ASMA' BINTI ABU BAKAR, teladan wanita muslimah
Sungguh, riwayat hidup shahabat wanita yang satu ini penuh dengan episode kepahlawanan dan potret yang memancarkan iman.
Ketika beliau memeluk Islam, baru ada 17 orang yang menjadi pembela agama ini.
Dan tatkala menemani Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk pergi berhijrah, ayahnya yang tak lain adalah Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu, membawa seluruh hartanya untuk dibelanjakan demi keperluan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Karena sejak awal slogan Abu Bakar ketika ditanya apa yang kau sisakan untuk keluargamu adalah jawabannya, “Ku sisakan untuk mereka Allah dan RasulNya.”
Mengetahui hal itu, kakek Asma’ yang pada saat itu belum masuk Islam dan dia dalam kondisi buta, datang menemui Asma’ dan berkata, “Menurutku bapakmu pasti menyusahkan kalian dengan membawa seluruh hartanya sebagaimana dia menyusahkan kalian dengan perbuatan yang dia lakukan.”
Mendengar kalimat ini, Asma’ merasa tidak rela jika ada seorang muslim yang dianggap menyia-nyiakan anggota keluarganya, padahal orang tersebut menjaga keluarganya dengan jaminan penjagaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu Asma’ mengambil banyak batu yang ditutupi dengan sebuah kain supaya kakeknya menyangka kalau itu adalah potongan emas dan perak. Setelah memegang batu-batu tersebut sang kakek mengatakan, “Tidaklah masalah jika dia telah meninggalkan untuk kalian sebanyak ini, sungguh dia telah bersikap dengan benar.”
Demikianlah yang sering terjadi dalam kehidupan. Dimana kelalaian terhadap Allah membuat banyak orang mengira, bahwa menjaga keluarga itu hanya dengan harta, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik penjaga. Dalam satu hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda, “Wahai Aisyah, seandainya aku mau, tentu gunung-gunung emas akan berjalan mengiringiku kemanapun aku pergi.”
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berangkat berhijrah ke Madinah, kaum Quraisy mengintai dan mengikuti semua gerak-gerik beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Sejarah mencatat langkah-langkah Rasulullah dan shahabatnya, Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu, tatkala meninggalkan Makkah untuk menyongsong masa depan dakwah Islam yang cemerlang, yang tampak jelas di pelupuk mata keduanya.
Perjalanan hijrah tersebut penuh dengan bantuan dan pertolongan Allah. Dalam peristiwa yang sangat menegangkan itu, tidak ada seorang pun di kota Makkah yang mengetahui keberadaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kecuali seorang laki-laki yaitu Ali Radhiallahu ‘Anhu, dan seorang perempuan yaitu Asma’ binti Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu.
Diceritakan bahwa orang-orang Quraisy berhasil mengetahui hal itu. Karenanya, Abu Jahal bergegas mendatangi rumah Asma’ dan menggedor pintunya. Meskipun dalam kondisi hamil, tanpa rasa takut sedikitpun, Asma membuka pintu di hadapan musuh Allah yang sedang dikuasai nafsu amarahnya.
Dengan kasar, Abu Jahal memaksa Asma’ untuk membocorkan tempat persembunyian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tapi, dengan keimanan yang membaja, Asma’ menolak permintaan Abu Jahal itu. Sehingga kemarahan Abu Jahal tak terkendalikan lagi. Dia lalu memukul dan menampar wanita mulia tersebut.
Asma’, sang pemberani, tak bergeming sedikitpun oleh tamparan orang yang begitu ingkar kepada Allah. Sehingga Abu Jahal terpaksa berlalu tanpa mendapat informasi sedikitpun tentang persembunyian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Wanita mulia ini mendapat tugas mengantar bekal dan makanan untuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Untuk menyelesaikan tugas ini, beliau rela berjalan kaki di atas pasir yang panas, atau di tengah kegelapan malam yang kelam. Walau, kadangkala, rasa takut tiba-tiba menyerangnya. Kekuatan iman telah mendorongnya, sebagaimana cahaya kenabian selalu menerangi jalannya.
