FATHU MAKKAH, Hari yang Ditunggu
Fathu Makkah, Hari yang Ditunggu
Tatkala bangsa Arab melihat pertempuran antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan kaumnya (kabilah Quraisy), mereka berkata, “Biarkan Muhammad
berperang melawan kaumnya sendiri, jika dia menang, maka benar bahwa
dirinya seorang nabi dan sekaligus kebanggaan bagi kita bangsa Arab dari
umat yang lain. Dan jika sebaliknya dia kalah, maka kita telah selamat
dari kedustaannya.”
Di sisi lain, ada golongan yang menunggu untuk masuk Islam apabila
semua umat manusia telah masuk Islam. Oleh karena itu, mereka menunggu fathu makkah
(penaklukan Mekah). Sebab kebanyakan manusia taklid dan mengekor pada
manusia yang lain tanpa menilai kebenaran yang hakiki dengan akalnya
yang lurus dan dalil.
Sikap semacam ini tentunya baik, akan tetapi yang lebih baik adalah
menilai kebenaran Islam dan memeluknya karena dalil yang menunjukkan
kebenarannya dan tidak bergantung pada kebanyakan orang. Oleh karena
itu, tidak sama derajat mereka yang masuk Islam pada awal dakwah dengan
mereka yang masuk Islam pada akhir masa dakwah Rasulullah. Tidak sama
antara yang berkorban dengan jiwa dan harta dalam Islam ketimbang
lainnya. Tidak sama antara yang masuk Islam dan berjihad fi sabilillah sebelum fathu makkah dengan yang berjihad sesudahnya. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
لاَيَسْتَوِى مِنكُم مَّنْ أَنفَقَ مِن قَبْلِ الْفَتْحِ
وَقَاتَلَ أُولاَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنفَقُوا مِن
بَعْدُ وَقَاتَلُوا
“Tidak sama antara kalian yang berinfaq dan berperang sebelum fathu makkah atau hudaibiyah, mereka itu lebih tinggi derajatnya daripada mereka yang berinfaq dan berperang sesudahnya.” (QS. Al-Hadid: 10)
Amru bin Salimah berkata, “Kaum Arab menunda keislaman mereka karena menanti fathu makkah. Maka tatkala terjadi fathu makkah, setiap kabilah bersegera masuk Islam dan bapakku segera mendahului kaumku masuk Islam.” (Diriwayatkan Bukhari, 4302)
Para musuh yang memerangi kenabian menyangka akan mengalahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka yang dikehendaki hidayah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala menunggu kemenangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dia masuk Islam.
Fathu makkah artinya pembebasan Mekah dari negeri kufur menjadi negeri Islam. Pada hari itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menolong dan memenangkan tentara-Nya serta memberantas kekafiran (nasrullah wal fathu) sebagaimana dalam surat An-Nashr.
Dahulu sebagian sahabat mengeluhkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
beratnya siksaan Quraisy terhadap mereka dan memohon keada beliau agar
berdoa kepada Allah supaya menyegerakan kemenangan akan tetapi
Rasulullah menjawab, “Sungguh agama ini akan jaya akan tetapi kalian terburu-buru”.
Rasulullah mentarbiyah sahabatnya dengan pengorbanan dan kesabaran
karena buahnya pasti tercapai sekalipun lama. Lihatlah buah dari
perjuangan dan kesabaran mereka tercapai setelah 21 tahun dalam
berdakwah dan jihad fi sabilillah.
Sebab Terjadinya Fathu Makkah
Telah kita ketahui bahwa dalam perjanjian damai di Hudaibiyah pada
tahun ke-6 Hijriah terjadi kesepakatan antara Quraisy dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
di antaranya: Gencatan senjata selama 10 tahun dan boleh bagi siapa
saja yang hendak bersekutu dengan Nabi Muhammad atau Quraisy. Maka Bani
Bakr bergabung dengan Quraisy sedangkan bani Khuza’ah bergabung dengan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua belah pihak berada di masa itu dalam keadaan aman dan damai
tanpa perang. Akan tetapi, kaum kafir yang menghalalkan segala sesuatu
tidak mungkin iltizam (komitmen) dan memelihara
perdamaian. Setelah berlalu setahun lebih Bani Bakr bersekutu dengan
Quraisy memerangi Bani Khuza’ah sekutu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
atas dasar permusuhan masa lampau antara kedua kabilah tersebut. Mereka
dibantu oleh Quraisy dengan harta, senjata, dan tentara karena dendam
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan demikian, maka mereka telah melanggar perjanjian Hudaibiyah dan mengobarkan api peperangan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bani Khuza’ah segera berangkat ke Madinah meminta pertolongan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau mengabulkan permohonan mereka.
