ZUBAIR bin AWWAM
Ketika Zubair bin Awwam sedang berada di rumahnya di Makkah, tiba-tiba dia mendengar suara teriakan yang berbunyi, “Muhammad bin ‘Abdullah telah terbunuh!” Mendengar
itu, Zubair pun keluar dalam keadaan telanjang dan tidak mengenakan
sesuatu pun yang menutupi tubuhnya. Dia keluar sambil memegang pedangnya
guna mencari orang yang telah membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena dia ingin membunuh orang tersebut.
Namun betapa bahagia hatinya tatkala dia menemukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih dalam keadaan hidup dan tidak terluka sedikitpun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun merasa heran dengan kondisi Zubair yang telanjang itu, maka beliau bertanya, “Ada apa denganmu, wahai Zubair?”
Zubair menjawab, “Wahai Rasulullah , tadi aku mendengar berita bahwa engkau telah terbunuh.”
Zubair menjawab, “Wahai Rasulullah , tadi aku mendengar berita bahwa engkau telah terbunuh.”
Sembari tersenyum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Lalu apa yang akan kamu perbuat, wahai Zubair ?”
Zubair menjawab, “Aku akan membunuh semua penduduk Makkah (maksudnya orang-orang kafir ).”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun merasa gembira mendengar hal itu, lalu beliau berdoa agar Zubair mendapatkan kebaikan dan pedangnya mendapatkan kemenangan.
Pedang Zubair ini merupakan pedang yang pertama kali dihunuskan dalam
rangka berjuang di jalan Allah. Sementara tentara Islam pertama yang
berjuang di jalan Allah adalah Zubair bin Awwam bin Khuwailid radhiyallahu ‘anhu, putra dari bibi Rasulullah yang bernama Shafiyah binti ‘Abdil Muthalib.
Meskipun usia Zubair masih terbilang kecil, tetapi dia telah masuk
Islam, yaitu ketika dia masih berada di Makkah. Saat itu usianya masih
delapan tahun. Akan tetapi, iman tidak membedakan antara anak kecil dan
orang dewasa, karena iman hanya akan masuk ke dalam hati yang suci dan
bersih.
Seperti yang biasa terjadi di Makkah, dimana seseorang yang beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya akan merasakan berbagai macam siksaan dan
penderitaan, maka Zubair pun jatuh ke dalam “api” siksaan yang pedih
itu. Ketika paman Zubair mengetahui keislaman Zubair, sang paman pun
memasukkan tubuh Zubair ke dalam lipatan tikar yang terbuat dari
dedaunan, lalu menyalakan api di bawah gulungan tikar tersebut hingga
asap tebal pun naik ke atas. Hal ini menyebabkan Zubair hampir meninggal
dunia karena merasa sesak nafas. Akan tetapi, dia tidak akan pernah
kembali kepada “api” kekufuran setelah dia dibina di dalam “surga” iman.
Maka, api yang telah dinyalakan oleh sang paman itu pun terasa olehnya
seperti sebuah naungan yang menaunginya. Sungguh, cahaya iman telah
menerangi hatinya, sehingga dia pun tidak lagi peduli dengan berbagai
penderitaan dan siksaan yang dihadapinya saat berjuang di jalan Allah .
Maka suara keras pun terdengar dari mulut Zubair guna membalas ajakan
pamannya itu. Dia berkata, “ Demi Allah , aku tidak akan kembali lagi kepada kekufuran untuk selama-lamanya.”
Zubair tetap bersikukuh untuk mempertahankan keislamannya, sehingga
siksaan dari orang-orang musyrik yang ditujukan kepadanya semakin hebat.
Karenanya, ketika kaum muslimin berhijrah ke Habasyah, Zubair pun ikut
berhijrah kesana sebanyak dua kali. Akan tetapi, dia tidak kuat berada
jauh dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kerinduannya kepada beliau semakin dahsyat, maka dia pun kembali ke
Makkah agar bisa merasakan beratnya penderitaan dan cobaan di Makkah
bersama Rasulullah .
Zubair kemudian berhijrah bersama kaum muslimin ke Madinah dengan
tujuan agar dia dapat memulai perjuangannya di jalan Allah melawan
pasukan kemusyrikan dan kekafiran.