Terpampang di pelupuk mata wanita ini, munculnya cahaya Islam dan tegaknya sebuah negara yang penuh dengan iman, kebajikan dan cahaya kebenaran. Kekuatan iman telah memangkas habis semua rasa takut yang membayangi wanita ini. Bagaimana tidak, tidakkah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengajari para shahabatnya dengan sabdanya, “Tiga hal, barangsiapa memilikinya maka dia akan merasakan manisnya iman. Pertama, Allah dan RasulNya lebih dia cintai dari segala-galanya. Kedua, memiliki rasa cinta dan benci karena Allah semata. Ketiga, seandainya ada api yang berkobar-kobar kemudian dia dilempar ke dalamnya itu lebih disukai daripada menyekutukan Allah dengan yang lainnya.” (HR. Bukhari, Iman 16; Muslim, Iman 43; Nasai, Iman dan Syariatnya 4987; redaksi milik Nasai)
Suatu ketika, disaat menyiapkan makanan untuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Abu Bakar, wanita yang mulia tersebut berfikir tentang cara mengikat bekal makanan yang sudah disiapkan tersebut. Akhirnya, dia memutuskan untuk mengambil sebuah kain kerudung, lalu merobeknya menjadi dua bagian. Satu bagian, untuk bekal makanan dan yang satu lagi digunakan sebagai ikat pinggang. Peristiwa tersebut membuat beliau mendapat sebuah gelar baru, yaitu dzatu an-nitoqaini, yang bermakna wanita yang memiliki dua ikat pinggang. Demikianlah sebuah gelar kehormatan yang dihadiahkan untuknya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Asma’ adalah wanita yang hebat, cerdas dan hidup berkecukupan. Akan tetapi, semua itu tidak menyebabkannya menyombongkan diri.
Beliau tumbuh dewasa di lingkungan yang penuh dengan cahaya iman, yaitu lingkungan keluarga Abu Bakar as-Shidiq. Suami beliau adalah hawari (pembela) Rasulullah, dan orang yang pertama kali menghunus pedang di jalan Allah, serta salah seorang dari sepuluh orang shahabat yang dijamin masuk surga. Itulah az-Zubair bin al-Awwam Radhiallahu ‘Anhu.
Ketika berhijrah ke Madinah, Asma dalam keadaan hamil. Dan sesampainya di Quba beliau melahirkan. Inilah bayi pertama yang lahir di negeri Islam. Bayi ini diberi nama Abdullah yang kelak akan menjadi seorang mujahid.
Asma’ hidup di kota Madinah bersama suaminya tanpa pernah berkeluh kesah. Beliau adalah seorang wanita yang memiliki kesabaran yang menakjubkan, asalkan demi akidah dan agama.
Demikianlah Asma’ putri as-Shidiq, wanita yang terpercaya menyembunyikan rahasia hijrah Nabi, wanita yang hidupnya penuh dengan jihad, keberanian, dan kepahlawanan.
Pada suatu hari, Ibu Asma’ yang masih musyrik datang ke Madinah. Asma’ merasa senang dengan kedatangannya. Akan tetapi, lidahnya kelu untuk mengucapkan sambutan hangat kepada ibunya. Karena akidah adalah segala-galanya bagi beliau. Karenanya Asma’ meminta Aisyah Radhiallahu ‘Anha untuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan bertanya, “Apakah aku boleh menyambung kekerabatan dengan ibuku, padahal dia masih musyrik?”
Wanita ini merasa khawatir, jika dia menyambut ibunya, hal itu akan bertentangan dengan firman Allah, yang artinya, “Tidaklah kau temukan sekelompok orang yang beriman dengan Allah dan hari akhir mencintai orang yang memusuhi Allah dan RasulNya.”
Pada akhirnya, Aisyah Radhiallahu ‘Anha datang menemui kakaknya dengan membawa jawaban Rasululllah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. “Jalinlah hubungan kekerabatan dengan ibumu dan muliakanlah dirinya.”
Dalam jiwa seorang mukmin, akidah adalah segalanya. Akan tetapi, Islam tidak pernah mengajarkan memutus tali kekerabatan, bahkan Islam memerintahkan umatnya untuk tetap menjalin hubungan kekerabatan.
Dahulu, ketika kaum mukminin masih berada di Makkah, orang-orang Quraisy selalu menyakiti mereka dengan teror dan intimidasi. Namun, ketika kaum muslimin sudah kuat dan memiliki negara yang berdaulat, sedang orang-orang Quraisy justru mengalami kelaparan, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengirim bahan makanan ke Makkah untuk meringankan beban mereka. Benarlah jika firman Allah, yang artinya, “dan tidaklah Kami mengutusmu kecuali sebagai wujud kasih sayang untuk semesta alam.”
Asma’ adalah di antara wanita yang ikut berperang untuk membela Islam dalam peperangan Yarmuk. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Berangkatlah kalian baik dalam keadaan ringan ataupun berat dan berjihadlah dengan harta dan diri kalian di jalan Allah. Hal itu lebih baik untuk kalian jika kalian mengetahuinya.” (QS. at-Taubah)
Kehidupan Asma’ adalah detik-detik yang penuh dengan jihad di jalan Allah, dan sabar menghadapi semua ujian yang menerpa. Suatu kesabaran yang jarang dimiliki oleh kebanyakan.
