-‘Usyan, Ma Sya’a wa lam Yatsbutu fii as-Sirah an-Nabawiyah, m/s. 89-90 – Daar Thoyyibah)

Wallahu a’lam.

Sumber
http://fiqh-sunnah.blogspot.com

0 komentar:

Copyright © 2012 BERSAMA MENAMBAH KEIMANAN.