Kaum muslimin berjumah 317 orang keluar menuju ke arah Badar untuk
bertempur melawan pasukan kaum musyrikin dalam sebuah peperangan yang
terbesar dalam Islam. Jumlah kaum musyrikin pada saat itu adalah 1000
orang. Dengan demikian, setiap pejuang dari kaum muslimin harus
berhadapan dengan tiga orang dari pasukan kaum musyrikin. Akan tetapi,
kekuatan seorang laki-laki dari kaum muslimin pada saat itu sama dengan
kekuatan seribu orang pasukan berkuda.
Saai itu Zubair radhiyallahu ‘anhu mengenakan mantel berwarna kuning. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memposisikan Zubair pada sayap kanan pasukan karena beliau telah
mengetahui keberanian dan kekuatan Zubair. Pada hari terjadinya perang
Badar ini, Zubair telah di uji oleh Allah dengan ujian yang baik.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat orang seperti Zubair, lalu beliau bersabda kepadanya, “Perangilah mereka, wahai Zubair!”
Orang itu menjawab, “Aku bukan Zubair.”
Rasulullah pun akhirnya tahu bahwa orang itu merupakan salah satu
malaikat yang telah diturunkan oleh Allah dalam sosok Zubair
radhiyallahu ‘anhu. Sementara pada hari terjadinya perang Uhud, Zubair
termasuk salah seorang yang tetap berada di sekeliling Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Saat itu dia berusaha membela beliau dari serangan kaum musyrikin.
Selanjutnya, setelah terjadinya perang Uhud, Zubair bersama Abu Bakar
radhiyallahu ‘anhu berjalan membuntuti pasukan kaum musyrikin dengan
tujuan mengusir mereka. Kaum musyrikin pun merasa takut, lalu mereka
segera kembali ke Makkah, ketika mereka melihat Zubair, seorang pasukan
berkuda yang terkenal di Makkah dan seorang tentara Islam.
Adapun pada perang Khandaq, kondisi kaum muslimin sangat buruk.
Bahkan setiap orang diantara mereka tidak bisa masuk ke toilet karena
pengepungan yang dilakukan terhadap mereka sangat ketat, sehingga mereka
takut terbunuh. Kondisi semakin memburuk ketika kaum Yahudi Bani
Quraidhah mengingkari perjanjian mereka dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka membuka peluang lebar bagi kaum musyrikin untuk masuk ke Madinah. Karenanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru kepada kaum muslimin, “Siapa yang akan pergi ke Bani Quraidhah untuk memerangi mereka?”
Melihat situasi yang menakutkan ini, tidak ada seorang pun dari kaum
muslimin yang mau keluar untuk memerangi mereka. Saat itu Zubair
berdiri, lalu berkata, “Akulah yang akan keluar, wahai Rasulullah !”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi seruannya itu, tetapi tidak ada seorang pun yang mau keluar, kecuali Zubair. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda , “Demi ayah dan ibuku, sesungguhnya setiap Nabi mempunyai Hawari (pengikut setia) dan Hawariku adalah Zubair.”
Sejak hari itu Zubair pun menjadi hawari (pengikut setia) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Zubair keluar untuk memerangi Bani Quraidhah. Saat itu Zubair
mengetahui bahwa ibunya, Shafiyyah, telah membunuh seorang laki-laki
Yahudi yang memata-matai kaum muslimin dari kalangan wanita.
Demikianlah, sang anak dan ibunya sama-sama berjuang untuk memberikan
pengabdian kepada agama Allah.
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, tampuk kekhilafahan dipegang oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu, dan setelah itu diteruskan oleh ‘Umar bin Khaththab.
Pada masa-masa itu Zubair radhiyallahu ‘anhu merupakan salah seorang
tentara Islam yang kuat yang selalu berdiri di barisan terdepan dengan
harapan agar negeri-negeri yang musyrik dapat di taklukan, lalu para
penduduknya pun mau masuk Islam dan selamat dari “api” kekufuran.
Zubair pergi sambil menghunuskan pedangnya. Dia dapat mengalahkan
kaum musyrikin dan menaklukan sejumlah negeri, lalu para penduduk di
negeri-negeri tersebut pun masuk ke dalam agama Allah secara
berbondong-bondong.