Suami beliau adalah termasuk shahabat Nabi yang paling miskin. Ketika berhijrah, dia tidak memiliki harta dan tidak pula memiliki tanah. Harta milik Zubair waktu itu hanyalah seekor kuda. Tidak jarang Asma’ mendapat tugas memberi makan untuk kuda ini.
Asma’ juga biasa berjalan dari tempat yang cukup jauh sambil membawa biji-bijian. Sampai di rumah, biji-bijian tersebut beliau tumbuk untuk menjadi makanan kuda milik Zubair.
Suatu hari, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melihat Asma’ yang sedang berjalan kaki. Beliau merasa iba dan kasihan kepadanya. Oleh sebab itu beliau menjerumkan untanya agar supaya Asma’ mau menunggang diatasnya.
Saat mendapat tawaran tersebut, Asma’ lau teringat bahwa suaminya az-Zubair adalah seorang suami yang sangat pencemburu. Oleh karena itu, dia menolak tawaran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Disamping itu, beliau juga merasa malu dengan para shahabat yang menyertai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Asma’ bersabar dengan keadaan ekonomi suaminya yang bekerja sebagai pedagang sebagaimana para shahabat yang lainnya. Meski pada akhirnya Allah melimpahkan rizki kepada suaminya.
Asma’ hidup sampai menginjak usia 100 tahun tanpa ada satupun gigi yang tanggal dan juga tidak mengalami kepikunan sedikitpun. Di masa-masa akhir kehidupan Asma’, penguasa sah yang menjadi Amirul Mukminin untuk daerah Hijaz, Persia, Khurasan, kemudian Mesir adalah Abdullah bin Zubair putra Asma’. Kaum muslimin sepakat untuk menerima Abdullah bin Zubair Radhiallahu ‘Anhuma sebagai penguasa, kecuali beberapa pembesar di daerah Syam (Syiria, Yordania, Palestina, Libanon dan daerah pendudukan Israel).
Para pembesar di Syam tersebut lebih lihai dalam masalah politik daripada Abdullah bin Zubair. Mereka memprovokasi orang-orang awam untuk bertindak sewenang-wenang mencopot kekuasaan Abdullah bin Zubair.
Mereka lalu mengepung Abdullah bin Zubair di Masjidil Haram. Sedang Abdullah bin Zubair menjadikan Ka’bah sebagai benteng beliau. Para penyerang tidak kehabisan akal. Mereka memasang manjanik (semacam ketapel besar) untuk melemparinya dengan berbagai batu besar. Abdullah bin Zubair sempat di tawari untuk lari menyelamatkan diri. Tapi, beliau menolak tawaran tersebut mentah-mentah. Beliau tidak rela mengakhiri hidupnya yang penuh dengan jihad itu dengan sikap seorang pengecut.
Akhirnya Abdullah bin Zubair pergi ke rumah ibunya, Asma’ dan meminta pendapatnya. Ketika itu Asma’ adalah seorang wanita tua yang sudah berusia 100 tahun dan bermata buta karena ketuaan. Abdullah bin Zubair berkata kepada ibunya, “Wahai ibuku, orang-orang sudah meninggalkanku, sampai-sampai isteri dan anakku, tidak ada lagi yang tersisa kecuali sedikit orang yang memiliki ketabahan. Para penyerang menjanjikan kepadaku untuk memberi harta dunia yang kuinginkan asalkan aku mau mengalah dan melepaskan status sebagai penguasa yang sah. Bagaimanakah pendapatmu?”
Dengan tegar sang ibunda berkata; “Engkau, demi Allah, wahai putraku, lebih mengerti tentang dirimu. Jika engkau telah tahu, bahwa dirimu berada di pihak yang benar dan mengajak kepada kebenaran, maka lanjutkanlah. Telah banyak sahabatmu yang berguguran karenanya. Dan janganlah engkau biarkan anak-anak kecil Bani Umayyah itu menginjak-injak lehermu dan mempermainkanmu. Akan tetapi, jika maksudmu hanya untuk mencari harta dunia, maka ketahuilah bahwa dirimu adalah seburuk-buruk manusia. Karena, kau telah hancurkan dirimu dan orang-orang yang bersamamu. Adapun jika kamu mengatakan, “Saya memang dipihak yang benar, tetapi ketika para sahabatku lemah, akupun menjadi lemah”, maka ini bukanlah ucapan orang-orang yang merdeka dan bukan pula ucapan orang yang punya agama. Berapa lama kamu akan bertahan hidup di dunia? Terbunuh lebih baik anakku.”