Quraisy Menyesal
Tindakan Quraisy membantu sekutu mereka dalam memerangi sekutu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menujukkan bahwa mereka telah melanggar perdamaian Hudaibiyah dan
mereka menyadari akan hal ini. Mereka menyesal dan takut kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan akibat yang akan timbul dari ulah mereka tersebut. Oleh karena itu, mereka segera mengirim Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu (yang waktu itu masih kafir, red.) ke Madinah dengan tujuan untuk memperbarahui akad perdamaian damai.
Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu berangkat menuju ke Madinah untuk memohan maaf kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memperbaiki perdamaian, tetapi sesampainya di Madinah, ia tidak bertemu langsung dengan Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena malu dan keberatan. Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu menemui Abu Bakar radhiallahu ‘anhu agar beliau menjadi duta atau perantara dirinya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu kepada Umar radhiallahu ‘anhu, lalu kepada Ali dan Fatimah radhiallahu ‘anhu, tetapi mereka semua menolak. Sikap para sahabat mulia ini menunjukkan bahwa tidak ada wala’ (loyalitas) dan syafaat buat orang-orang kafir.
Diriwayatkan bahwa Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu tatkala sampai di Madinah, masuk ke rumah putrinya, Ummu Habibah radhiallahu ‘anhu Ummul Mukminin –istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam-
dan tatkala hendak duduk di tikar, maka Ummu Habibah melipatnya.
Tindakan tersebut yang membuat bapaknya heran seraya mengatakan, “Apakah
kamu melipat tikar ini karena jelek tidak layak aku duduki ataukah kamu
tidak mengizinkan aku karena kehormatan tikar ini?” Maka Ummu Habibah radhiallahu ‘anhu menjawab, “Ini tikar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ayah tidak pantas mendudukinya sedang ayah seorang musyrik.” Abu Sufyan
mengatakan, “Wahai putriku, sekarang kamu menjadi anak yang durhaka
setelah pisah dengan orang tuamu.” Kemudian dia keluar menemui
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengajaknya
bicara, tetapi beliau diam tidak menjawabnya sedikit pun. Maka Abu
Sufyan kembali ke Mekah dalam keadaan sia-sia dan ini pertanda bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaafkan karena mereka dalam pelanggaran ini.
Rasulullah Menyiapkan Pasukan
Tibalah saatnya untuk memerangi Quraisy dengan hak, dimana selama ini mereka memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya tanpa alasan yang dapat dibenarkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah para
sahabatnya untuk bersiap perang, beliau merahasiakan tujuannya agar
Quraisy tidak bersiap perang, hingga umat Islam kepung negeri mereka.”
Mereka bersiap hinggap terkumpul 10.000 tentara. Tidak ada yang
tertinggal seorang pun dari Muhajirin dan Anshar serta kabilah-kabilah
yang tinggal di dekat Madinah. Bilangan yang sangat banyak ini
menunjukkan betapa besarnya kemenangan Islam selama masa perjanjian
Hudaibiyah (yang disebut oleh Allah dalam Surat Al-Fath sebagai hari
kemengan) yang baru berlangsung kurang dari dua tahun, betapa banyak
yang masuk Islam dalam selang waktu gencatan senjata antara Quraisy dan
kaum muslimin. Pada waktu Perang Ahzab tahun ke-5 pasukan sahabat hanya
sebanyak 3.000 tentara dan yang ikut di Hudaibiyah pada tahun ke-6 hanya
1400 sahabat. Ini menunjukkan pengaruh positif dakwah Islam tatkala
dibiarkan leluasa tanpa dihalangi atau diperangi.
Di tengah perjalanan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan tujuannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
agar menutup semua berita kepada kaum Quraisy sebab beliau menghendaki
penduduk Mekah meneyrah dengan damai dan tidak menghendaki adanya
peperangan terhadap kaumnya di Mekah.
Kisah Hathib bin Abi Balta’ah
Sebagaimana kita ketahui bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat merahasiakan peperangan ini dan berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
agar menutup semua berita kepada kaum Quraisy, sebab beliau menghendaki
penduduk Mekah menyerah dengan damai dan tidak menghendaki adanya
peperangan terhadap kaumnya di Mekah. Akan tetapi, Hathib bin Abi
Balta’ah radhiallahu ‘anhu demi kemaslahatan diri dan
keluarganya mengirim surat ke Mekah lewat seorang wanita memberitahukan
kepada keluarganya dan penduduk Mekah tentang tujuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wahyu datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perbuatan Hathib ini, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada Ali, Zubair, dan Miqdad radhiallahu ‘anhum untuk mengejar wanita tersebut sebelum tiba di Mekah. Seraya berkata, “Berangkatlah kalian hingga sampai di Raudhah Khah, di sana ada seorang wanita membawa surat.”