Saat menaklukan sejumlah negeri itu, Zubair teringat akan hari
terjadinya perang melawan Bani Quraidhah, maka dia pun berteriak sambil
berkata, “Ini adalah hari seperti hari (keberuntungan) Hamzah,
dimana (saat itu) dia telah naik ke atas benteng dengan ditemani oleh
‘Ali bin Abi Thalib, lalu mereka berdua pun berhasil membuka
benteng-benteng kaum Yahudi.”
Peristiwa gugurnya Hamzah bin ‘Abdul Muthalib yang merupakan paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
(dari pihak ayah), singa Allah dan rasul-Nya, serta paman Zubair (dari
pihak ibu), masih terus teringat dalam ingatan Zubair hingga Zubair
meninggal dunia. Ketika dia memasuki medan peperangan, dia teringat akan
sosok Hamzah yang sedang berperang melawan orang-orang musyrik seperti
seekor singa yang perkasa.
Pada perang Yarmuk yang dilakukan guna menaklukan negeri Syam,
teriakan Zubair memiliki kekuatan yang sama dengan kekuatan satu
rombongan pasukan, hingga musuh-musuh Allah yang ada di hadapannya pun
mengalami kekalahan dan lari terbirit-birit seperti larinya tikus-tikus
yang ketakutan.
Diantara hal baik yang diterima oleh Zubair radhiyallahu ‘anhu adalah
bahwa dirinya termasuk ke dalam rombongan pasukan yang di pimpin oleh
‘Amr bin ‘Ash yang datang ke Mesir guna menaklukan negeri tersebut dan
memasukkan agama Islam ke dalamnya.
Ketika sampai di depan benteng Babilonia, kaum muslimin berhenti.
Usaha mereka guna menjebol benteng yang kokoh ini hampir habis, padahal
mereka belum bisa menaklukkannya. Pengepungan terhadap benteng tersebut
dilakukan selama berbulan-bulan, hingga Zubair memperlihatkan suatu
tindakan yang menarik yang menunjukkan sikap kepahlawanannya.
Zubair berkata kepada kaum mukminin, “Sesungguhnya aku mempersembahkan jiwaku ini untuk Allah. Aku berharap agar Allah menaklukan benteng itu untuk kaum muslimin.”
Zubair meletakkan sebuah tangga ke dinding benteng tersebut, lalu dia
naik ke atasnya. Sebelum naik, dia berpesan kepada rekan-rekannya, “Jika kalian mendengar bacaan takbirku, maka bertakbirlah kalian!”
Zubair pun menaiki tangga yang sudah diletakkan di dinding benteng,
lalu kaum muslimin pun mengikuti jejaknya. Ketika Zubair mengucapkan
takbir, kaum muslimin yang berada di belakangnya juga ikut mengucapkan
takbir. Hal ini menyebabkan rasa takut mulai merasuk ke dalam hati
pasukan Romawi. Maka mereka pun meninggalkan benteng tersebut. Akhirnya,
Zubair radhiyallahu ‘anhu berhasil menaklukan benteng itu seorang diri.
Setelah itu, seluruh wilayah Mesir pun berhasil ditaklukan satu per
satu.
Kaum muslimin telah mengetahui betapa besarnya pengorbanan dan
perjuangan Zubair. Bahkan salah seorang dari kaum muslimin pernah
berkata, “Sungguh aku telah melihat dada Zubair, dan sungguh pada
dadanya itu terdapat goresan-goresan akibat sabetan pedang dan tusukan
tombak yang menyerupai aliran-aliran air.”
Kerinduan Zubair bin Awwam untuk syahid
Zubair radhiyallahu ‘anhu sangat merindukan derajat gugur sebagai
syahid dan mati di jalan Allah. Setiapkali dia memasuki medan
peperangan, dia selalu menggenggam ruhnya di telapak tangannya (
maksudnya dia telah siap untuk mati). Akan tetapi, selama mengikuti
sejumlah peperangan dalam Islam, Zubair radhiyallahu ‘anhu tidak pernah
terbunuh.