Abdullah Ibnu Zubair Radhiallahu ‘Anhuma lalu berkata, “Saya takut kalau penduduk Syam itu membunuhku, mereka akan mencincangku dan menyalibku.”
Asma berkata, “Wahai putraku, sesungguhnya kambing yang dikuliti setelah disembelih tidak akan lagi merasa kesakitan. Teruslah anakku, berada diatas kebenaran ini dan mohonlah pertolongan kepada Allah.”
Kemudian Abdullah Ibnu Zubair segera mencium kepala ibunya lalu mengatakan, “Ini adalah pendapatku. Yang saya bawa dan yang membuat saya keluar berperang tidak lain hanyalah rasa marah karena Allah. Sekarang saya bertanya, karena hanya ingin mengetahui pendapat ibu, dan ternyata ibu semakin menambah keyakinan saya. Lihatlah wahai ibu, sesungguhnya aku akan terbunuh hari ini, maka janganlah bersedih, dan serahkanlah semua ini kepada Allah.”
Asma’ menjawab, “Aku berharap semoga kesabaranku atas dirimu adalah suatu kebajikan.” Kemudian melanjutkannya dengan doa, “Ya Allah, aku serahkan ia padaMu dan aku ridha dengan putusanMu, maka berilah aku pahala orang-orang yang bersabar.”
Saat itu, Asma’ menyadari bahwa, setiap huruf dari jawabannya akan mencabut sepotong ruh dan nyawa putranya. Tapi, Asma’ sepenuhnya percaya bahwa umat pembela akidah tidak akan pernah menyerah kalah.
Sang ibu yang buta ini lalu memeluk anaknya ke dadanya, membelai dan menciumnya, sebelum perpisahan yang terakhir.
Setelah itu, Abdullah bin Zubair keluar meninggalkan rumah ibunya dengan menunggang kuda, lalu melanjutkan bertempur sehingga gugur sebagai syahid pada usia 73 tahun pada bulan Jumadal Ula tahun 73 H.
Setelah mengetahui gugurnya putra tercinta, Asma’ keluar meninggalkan rumahnya lalu mendatangi jenazah anaknya yang di salib. Beliau raba-raba tubuh putranya sambil mengatakan, “Sungguh sudah tiba waktu bagi seorang pahlawan ini untuk benar-benar menjadi lelaki sejati.”
Setelah al-Hajjaj Ats-Tsaqafi berhasil membunuh Amirul Mukminin Abdullah Ibnu Zubair, dengan cara memotong lehernya dan menyalib tubuhnya, dia pergi menemui Asma’ untuk menghinakannya dengan mengatakan, “Bagaimana menurutmu tentang apa yang telah aku perbuat terhadap musuh Allah?” Asma menjawab, “Menurutku, kamu telah merusak dunianya, dan dia telah merusak akhiratmu. Ingatlah sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda kepada kami, “Sesungguhnya di tengah kabilah Tsaqif ada seorang pendusta dan seorang perusak kejam haus darah.” Adapun si pendusta maka kami telah melihatnya (maksudnya Mukhtar Ats-Tsaqafi yang mengaku menjadi Nabi). Adapun si perusak kejam yang haus darah, aku yakin kamulah orangnya.” Demi mendengar jawaban itu, Hajjaj lalu keluar tanpa bisa berkomentar.
Asma’ meninggal dunia dua puluh hari setelah kematian putranya, setelah memberi contoh kepada setiap muslim dan muslimah akan arti kepahlawanan, serta mengajari keluarga muslimah bagaimana membawa aqidah dan bersabar atas cobaan, serta bersyukur disaat senang dan susah. Sungguh benar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika beliau bersabda,
Ketika beliau memeluk Islam, baru ada 17 orang yang menjadi pembela agama ini.
Dan tatkala menemani Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk pergi berhijrah, ayahnya yang tak lain adalah Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu, membawa seluruh hartanya untuk dibelanjakan demi keperluan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Karena sejak awal slogan Abu Bakar ketika ditanya apa yang kau sisakan untuk keluargamu adalah jawabannya, “Ku sisakan untuk mereka Allah dan RasulNya.”
Mengetahui hal itu, kakek Asma’ yang pada saat itu belum masuk Islam dan dia dalam kondisi buta, datang menemui Asma’ dan berkata, “Menurutku bapakmu pasti menyusahkan kalian dengan membawa seluruh hartanya sebagaimana dia menyusahkan kalian dengan perbuatan yang dia lakukan.”
