WASPADA dengan FITNAH HARTA
Kategori:
Tazkiyatun Nufus
Pada
asalnya, harta tidaklah tercela. Allah bahkan menyebut harta sebagai “khair” (kebaikan)
dalam Al-Quran.
كُتِبَ
عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ
لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
“Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak (khair), berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.” (QS
Al-Baqarah [2]: 180)
Allah
juga menyebutkan bahwa harta Allah jadikan sebagai “qiyâm”; atau sesuatu yang menopang
kehidupan manusia. Allah berfirman,
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ
اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا
“Dan
janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya (anak
yatim yang belum baligh), harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang
dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan (qiyâman). (QS. An-Nisa [4]: 5)
As-Syaikh
Sa’di –rahimahullah- berkata, “Allah melarang para wali untuk menyerahkan uang
kepada mereka yang belum sempurna akalnya, khawatir mereka akan merusak dan
menghancurkannya. Karena Allah menjadikan harta sebagai pokok kehidupan bagi
hamba-hambanya baik dalam kemaslahatan agama atau dunianya.” (Tasîr al Karîm
1/164)
Kemaslahatan
harta dalam urusan dunia sangat jelas. Adapun kemaslahatannya dalam urusan
agama, maka ia juga sangat banyak. Banyak jenis ibadah yang tidak bisa
dilakukan kecuali dengan harta. Keterbatasan dalam harta bisa menjadi
keterbatasan dalam beribadah. Dalam kendali dan pengaturan orang sholeh, harta
adalah karunia terbaik yang mampu melesatkannya menjadi manusia mulia dan
terhormat, baik dalam pandangan Allah, ataupun dalam pandangan manusia.
Hubungan
dengan Allah akan semakin kuat, karena dengan hartanya seseorang akan lebih
leluasa dalam mencari ilmu dan lebih tenang saat beribadah. Begitupun hubungannya
dengan sesama, ia akan dengan mudah mempererat hubungan persaudaraan dan
pergaulan dengan hartanya seperti dengan banyak memberi hadiah, makanan dan
lain sebagainya.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi bersabda,
نِعْمَ
الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ
“Sebaik-baik harta adalah harta
yang dimiliki oleh orang shaleh.” (HR Bukhari dalam al Adab al
Mufrad: 299, dishahihkan al Albani)
Dari
sisi yang lain, Allah sering mengingatkan, bahwa harta adalah fitnah.
Sebagaimana dengan sebab harta manusia bisa beribadah, dengan sebab harta pula
manusia bisa dengan mudah berbuat kemungkaran. Inilah diantara hikmah mengapa
Allah membatasi rizki-Nya kepada sebagian manusia. Agar manusia tidak melakukan
perbuatan melampaui batas. Allah berfirman,
وَلَوْ بَسَطَ
اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ
بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ
“Dan
jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan
melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya
dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi
Maha Melihat.” (QS
Asy-Syura [42]: 27)
Dengan
harta biasanya manusia menjadi orang yang suka bermewah-mewahan. Dan, Allah
mengabarkan kepada kita bahwa orang-orang yang hidup mewahlah yang selalu
menjadi penentang para utusan Allah.
وَمَا
أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا بِمَا
أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ
“Dan
Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatanpun,
melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya
kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya.” (QS Saba’ [34]: 34)
Disebabkan
harta, perhelatan manusia di dunia dalam mengumpulkan pundi-pundi kehidupan
menjadi begitu ketat. Manusia saling berlomba, saling mengejar, dan tidak
jarang saling menjatuhkan demi memperebutkan “nasib” dunianya. Hidup menjadi
ajang persaingan yang pemenangnya ditentukan oleh banyaknya harta dan kekayaan.
Nasib baik dan keuntungan didasarkan pada perolehan materi semata.
Kecenderungan
inilah yang membuat manusia kerap lupa bahwa ada hak Allah yang harus
ditunaikan dalam sikapnya terhadap harta. Padahal manusia tidak dibenarkan
bersikap rakus, sombong dan berlebih-lebihan dengan harta. Harta merupakan
karunia Allah yang seharusnya disyukuri dengan cara mengusahakan harta itu dari
jalan yang halal dan membelanjakannya pada jalan yang juga diridhoi Allah.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
«مَا ذئبان جَائِعَانِ
أُرسِلاَ في غَنَمٍ بأفسَدَ لها مِنْ حِرصِ المرء على المال والشَّرَف لدينهِ »
“Tidaklah dua serigala lapar
yang menghampiri seekor kambing lebih berbahaya baginya dari ambisi seseorang
kepada harta dan kedudukan bagi agamanya” (HR Tirmidzi no. 2376, ia
berkata: hasan shahih, Ahmad: 3/656)
Sebuah
ilustrasi yang sangat mengena dari Rasulullah untuk menggambarkan rusaknya
agama seorang manusia disebabkan karena ambisi terhadap harta benda dan
kedudukan di dunia. Kerusakan agama yang ditimbulkannya tidak lebih besar dari
bahaya yang mengancam seekor kambing yang didatangi dua serigala lapar dan siap
menerkamnya.