Karena sangat besar rasa cinta dan kerinduannya kepada derajat gugur
sebagai syahid, Zubair pun menamai anak-anaknya dengan nama-nama para
syuhada. Dia menamai putranya dengan nama ‘Abdullah dengan maksud meniru
nama ‘Abdullah bin Jahsy, orang yang pertama kali dijuluki julukan
Amirul Mukminin dan salah seorang yang gugur sebagai syahid dalam perang
Uhud. Putranya yang bernama Mush’ab telah dinamai dengan nama tersebut
dengan makud mencontoh nama Mush’ab bin Umair, seorang yang gugur
sebagai syahid dalam perang Uhud dan orang yang pertama kali menjadi
delegasi dalam Islam. Sementara putranya yang bernama Hamzah, dinamai
dengan nama tersebut dengan maksud mencontoh nama singa Allah dan
rasul-Nya, yaitu Hamzah bin Abi Muthalib. Demikian pula dengan nama
anak-anaknya yang lain.
Seperti halnya dengan Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu,
Zubair adalah orang kaya, dermawan, sering bershadaqah, dan telah
membagikan seluruh hartanya kepada orang-orang fakir, sehingga dia tidak
meninggalkan sedikitpun dari hartanya itu untuk dirinya sendiri. Bahkan
dia telah mencurahkan jiwa dan hartanya di jalan Allah .
Zubair dan Thalhah bin Ubaidillah hidup dalam keadaan keduanya saling bersaudara karena Allah , hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “ Thalhah dan Zubair adalah dua tetanggaku di surga (nanti).”
Setelah terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, Zubair dan
Thalhah berperang melawan ‘Ali bin Abi Thalib dalam sebuah peperangan
yang dinamakan dengan perang Jamal. ‘Ali pun keluar untuk menemui
Zubair, lalu dia berkata kepadanya, “Wahai Zubair, tidaklah kamu
mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
ditujukkan kepada dirimu : ‘ Sesungguhnya kamu akan memerangi ‘Ali (saat
itu) kamu berbuat zhalim kepadanya.’”’
Setelah mendengar perkataan ‘Ali itu, Zubair langsung teringat akan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, maka dia bersama Thalhah bin Ubaidillah pun segera mundur dari medan pertempuran.
Akan tetapi, para pembuat fitnah (kerusuhan) menolak untuk mundur,
kecuali setelah mereka membunuh Zubair dan Thalhah. Pertama kali mereka
membunuh Thalhah ; dan tatkala Zubair sedang mengerjakan shalat,
tiba-tiba seorang laki-laki yang biasa dipangil dengan nama Ibnu Jurmuz
melemparkan anak panahnya ke arah Zubair, hingga akhirnya Zubair pun
terbunuh.
Selanjutnya, Ibnu Jurmuz pergi ke tempat ‘Ali bin Abi Thalib dengan maksud untuk menemuinya. ‘Ali berkata, “Sungguh
aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‘ Berilah kabar buruk kepada orang yang membunuh Ibnu Shaffiyah
–maksudnya Zubair- bahwa dia akan masuk neraka.’”
‘Ali radhiyallahu ‘anhu pergi untuk melihat jenazah Zubair
yang telah berlumuran darah. ‘Ali membalikkan jenazah Zubair itu guna
menciumnya. Saat itu dia menangis sambil berkata : ” Demi Allah , sungguh dia adalah pedang Allah yang selalu membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Jasad Zubair pun dikuburkan di samping jasad Thalhah agar mereka
berdua dapat saling berdampingan di dalam kubur, sebagaimana ketika
berada di dunia. Mereka telah menjadi dua orang yang saling bersaudara,
lalu mereka berdua akan menjadi tetangga Rasulullah di dalam surga,
sebagaimana sabda beliau, “Thalhah dan Zubair adalah dua tetanggaku di surga.”
Peristiwa pembunuhan Zubair bin Awwam ini juga terjadi pada tahun ke-26 Hijriyah.
Sumber: Kisah Teladan 20 Sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk Anak, Dr. Hamid Ahmad Ath-Thahir, Irsyad Baitus Salam, 2006 (Dipublikasikan ulang oleh Kisah Muslim)
Artikel www.KisahMuslim.com
0 komentar:
Posting Komentar