Mendengar kalimat ini, Asma’ merasa tidak rela jika ada seorang muslim yang dianggap menyia-nyiakan anggota keluarganya, padahal orang tersebut menjaga keluarganya dengan jaminan penjagaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu Asma’ mengambil banyak batu yang ditutupi dengan sebuah kain supaya kakeknya menyangka kalau itu adalah potongan emas dan perak. Setelah memegang batu-batu tersebut sang kakek mengatakan, “Tidaklah masalah jika dia telah meninggalkan untuk kalian sebanyak ini, sungguh dia telah bersikap dengan benar.”
Demikianlah yang sering terjadi dalam kehidupan. Dimana kelalaian terhadap Allah membuat banyak orang mengira, bahwa menjaga keluarga itu hanya dengan harta, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik penjaga. Dalam satu hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda, “Wahai Aisyah, seandainya aku mau, tentu gunung-gunung emas akan berjalan mengiringiku kemanapun aku pergi.”
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berangkat berhijrah ke Madinah, kaum Quraisy mengintai dan mengikuti semua gerak-gerik beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Sejarah mencatat langkah-langkah Rasulullah dan shahabatnya, Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu, tatkala meninggalkan Makkah untuk menyongsong masa depan dakwah Islam yang cemerlang, yang tampak jelas di pelupuk mata keduanya.
Perjalanan hijrah tersebut penuh dengan bantuan dan pertolongan Allah. Dalam peristiwa yang sangat menegangkan itu, tidak ada seorang pun di kota Makkah yang mengetahui keberadaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kecuali seorang laki-laki yaitu Ali Radhiallahu ‘Anhu, dan seorang perempuan yaitu Asma’ binti Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu.
Diceritakan bahwa orang-orang Quraisy berhasil mengetahui hal itu. Karenanya, Abu Jahal bergegas mendatangi rumah Asma’ dan menggedor pintunya. Meskipun dalam kondisi hamil, tanpa rasa takut sedikitpun, Asma membuka pintu di hadapan musuh Allah yang sedang dikuasai nafsu amarahnya.
Dengan kasar, Abu Jahal memaksa Asma’ untuk membocorkan tempat persembunyian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tapi, dengan keimanan yang membaja, Asma’ menolak permintaan Abu Jahal itu. Sehingga kemarahan Abu Jahal tak terkendalikan lagi. Dia lalu memukul dan menampar wanita mulia tersebut.
Asma’, sang pemberani, tak bergeming sedikitpun oleh tamparan orang yang begitu ingkar kepada Allah. Sehingga Abu Jahal terpaksa berlalu tanpa mendapat informasi sedikitpun tentang persembunyian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Wanita mulia ini mendapat tugas mengantar bekal dan makanan untuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Untuk menyelesaikan tugas ini, beliau rela berjalan kaki di atas pasir yang panas, atau di tengah kegelapan malam yang kelam. Walau, kadangkala, rasa takut tiba-tiba menyerangnya. Kekuatan iman telah mendorongnya, sebagaimana cahaya kenabian selalu menerangi jalannya.
Terpampang di pelupuk mata wanita ini, munculnya cahaya Islam dan tegaknya sebuah negara yang penuh dengan iman, kebajikan dan cahaya kebenaran. Kekuatan iman telah memangkas habis semua rasa takut yang membayangi wanita ini. Bagaimana tidak, tidakkah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengajari para shahabatnya dengan sabdanya, “Tiga hal, barangsiapa memilikinya maka dia akan merasakan manisnya iman. Pertama, Allah dan RasulNya lebih dia cintai dari segala-galanya. Kedua, memiliki rasa cinta dan benci karena Allah semata. Ketiga, seandainya ada api yang berkobar-kobar kemudian dia dilempar ke dalamnya itu lebih disukai daripada menyekutukan Allah dengan yang lainnya.” (HR. Bukhari, Iman 16; Muslim, Iman 43; Nasai, Iman dan Syariatnya 4987; redaksi milik Nasai)
Suatu ketika, disaat menyiapkan makanan untuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Abu Bakar, wanita yang mulia tersebut berfikir tentang cara mengikat bekal makanan yang sudah disiapkan tersebut. Akhirnya, dia memutuskan untuk mengambil sebuah kain kerudung, lalu merobeknya menjadi dua bagian. Satu bagian, untuk bekal makanan dan yang satu lagi digunakan sebagai ikat pinggang. Peristiwa tersebut membuat beliau mendapat sebuah gelar baru, yaitu dzatu an-nitoqaini, yang bermakna wanita yang memiliki dua ikat pinggang. Demikianlah sebuah gelar kehormatan yang dihadiahkan untuknya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Asma’ adalah wanita yang hebat, cerdas dan hidup berkecukupan. Akan tetapi, semua itu tidak menyebabkannya menyombongkan diri.