Ibnu
Rajab menjelaskan, orang yang berambisi terhadap harta ada dua jenis:
Pertama, orang yang sangat mencintai
harta, semangat dalam mencarinya dengan cara yang mubah, namun ia berlebihan
dalam mendapatkan dan mengusahakannya. Orang ini tercela dari sisi bahwa semua
usahanya itu bisa jadi sebuah bentuk mensia-siakan hidup, padahal ia seharusnya
bersungguh-sungguh itu dalam mendapatkan kenikmatan akhirat yang abadi. Orang
yang berambisi ini malah mensia-siakannya untuk mencari rizki yang sesungguhnya
terjamin dan sesuatu yang Allah bagi-bagikan, yang tidak datang kecuali
seukuran dengan takdir Allah, harta yang kelak tidak akan mendatangkan manfaat
baginya, ia akan tinggalkan semua itu, dengan tetap hisabnya akan berlaku
atasnya.”
Dikatakan
kepada seorang ahli Hikmah, “Si fulan telah mengumpulkan harta.” lalu ia
berkata, “Apakah ia juga mengumpulkan hari demi hari yang ia berinfak padanya?”
dijawab, “tidak”
Seseorang
berkata, “jika engkau di dunia lemah dalam berbuat kebaikan, maka apa yang
kelak akan engkau perbuat di hari kiamat?”
Ibnu
Mas’ud berkata, “Keyakinan itu adalah engkau tidak meridhai manusia dengan kemurkaan
Allah, tidak memuji seseorang karena rizki Allah, tidak mencela seseorang atas
sesuatu yang Allah tidak berikan kepadamu. Sesungguhnya rizki Allah tidak
diraih dengan ambisi orang yang berambisi dan tidak akan tertolak karena
bencinya orang yang benci. Allah dengan sifat adil dan ilmu-Nya menjadikan ruh (kehidupan yang
hakiki) dan kebahagiaan terdapat pada sifat yakin dan ridha, menjadikan
kesedihan dan gundah gulana pada sifar ragu dan kemurkaan.”
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda kepada sahabatnya Hakim bin Hizam,
«
يَا حَكِيمُ ، إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرٌ حُلْوٌ ، فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ ، وَكَانَ كَالَّذِى يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ ، وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى »
“Wahai Hakim, sesungguhnya harta
ini indah dan manis. Barangsiapa mengambilnya dengan keluasan jiwanya, ia akan
diberkahi pada hartanya. Dan barangsiapa yang mengambilnya dengan tanpa
berlebihan, maka perumpamaannya adalah seperti orang yang makan dan tidak
pernah kenyang.” (HR Bukhari no: 1472, 2750, 3143, Muslim no: 1035)
Kedua, orang yang kondisinya lebih
buruk dari jenis pertama. Ia adalah orang yang berambisi terhadap harta, hingga
mengusahakannya dengan cara-cara yang diharamkan Allah dan menghalanginya untuk
menunaikan kewajiban hartanya. Perutnya penuh dengan harta haram. Merasa harta
yang dimilikinya adalah hasil dari seluruh usahanya, ia menjadi manusia yang
sangat takut kehilangan hartanya. Ia jadi sangat kikir, malas bersedekah dan
individualis. Ia terjerumus pada sikap kikir yang tercela. Padahal Allah
berfirman,
وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan
siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang
beruntung.” (QS
Al-Hasyr [59]: 9)
Dari
Jabir bin Abdillah, bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
وَاتَّقُوا
الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ
“Peliharalah dirimu dari sifat
kikir, karena sifat kikir telah membinasakan orang-orang sebelum kamu. Sifat
itu telah menyuruh mereka memutuskan persaudaraan, maka mereka pun memutuskan
persaudaraan. Sifat itu telah menyebabkan mereka saling membunuh dan
menghalalkan perkara-perkara yang diharamkan (HR Muslim no: 6741) (Lihat Majmû Rasâ`il Ibnu Rajab,
Syarh Hadîts Mâ
Dzi`bâni Jâ`I’âni, Hal. 65 – 69)
Mudah-mudah
Allah senantiasa menjaga kita semua dari fitnah harta yang merugikan. Amin.***Wallâhu a’lam bish-shawâb
Penulis:
Ustadz Abu Khalid Resa Gunarsa, Lc
(Alumni Universitas Al Azhar Mesir, Da’i di Islamic Center Bathah Riyadh KSA)
Artikel
Muslim.Or.Id
0 komentar:
Posting Komentar