Tatkala mereka mendapati wanita itu di tempat tersebut, mereka
meminta kepadanya untuk menyerahkan surat tetapi dia mengingkari bahwa
dirinya tidak membawa surat, maka mereka mengatakan, “Keluarkan surat
itu atau kami buka pakaianmu.” Lalu dia (wanita itu) mengeluarkannya
dari jalinan rambutnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Hathib radhiallahu ‘anhu, “Kenapa engkau melakukan ini, wahai Hathib?”
Dia menjawab, “Saya tidak melakukannya karena murtad atau cinta
kekafiran, tetapi saya hendak memiliki penolong dari Quraisy yang dapat
menjaga kerabat saya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia jujur.” Adapun Umar radhiallahu ‘anhu berkata, “Izinkan saya bunuh orang munafik ini, wahai Rasulullah.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Sesungguhnya
dia ikut Perang Badar. Tahukah kamu, sesungguhnya Allah berkata,
‘Beramallah kalian hai ahli badar, sungguh Aku telah mengampuni dosa
kalian’.” Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat,
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian menjadikan
musuh-Ku dan musuh kalian sebagai wali yang kalian cintai padahal mereka
kafir.” (QS. Al-Mumtahanan: 1)
Maka Umar radhiallahu ‘anhu menangis menyesali perkataannya tersebut.
Mereka berangkat pada bulan Ramadhan tahun ke-8 dalam keadaan berpuasa hingga tiba di Kudaid lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka dan menyuruh para sahabat untuk berbuka puasa.
Sebagaimana biasa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala meninggalkan Madinah, maka beliau memilih khalifah di Madinah Abu Ruhmin Kulsum bin Hushain.
Pembesar Quraisy Masuk Islam
Sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
pasukannya tiba di Mekah beberapa tokoh Quraisy bertemu beliau untuk
masuk Islam yang semula mereka akan menuju ke Madinah di antaranya Abu
Sufyan bin Haris sepupu beliau dan Abdullah bin Abi Umayyah radhiallahu ‘anhu –dahulu bersama Abu Jahal- menghalangi Abu Thalib mengatakan syahadat.
Juga paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Abbas radhiallahu ‘anhu, bersama keluarganya bertemu dengan beliau untuk hijrah ke Madinah. Abbas radhiallahu ‘anhu telah masuk Islam sebelum itu, tetapi beliau tetap tinggal di Mekah karena maslahat dakwah.
Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Sesungguhnya Abbas radhiallahu ‘anhu
telah masuk Islam sebelum Perang Khaibar pada tahun ke-6, tetapi beliau
menyembunyikan Islamnya karena maslahat dakwah dan menjadi mata-mata
bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Quraisy di Mekah.”
Ibnu Hajar berkata, “Sesungguhnya Umar radhiallahu ‘anhu tidak memasukkan Abbas radhiallahu ‘anhu dalam anggota majlis syura karena beliau tidak hijrah sebelum fathu makkah padahal Umar radhiallahu ‘anhu mengetahui keutamaannya dan pernah bertawassul dengannya dalam istiqa.
Pelajaran dari Kisah
Sesungguhnya dalam kisah para sahabat terdapat ibrah (pelajaran) bagi orang-orang yang datang sesudah mereka. Di antara ibrah yang kita ambil dari kisah dia atas antara lain:
- Abu Sufyan tidak memaksakan kehendaknya pada putrinya dengan melarangnya menikah dengan Rasulullah dan tidak menghukum anaknya ketika melipat tikar padahal dia pembesar Quraisy dan tokoh kufur.
- Wala’ hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya sekalipun kerabat atau manusia murka.
- Semua yang terjadi pada sahabat, meski tampaknya tidak baik, atas kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menjelaskan hukum syariat berkaitan dengan peristiwa tesebut, seperti kisah Hathib radhiallahu ‘anhu.
- Fathu makkah menyingkap tabir syubhat yang menghalangi manusia dari Islam, maka tidak ada kebaikan bagi yang tidak masuk Islam setelah fathu makkah hingga akhir zaman.
- Seorang yang mulia terkadang melakukan pelanggaran namun tidak kafir karenanya, sebab kejelakannya tenggelam dalam lautan kebaikannya.
Lihat Sirah Nabawiyyah oleh Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad: 535-541.
Sumber: Majalah Al-Furqon Edisi 8 Tahun Ke-11 1433
Artikel www.KisahMuslim.com
0 komentar:
Posting Komentar