Beliau tumbuh dewasa di lingkungan yang penuh dengan cahaya iman, yaitu lingkungan keluarga Abu Bakar as-Shidiq. Suami beliau adalah hawari (pembela) Rasulullah, dan orang yang pertama kali menghunus pedang di jalan Allah, serta salah seorang dari sepuluh orang shahabat yang dijamin masuk surga. Itulah az-Zubair bin al-Awwam Radhiallahu ‘Anhu.
Ketika berhijrah ke Madinah, Asma dalam keadaan hamil. Dan sesampainya di Quba beliau melahirkan. Inilah bayi pertama yang lahir di negeri Islam. Bayi ini diberi nama Abdullah yang kelak akan menjadi seorang mujahid.
Asma’ hidup di kota Madinah bersama suaminya tanpa pernah berkeluh kesah. Beliau adalah seorang wanita yang memiliki kesabaran yang menakjubkan, asalkan demi akidah dan agama.
Demikianlah Asma’ putri as-Shidiq, wanita yang terpercaya menyembunyikan rahasia hijrah Nabi, wanita yang hidupnya penuh dengan jihad, keberanian, dan kepahlawanan.
Pada suatu hari, Ibu Asma’ yang masih musyrik datang ke Madinah. Asma’ merasa senang dengan kedatangannya. Akan tetapi, lidahnya kelu untuk mengucapkan sambutan hangat kepada ibunya. Karena akidah adalah segala-galanya bagi beliau. Karenanya Asma’ meminta Aisyah Radhiallahu ‘Anha untuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan bertanya, “Apakah aku boleh menyambung kekerabatan dengan ibuku, padahal dia masih musyrik?”
Wanita ini merasa khawatir, jika dia menyambut ibunya, hal itu akan bertentangan dengan firman Allah, yang artinya, “Tidaklah kau temukan sekelompok orang yang beriman dengan Allah dan hari akhir mencintai orang yang memusuhi Allah dan RasulNya.”
Pada akhirnya, Aisyah Radhiallahu ‘Anha datang menemui kakaknya dengan membawa jawaban Rasululllah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. “Jalinlah hubungan kekerabatan dengan ibumu dan muliakanlah dirinya.”
Dalam jiwa seorang mukmin, akidah adalah segalanya. Akan tetapi, Islam tidak pernah mengajarkan memutus tali kekerabatan, bahkan Islam memerintahkan umatnya untuk tetap menjalin hubungan kekerabatan.
Dahulu, ketika kaum mukminin masih berada di Makkah, orang-orang Quraisy selalu menyakiti mereka dengan teror dan intimidasi. Namun, ketika kaum muslimin sudah kuat dan memiliki negara yang berdaulat, sedang orang-orang Quraisy justru mengalami kelaparan, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengirim bahan makanan ke Makkah untuk meringankan beban mereka. Benarlah jika firman Allah, yang artinya, “dan tidaklah Kami mengutusmu kecuali sebagai wujud kasih sayang untuk semesta alam.”
Asma’ adalah di antara wanita yang ikut berperang untuk membela Islam dalam peperangan Yarmuk. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Berangkatlah kalian baik dalam keadaan ringan ataupun berat dan berjihadlah dengan harta dan diri kalian di jalan Allah. Hal itu lebih baik untuk kalian jika kalian mengetahuinya.” (QS. at-Taubah)
Kehidupan Asma’ adalah detik-detik yang penuh dengan jihad di jalan Allah, dan sabar menghadapi semua ujian yang menerpa. Suatu kesabaran yang jarang dimiliki oleh kebanyakan.
Suami beliau adalah termasuk shahabat Nabi yang paling miskin. Ketika berhijrah, dia tidak memiliki harta dan tidak pula memiliki tanah. Harta milik Zubair waktu itu hanyalah seekor kuda. Tidak jarang Asma’ mendapat tugas memberi makan untuk kuda ini.
Asma’ juga biasa berjalan dari tempat yang cukup jauh sambil membawa biji-bijian. Sampai di rumah, biji-bijian tersebut beliau tumbuk untuk menjadi makanan kuda milik Zubair.
Suatu hari, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melihat Asma’ yang sedang berjalan kaki. Beliau merasa iba dan kasihan kepadanya. Oleh sebab itu beliau menjerumkan untanya agar supaya Asma’ mau menunggang diatasnya.
Saat mendapat tawaran tersebut, Asma’ lau teringat bahwa suaminya az-Zubair adalah seorang suami yang sangat pencemburu. Oleh karena itu, dia menolak tawaran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Disamping itu, beliau juga merasa malu dengan para shahabat yang menyertai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Asma’ bersabar dengan keadaan ekonomi suaminya yang bekerja sebagai pedagang sebagaimana para shahabat yang lainnya. Meski pada akhirnya Allah melimpahkan rizki kepada suaminya.
Asma’ hidup sampai menginjak usia 100 tahun tanpa ada satupun gigi yang tanggal dan juga tidak mengalami kepikunan sedikitpun. Di masa-masa akhir kehidupan Asma’, penguasa sah yang menjadi Amirul Mukminin untuk daerah Hijaz, Persia, Khurasan, kemudian Mesir adalah Abdullah bin Zubair putra Asma’. Kaum muslimin sepakat untuk menerima Abdullah bin Zubair Radhiallahu ‘Anhuma sebagai penguasa, kecuali beberapa pembesar di daerah Syam (Syiria, Yordania, Palestina, Libanon dan daerah pendudukan Israel).
Para pembesar di Syam tersebut lebih lihai dalam masalah politik daripada Abdullah bin Zubair. Mereka memprovokasi orang-orang awam untuk bertindak sewenang-wenang mencopot kekuasaan Abdullah bin Zubair.
Mereka lalu mengepung Abdullah bin Zubair di Masjidil Haram. Sedang Abdullah bin Zubair menjadikan Ka’bah sebagai benteng beliau. Para penyerang tidak kehabisan akal. Mereka memasang manjanik (semacam ketapel besar) untuk melemparinya dengan berbagai batu besar. Abdullah bin Zubair sempat di tawari untuk lari menyelamatkan diri. Tapi, beliau menolak tawaran tersebut mentah-mentah. Beliau tidak rela mengakhiri hidupnya yang penuh dengan jihad itu dengan sikap seorang pengecut.
Akhirnya Abdullah bin Zubair pergi ke rumah ibunya, Asma’ dan meminta pendapatnya. Ketika itu Asma’ adalah seorang wanita tua yang sudah berusia 100 tahun dan bermata buta karena ketuaan. Abdullah bin Zubair berkata kepada ibunya, “Wahai ibuku, orang-orang sudah meninggalkanku, sampai-sampai isteri dan anakku, tidak ada lagi yang tersisa kecuali sedikit orang yang memiliki ketabahan. Para penyerang menjanjikan kepadaku untuk memberi harta dunia yang kuinginkan asalkan aku mau mengalah dan melepaskan status sebagai penguasa yang sah. Bagaimanakah pendapatmu?”
Dengan tegar sang ibunda berkata; “Engkau, demi Allah, wahai putraku, lebih mengerti tentang dirimu. Jika engkau telah tahu, bahwa dirimu berada di pihak yang benar dan mengajak kepada kebenaran, maka lanjutkanlah. Telah banyak sahabatmu yang berguguran karenanya. Dan janganlah engkau biarkan anak-anak kecil Bani Umayyah itu menginjak-injak lehermu dan mempermainkanmu. Akan tetapi, jika maksudmu hanya untuk mencari harta dunia, maka ketahuilah bahwa dirimu adalah seburuk-buruk manusia. Karena, kau telah hancurkan dirimu dan orang-orang yang bersamamu. Adapun jika kamu mengatakan, “Saya memang dipihak yang benar, tetapi ketika para sahabatku lemah, akupun menjadi lemah”, maka ini bukanlah ucapan orang-orang yang merdeka dan bukan pula ucapan orang yang punya agama. Berapa lama kamu akan bertahan hidup di dunia? Terbunuh lebih baik anakku.”
Abdullah Ibnu Zubair Radhiallahu ‘Anhuma lalu berkata, “Saya takut kalau penduduk Syam itu membunuhku, mereka akan mencincangku dan menyalibku.”
Asma berkata, “Wahai putraku, sesungguhnya kambing yang dikuliti setelah disembelih tidak akan lagi merasa kesakitan. Teruslah anakku, berada diatas kebenaran ini dan mohonlah pertolongan kepada Allah.”
Kemudian Abdullah Ibnu Zubair segera mencium kepala ibunya lalu mengatakan, “Ini adalah pendapatku. Yang saya bawa dan yang membuat saya keluar berperang tidak lain hanyalah rasa marah karena Allah. Sekarang saya bertanya, karena hanya ingin mengetahui pendapat ibu, dan ternyata ibu semakin menambah keyakinan saya. Lihatlah wahai ibu, sesungguhnya aku akan terbunuh hari ini, maka janganlah bersedih, dan serahkanlah semua ini kepada Allah.”
Asma’ menjawab, “Aku berharap semoga kesabaranku atas dirimu adalah suatu kebajikan.” Kemudian melanjutkannya dengan doa, “Ya Allah, aku serahkan ia padaMu dan aku ridha dengan putusanMu, maka berilah aku pahala orang-orang yang bersabar.”
Saat itu, Asma’ menyadari bahwa, setiap huruf dari jawabannya akan mencabut sepotong ruh dan nyawa putranya. Tapi, Asma’ sepenuhnya percaya bahwa umat pembela akidah tidak akan pernah menyerah kalah.
Sang ibu yang buta ini lalu memeluk anaknya ke dadanya, membelai dan menciumnya, sebelum perpisahan yang terakhir.
Setelah itu, Abdullah bin Zubair keluar meninggalkan rumah ibunya dengan menunggang kuda, lalu melanjutkan bertempur sehingga gugur sebagai syahid pada usia 73 tahun pada bulan Jumadal Ula tahun 73 H.
Setelah mengetahui gugurnya putra tercinta, Asma’ keluar meninggalkan rumahnya lalu mendatangi jenazah anaknya yang di salib. Beliau raba-raba tubuh putranya sambil mengatakan, “Sungguh sudah tiba waktu bagi seorang pahlawan ini untuk benar-benar menjadi lelaki sejati.”
Setelah al-Hajjaj Ats-Tsaqafi berhasil membunuh Amirul Mukminin Abdullah Ibnu Zubair, dengan cara memotong lehernya dan menyalib tubuhnya, dia pergi menemui Asma’ untuk menghinakannya dengan mengatakan, “Bagaimana menurutmu tentang apa yang telah aku perbuat terhadap musuh Allah?” Asma menjawab, “Menurutku, kamu telah merusak dunianya, dan dia telah merusak akhiratmu. Ingatlah sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda kepada kami, “Sesungguhnya di tengah kabilah Tsaqif ada seorang pendusta dan seorang perusak kejam haus darah.” Adapun si pendusta maka kami telah melihatnya (maksudnya Mukhtar Ats-Tsaqafi yang mengaku menjadi Nabi). Adapun si perusak kejam yang haus darah, aku yakin kamulah orangnya.” Demi mendengar jawaban itu, Hajjaj lalu keluar tanpa bisa berkomentar.
Asma’ meninggal dunia dua puluh hari setelah kematian putranya, setelah memberi contoh kepada setiap muslim dan muslimah akan arti kepahlawanan, serta mengajari keluarga muslimah bagaimana membawa aqidah dan bersabar atas cobaan, serta bersyukur disaat senang dan susah. Sungguh benar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika beliau bersabda,
« لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِيْ ؛
فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَباً مَا بَلَغَ مُدَّ
أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ »
“Janganlah engkau mencela para sahabatku, dikarenakan seandainya
salah seorang diantara kalian bersedekah emas sebesar bukit Uhud
tidaklah menyamai satu mud mereka dan tidak pula setengahnya”. (HR.
Bukhari, Kitab Manakib, 3673; Muslim, Kitab Fadhail Amal, 2540)
Para ulama telah sepakat barang siapa mencela sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam maka dia adalah Zindiq. Dan suatu golongan sesat yang mengklaim dirinya berada diatas manhaj ahlul bait, sementara ahlul bait berlepas diri dari mereka, mengatakan bahwasanya wanita yang agung ini, bapaknya, suaminya dan anaknya adalah orang orang kafir! Laa haula wa Laa quwwata illa billah.
Ya Allah, jadikanlah kami berada di antara orang orang yang mencintai NabiMu yang mulia dan para sahabatnya yang terpilih, serta keluarganya yang suci.
Para ulama telah sepakat barang siapa mencela sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam maka dia adalah Zindiq. Dan suatu golongan sesat yang mengklaim dirinya berada diatas manhaj ahlul bait, sementara ahlul bait berlepas diri dari mereka, mengatakan bahwasanya wanita yang agung ini, bapaknya, suaminya dan anaknya adalah orang orang kafir! Laa haula wa Laa quwwata illa billah.
Ya Allah, jadikanlah kami berada di antara orang orang yang mencintai NabiMu yang mulia dan para sahabatnya yang terpilih, serta keluarganya yang suci.
(Majalah Qiblati Edisi 4 Tahun I)
0 komentar:
Posting Komentar